Leukemia Mielositik Kronik (CML) atau disebut juga Leukemia Granulositik Kronik

Definisi
            Leukemia merupakan golongan penyakit yang ditandai dengan penimbunan sel darah putih abnormal dalam sumsum tulang. Jumlah sel yang abnormal ini dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang, hitung sel darah putih sirkulasi yang meninggi dan menginfiltrasi organ lain. Dengan demikian gambaran umum leukemia mencakup sel darah putih abnormal dalam darah tepi, hitung sel darah putih total meninggi, manifestasi kegagalan sumsum tulang misalnya : anemia, neutropenia atau trombositopenia dan keterlibatan organ lain misalnya : Hati, limpa, limfonodi, meningen, otak, kulit dan testis.
            Leukemia digolongkan ke dalam kelompok akut dan kronis berdasarkan derajat maturasi sel-sel ganas di dalam sumsum tulang. Leukemia akut ditandai adanya gangguan maturasi yang mengakibatkan meningkatnya sel-sel muda dan terjadi kegagalan diferensiasi sel-sel darah. Keadaan ini menyebabkan penyakit tampak sangat berat dan menyebabkan kematian dalam beberapa bulan tanpa pengobatan.
            Sebaliknya pada leukemia kronik terjadi peningkatan sel matur yang tidak terkendali, sehingga penyakit tampak relatif lebih ringan. Leukemia kronik pada stadium akhir dapat menjadi progresif seperti leukemia akut. Leukemia granulositik kronik (LGK) atau juga disebut leukemia mielositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan seri granulosit sel darah putih yang relatif matang. Leuemia mielositik kronik merupakan suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman, 2007). Penyakit proliferatif ini merupakan penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006). Leukemia granulositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).

Epidemiologi
LGK mencakup 15 – 20 % dari semua leukemia. Umumnya mengenai usia pertengahan, dengan puncak umur 40 – 50 tahun. LGK jarang dijumpai pada masa anak-anak dan diperkirakan hanya merupakan 1 – 5 % kasus Leukemia. Diagnosis penyakit ini hampir 80 % didiagnosis setelah umur 2 tahun. Umur terendah yang terdiagnosis LGK adalah 3 bulan. Leukemia mielositik kronik terjadi pada kedua jenis kelamin dengan rasio pria : wanita sebesar 1,4:1 dan paling sering terjadi pada usia antara 40-60 tahun. (Hoffbrand et al, 2005). Kejadian leukemia mielositik kronik meningkat pada orang yang terpapar bom atom Hiroshima dan Nagasaki (Besa, 2010).

Etiologi
            Sampai saat ini yang diduga ikut berperan dalam patogenesis terjadinya LMK adalah faktor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun begitu, hanya 5 – 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak. Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda, khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi dalam kandungan yang ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia dan akhirnya menjadi leukemia.
            Leukemogenik. Beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, misalnya racun lingkungan seperti benzena, bahan kimia inustri seperti insektisida, obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi. Herediter : Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal. Virus : Beberapa jenis virus dapat menyebabkan leukemia, seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
            Menurut Markman (2009), Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus. Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari gen BCR pada kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen tersebut, meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas.

Klasifikasi
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
a.         Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia, CGL)
b.        Leukemia myeloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-)
Kurang dari 5% pasien yang memiliki gambaran mengesankan CML, tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR – ABL. Pasien – pasien ini biasanya mempunyai gambaran hematologik yang khas untuk mielodisplasia dan prognosis tampaknya lebih buruk dibandingkan CML Ph+.
c.         Juvenile chronic myeloid leukemia atau Leukemia mielositik kronik juvenilis
Penyakit yang jarang terjadi ini mengenai anak kecil dan mempunyai gambaran klinis yang khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan infeksi rekuren. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya monositosis. Kadar hemoglobin F (HbF) yang tinggi merupakan ciri diagnostik yang berguna, kadar fosfatase alkali netrofil normal dan hasil uji kromosom Philadelphia negatif. Prognosisnya buruk dan SCT (Transplantasi Sel Induk) adalah pengobatan yang terpilih.
d.        Chronic neutrophilic leukemia & Eosinophilic leukemia Merupakan penyakit yang sangat jarang dijumpai dengan terdapatnya proliferasi sel matur yang relatif murni. Mungkin didapatkan splenomegali, dan secara umum prognosisnya baik.
e.         Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) CMML menggambarkan daerah yang bertumpang tindih antara penyakit mieloproliferatif dan mielodisplasia, tetapi digolongkan ke dalam kelompok mielodisplasia (Hoffbrand,2005).
f.         Eosinophilic leukimia Dengan sebagian besar (>95%) CML ini tergolong sebagai CML Ph+ (Bakta, 2007).

Patogenesis
            LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan kelainan genetik spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit B. Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk kebanyakan gambaran klinisnya.
            Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q) kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK. Terjadinya krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph’-2 kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita LMK. Khususnya fase akselerasi dan blas.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :

  1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.

2.      Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
  • Panas tanpa penyebab yang jelas.
  • Splenomegali progresif.
  • Trombositosis.
  • Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
  • Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit  atau mononuclear yang besar.
  • Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
  • Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
  • Peningkatan uptake timidin oleh neutrofil
  • Peningkatan kandungan DNA dan penurunan fraksi proliferasi.

3.      Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom hiperleukositosis.

Sitogenik
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yaitu kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph, ekson 5’ BCR berfusi dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu protein fusi berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase melebihi produk ABL 145 kDa yang normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan teknologi dibidang biologi molecular, didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL(Fadjari, 2006).
            Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem hematopoiesis.  Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang mendesak sistem hematopoiesis.
            Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta implikasi teraupetiknya, sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.
            Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi seperti kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya.
            Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i (17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi leukemia mielositik kronik atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.

Biologi molekular
Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :
  1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah e13-e14 pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD. Gambaran klinis : trombositopeni.
  2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.
  3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.
Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara :
gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.

Komplikasi

Beberapa masalah dalam penanganan LMK :

1. Masalah metabolik
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.

2. Hiperleukositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan dengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.

3. Priapism
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena).

4. Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.

5. Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dijumpai adalah
  1. Sakit kepala
  2. Sesak nafas
  3. Anemia
  4. Perdarahan
  5. Epistaksis
  6. Mual, muntah
  7. Kurang nafsu makan
  8. BB menurun
  9. Demam
  10. Rentan terjadi infeksi
  11. Memar pada bagian tubuh
  12. Gangguan jaringan perifer
  13. Hepatomegali
  14. Nyeri perut
  15. Nyeri tulang dan persendian
  16. Dispnea


Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
  1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.
  2. Splenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
  3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
  4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
  5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
  6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapism.
Pada pemeriksaan fisik hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Juga sering, didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang, terdapat purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus.

Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).

Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).

Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).


Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3, pergeseran ke kiri pada hitung jenis, trombositopenia, kromosom Philadelphia, kadar fosfatase alkali leukosit rendah atau sama sekali tidak ada, dan kenaikan kadar vitamin B12 dalam darah. Pada pemeriksaan sumsum tulang didapatkan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis.

Diagnosis

1.    Anamnesis : Ditemukan keluhan dan gejala seperti yang dijelaskan pada manifestasi klinis diatas
2.    Pemeriksaan Fisik : Dokter akan memeriksa pembengkakan kelenjar getah bening, limpa, atau              hati. 
3.    Hitung darah lengkap : Menunjukan normositik, anemia normositik.
        a.         Hemoglobin: Dapat kurang dari 10g/100ml.
        b.         Retikulosit: Jumlah biasanya rendah.
         c.         Jumlah trombosit: Mungkin sangat rendah (<50.000/mm).
       d.        SDP: Mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP imatur (“menyipang ke kiri”).                 Mungkin ada blast leukemia.
4.         PT/PTT: Memanjang.
5.         LDH: Mungkin meningkat.
6.         Asam urat serum/urine: Mungkin meningkat.
7.         Muramidase serum (lisozim): Peningkatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik.
8.         Copper serum: Meningkat.
9.         Zink serum: Menurun.
10.     Biopsi sumsum tulang: SDM abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih dari SDP pada                 sumsum tulang. Sering 60%-90% dari sel blast, dengan prekusor eritroid, sel matur. Dan                       megakariositis menurun.
11.     Foto dada dan biopsy nodus limfe: Dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.

Pemeriksaan Laboratorium
a.    Ciri Diagnostik :
  • Anemia normokrom normositik
  • Lekositosis, biasanya > 50.000/mm3
  • Hapusan darah tepi : ditemukan jajaran lengkap seri mieloid
  • Kromosom Philadelphia (+)


b.    Ciri tambahan :
  • Sumsum tulang : hiperseluler dengan dominasi granulopoetik
  • Basofil meningkat
  • Trombosit : stadium awal rendah, umumnya normal atau meningkat
  • Kadar Vit. B12 serum dan kapasitas ikat Vit. B12 meningkat
  • Fostase alkali netrofil rendah

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
a.         Polisitemia Rubra Vera (PRV).
b.         Trombositemia.
c.         Myelofibrosis.
d.        Reaksi leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor padat.

Penatalaksanaan

            Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok sumsum tulang (Fadjari, 2006).

Hidroksiurea
            Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktanse sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
            Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit < 100.000 / mmk (Fadjari,2006).
            Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Busulfan
            Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
            Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-6 mg / hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
            Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Imatinib
            Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).
            Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
            Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).

Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
            Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).

Cangkok sumsum tulang belakang
            Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai > 9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).

            Penanganan kasus penyakit Leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan Leukemia bisa dilakukan dengan cara single ataupun gabungan dari beberapa metode dibawah ini:
Penatalaksanaan terapi LMK bergantung pada 3 fase  penyakit, yaitu :
1.         Fase kronis
Obat pilihan :
  • Busulphan (myleran) dosis 0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari, terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, dan bahaya timbulnya leukimia akut.
  • Hidroksiurea dosis ditritasi dari 500-2.000 mg, kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3, efek sampingnya lebih sedikit.
  • Interveron alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh hidroksiurea.

2.         Fase akselerasi
Sama dengan terapi leukimia akut, tetapi respons sangat rendah.
3.         Transplantasi sumsum tulang
Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang, terutama untuk penderita yang berusia kurang dari 40 tahun. Penanganan yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell transplantation.
4.         Terapi dengan memakai prinsip biologi molekuler
Obat baru imatinib mesylate (gleevec) yang dapat menekan aktivitas tyrosin kinase, sehingga menekan proliferasi sel mieloid.
Metode lain :
  1. Chemotherapy / intrathecal medications
  2. Terapi Radiasi. Metode ini sangat jarang sekali digunakan
  3. Transplantasi bone marrow (sumsum tulang)
  4. Pemberian obat-obatan tablet dan suntik
  5. Transfusi sel darah merah atau platelet.
  6. Terapi Stem Cell


Sistem Terapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia adalah kombinasi antara kemoterapi dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda yang telah ditampakkan oleh tubuh penderita dengan monitor yang komprehensif.

Prognosis
Harapan hidup rata-rata penderita LMK adalah 3-4 tahun dari saat diagnosis ditegakkan. Hanya 30% dari penderita tersebut bertahan hidup sampai 5 tahun. Kematian biasanya terjadi beberapa bulan setelah mengalami fase akselerasi dari fase kronik. Bila telah sampai pada fase blas maka kematian akan terjadi setelah 1-5 bulan akibat kegagalan sumsum tulang.
Beberapa petanda prognosis buruk adalah :
  1. Splenomegali ( >5 cm di bawah arkus, kosta )
  2. Trombositopenia ( <150/mm3 ) >500.000/mm3 )
  3. Leukositosis berat ( >100.000/mm3 )
  4. Proporsi sel blas meningkat ( >1% ) atau terdapat granulosit imatur ( >20% )


Menurut Fadjari (2006), Faktor-faktor yang dapat memperburuk keadaan pasien antara lain:
  1. Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam.
  2. Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph negative, BCR-ABL negative.
  3. Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

Leukemia mielositik kronik adalah penyakit yang jarang terjadi, tetapi memiliki angka kematian yang tinggi. Dunia kedokteran kini sudah sangat maju dan telah ditemukan berbagai metode untuk menekan leukemia mielositik kronik. Diharapkan dengan diagnosis dan penanganan yang baik tersebut, kualitas dan harapan hidup penderita leukemia mielositik kronik dapat ditingkatkan. Harapan untuk bertahan hidup itu menjadi semangat para penderita kanker dalam menjalani hidupnya.



Daftar Pustaka/Referensi
  1. Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
  2. Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
  3. Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4th ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  4. Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4th ed), EGC, Jakarta.
  5. Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al. Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia after failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The American Society of Hematology 2007;12: 5143-5150
  6. Markman, M., 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
  7. Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed),Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
  8. Price, S., A., Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
  9. Vardiman, J., W., 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American Journal Clinical Pathology, 132, 248-249.
  10. Green T, Franklin W, Tanz RR, Leukemia in Pediatrics Just the Facts 2005 : 376 – 377
  11. Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition : 2116 – 2122

Kata Kunci Pencarian : Leukemia Mielositik Kronik, Leukemia Granulositik Kronik, CML, Makalah, Tesis, Desertasi, Jurnal, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Hematologi, Ilmu Penyakit Dalam, Karya Tulis Ilmiah, Referat, Skripsi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.