Kolitis Ulseratif

Definisi
     Kolitis Ulseratif adalah penyakit usus inflamatorik, bersama dengan penyakit Crohn. Sesuai dengan namanya, kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon yang sering kambuh. Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi (Djojoningrat, 2006). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).
Etiologi
        Belum diketahui. Lebih sering diderita oleh wanita, terbanyak ditemukan pada usia antara 15 dan 20 tahun. Faktor predisposisi yang berkaitan adalah keturunan, imunologi, infeksi virus atau bakteri (masih spekulatif), dan lebih jarang ditemukan pada perokok. Selain itu, sebanyak 60-70% dari pasien yang diteliti, memiliki p-ANCA (antineutrophil cytoplasmic antibodies) yang berhubungan dengan HLA-DR2, atau bila p-ANCA negatif, sering ditemukan HLA-DR4.
        Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson, 2011).
Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak, sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Basson, 2011).
      Sementara penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu dari penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.

  1. Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini.

  1. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian diisolasi. Laporan awal isolate varian dinding sel Pseudomonas atau agem yang ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih dikonfirmasi.

  1. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya arthritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis ulseraif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.

  1. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stress emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.

  1. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada decade ke-3.
Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit colitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen luminal, yang tetap dan diperkuat karna kesamaan antara antigen luminal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epithelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung.
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam pathogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Colitis ulseratif dihubungkan dengan meningktanya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema (Ariestine, 2008).

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).

Patofisiologi
Proses inflamasi yang terjadi biasanya dimulai di rektum, lalu dapat meluas ke proksimal namun tak pernah melewati kolon. Bila bagian rektum saja yang terkena atau meluas sampai sigmoid disebut proktitis atau proktosigmoiditis, sedangkan bila seluruh kolon terlibat disebut pankolitis.

Manifestasi Klinis
  1. Gejala Klinis
            Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.
            Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.
     Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang (Ariestine, 2008).
      Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat (Ariestine, 2008).
            Manifestasi ekstraintestinal bisa dijumpai, yaitu :
  1. Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan sacroilitis (berhubungan dengan HLA-B27)
  2. Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum
  3. Mata : episkleritis, iritis, uveitis
  4. Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing cholangitis), primary sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma, chronic hepatitis
  5. Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary embolus (hypercoagulable state) (Fauci, 2009).

Pada pemeriksaan fisik terdapat nyeri tekan abdomen.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi dan biokimia terdapat peningkatan hitung jenis leukosit dan LED pada serangan berat. Pemeriksaan fungsi hepar diperlukan untuk mendeteksi adanya komplikasi.
Pada analisis dan kultur feses mungkin ditemukan parasit walau tanpa perdarahan rektum, dan adanya leukosit membuktikan terjadinya inflamasi atau infeksi. Tak ditemukamya mikroorganisme tak dapat menyingkirkan infeksi secara otomatis. Pada infeksi oleh Clostridium difficile, selain kultur, harus dilakukan pemeriksaan toksin.
Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi kolon atau gambaran perforasi pada kasus kolitis yang fulminan. Sebaiknya dilakukan sigmoidoskopi dan biopsi bila terdapat kecurigaan kolitis. Akan terlihat kerusakan kripti akibat perubahan kronis pada penyakit usus inflamatorik. Bila tak ada kerusakan kripti, kemungkinan terjadi kolitis akibat infeksi.

Dilakukan kolonoskopi untuk melihat luasnya kerusakan, serta untuk menentukan diagnosis banding kolitis. Pada ileum terminal dilakukan intubasi untuk menentukan adanya inflamasi atau ulserasi. Pada kolitis aktif berat yang luas, lebih baik ditentukan secara klinis daripada kolonoskopi karena risiko perforasi.


Gambaran Laboratorium
            Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang ulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.
            Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negative.
            Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA (antibody Saccharomyces cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit colitis ulseratif dengan penyakit Crohn (Ariestine, 2008).


Gambaran Radiologi
Foto polos abdomen
      Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak.
      Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.

Barium enema
      Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-tururt dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral.
      Pemeriksaan barium enema dapat dilakuka dengan teknik kontras tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis ulseratif
      Gambaran foto barium enema pada kasus dengan colitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon ttampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rectum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya colitis ulseratif ini mulai terjadi di rectum dan menyebar kea rah proksimal secara kontinu. Jadi rectum selalu terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya.
      Pada keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan colitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon.

Ultrasonografi (USG)
      Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.
      Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran cernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.
      Pada pemeriksaan USG, kasus dengan colitis ulseratif didapatkan penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongn transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dindng usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut.

CT Scan dan MRI
      Kelebihan CT Scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komlikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.
      Gambaran CT Scan pada colitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya (Ariestine, 2008).

Gambaran Endoskopi         
            Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar /progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).
            Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan colitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip (Ariestine, 2008).
            Berikut ini adalah perbedaan gambaran lesi endoskopik IBD pada colitis ulseratif dengan Crohn’s Disease (Djojoningrat, 2006) :

Tabel 2. Gambaran lesi endoskopik IBD
Gambaran
Colitis ulseratif
Crohn’s Disease
Lesi inflamasi (hiperemia, ulserasi, dll)
+++
+
Bersifat kontinu adanya skip area (adanya mukosa normal di antara lesi)
0
+++
Keterlibatan rectum
+++
+
Lesi mudah berdarah
+++
+
Cobblestone appearance / pseudopolip
+
+++
Sifat ulkus :


Terdapat pada mukosa yang inflamasi
+++
+
Keterlibatan ileum
0
++++
Lesi ulkus bersifat diskrit
+
+++
Bentuk ulkus :


Diameter > 1 cm
+
+++
Dalam
+
+++
Bentuk linier (longitudinal)
+
+++
Aphtoid
0
++++
   
   Keterangan : 0 = tidak ada, ++++ = sangat diagnostik (karakteristik)

  1. Gambaran Histopatologi
            Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa, perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek). Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina propria.
            Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta permukaan viliform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh (Ariestine, 2008). Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di lamina propria (Djojoningrat, 2006).
            Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit colitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis ulseratif.

·         Kriteria mayor colitis ulseratif :
1.      Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa
2.      Basal plasmositosis
3.      Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
4.      Abses kripta
5.      Kriptitis
6.      Distorsi kripta
7.      Permukaan viliformis

·         Kriteria minor colitis ulseratif :
1.      Jumlah sel goblet berkurang
2.      Metaplasia sel Paneth

            Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan dari colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan (Ariestine, 2008).


Komplikasi
      Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).


Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik. Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF (infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgikal (Djojodiningrat, 2006).
      Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang mempunyai efek antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan. Berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik menghambat sintesis prostaglandin.
      Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena diberikan pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis (Basson, 2011).
      Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena histamin terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural pada traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa cairan dan mucus, mempengaruhi motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat dan respon inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta meningkatkan pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui reseptor H1, H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa merupakan karakterisitik dari IBD kronik. Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel, 2005).  
         Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan spesifik, dapat mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan ikut berperan dalam proses inflamasi (WebMD, 2012). Penatalaksanaan diet pada colitis ulseratif, serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih (Collitis UK, 2011).

   a.       Suportif

  • Diet atau nutrisi yang bergizi secara oral atau parenteral
  • Edukasi bagi pasien dan keluarga mengenai penyakit


   b.      Farmakologis

1.         Simtomatis

  • Rehidrasi : oralit, cairan infus (Ringer laktat, dekstrosa 5%, dekstrosa dalam NaCl 0,09%, dll.).
  • Antispasmodik, antikolinergik: papaverin 3x/hari, mebeverin 3-4 tablet/hari, propantelin bromid 3×5 mg/hari, hiosin N-butilbromida (Buscopan® 3×1 tablet/ hari. Hati-hati dalam memberikan obat-obat di atas, jangan berlebihan.
  • Obat antidiare: loperamid atau difenoksilat. Golongan obat ini dapat mengurangi pengeluaran tinja berlebihan dan melegakan urgensi rektal, namun dapat mengurangi dosis pemakaian steroid. Pada kolitis berat, antidiare merupakan kontraindikasi karena dapat mencetuskan megakolon toksik.


2.         Obat-obat spesifik

  • Sulfasalazin/Salisilazolsul-fapiridin. Diberikan berdasarkan umur, derajat penyakit dan toleransi obat. Dosis biasa 4 x 500 mg/hari, dinaikkan 2 x 500 mg pada hari kedua dan seterusnya sampai tercapai respons klinis. Dosis dewasa diberikan 4-8 x 2-3 tablet (@500 mg)/hari. Umumnya jarang diberikan melebihi 4 g/hari, selama 2-4 minggu dan bila remisi tercapai, dosis dapat diturunkan 2-3 g/hari lalu diteruskan lebih lama. Pada kasus refrakter atau berat, terapi diberikan lebih lama dengan dosis 16-20 tablet/hari. Jika timbul efek samping yang tidak diinginkan, segera turunkan dosis obat sampai setengahnya. Pemberian sebaiknya setelah makan.
  • 5-ASA (asam 5-aminosalisilat/Salofak®). Diberikan peroral 4 x 1-2 tablet (@ 250mg)/hari, atau dapat diberikan supositoria per rektal atau per enema (4 g).
  • Kortikosteroid (misalnya prednison atau prednisolon). Diberikan pada penyakit berat, kronik dan progresif yang tidak membaik dengan sulfasalazin atau obat lainnya. Kortikosteroid meningkatkan absorpsi natrium, menstimulasi aktivitas Na-K ATPase di kolon dan ileum, memiliki efek anti inflamasi, yang dapat memperbaiki inflamasi dan menyembuhkan diare. Obat dapat diberikan peroral, injeksi atau rektal. Dosis awal prednison 40-60 mg/hari, dalam dosis terbagi selama 3-6 minggu. Jika klinis membaik, yaitu diare berkurang, tak lagi terdapat darah dan lendir pada feses, serta terdapat gambaran sigmoidokolonoskopi mulai membaik, maka dosis diturunkan menjadi 30 mg/hari, selama 3-4 minggu. Jika gambaran sigmoidokolonoskopi telah normal kembali, diusahakan mulai menghentikan kortikosteroid selama 2-3 bulan, dengan menurunkan dosis perlahan.


   c.       Operatif
Indikasi dilakukan pembedahan pada kolitis ulseratif adalah:
  • Kegagalan terapi medikamentosa.
  • Megakolon toksik.
  • Perforasi
  • Perdarahan masif.
  • Gejala kronik tak teratasi.
  • Karsinoma atau risiko tinggi terkena karsinoma

Tak seperti pada penyakit Crohn, maka pembedahan pada kolitis ulseratif bersifat kuratif dan hanya 20% yang memerlukan pembedahan.


Kata Kunci Pencarian : Kolitis Ulseratif, Tesis, Skripsi, Makalah, Jurnal, Karya Tulis Ilmiah, Referat, Ilmu Penyakit Dalam, Desertasi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx,  Artikel, Gastroenterologi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep (asuhan keperawatan)

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.