Anemia Hemolitik

Definisi
       Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. yang diikut dengan ketidakmampuan sum-sum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mememenuhi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal, hal ini terjadi bila umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.
       Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah (normal 120 hari), baik sementara atau terus-menerus. Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila kemampuannya terganggu oleh sebab lain.
       Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence) , yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravascular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravascular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda.
       Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspon oleh tubuh dengan peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8 kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui makan akan terjadi anemia yang kita kenal sebagai anemia hemolitik.

Epidemiologi

Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Anemia Hemolitik Autoimun/Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) akut  relatif jarang terjadi, dengan insiden 1-3 kasus per 100.000 penduduk per tahun. 3,6,7
       Anemia hemolitik tidak spesifik pada semua ras manusia. Namun, ganguan sel sabit terutama ditemukan di Afrika, Amerika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India selatan. 4,5
       Pada sebagian kasus, anemia hemolitik tidak spesifik dengan jenis kelamin. Namun, AIHA akut lebih sering menyerang pada wanita dibanding pria. Walaupun anemia hemolitik dapat menyerang pada semua umur, kelainan herediter biasanya timbul pada awal kehidupan. AIHA lebih sering terjadi pada pertengahan usia dan pada usia lanjut.3,5,6


Etiologi

Penyebab terjadinya anemia hemolitik ialah akibat penghancuran (hemolisis) eritrosit yang berlebihan. Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena : 1). Defek molecular hemoglobinopati atau enzimopati; 2). Abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau antibodi.5
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi : 4,5,7

Anemia Hemolisis Herediter (Genetik / Keturunan)
        1.    Defek enzim/enzimopati
a.       Defek jalur Embden Meyerhof
  •       Defisiensi piruvat kinase
  •       Defisiensi glukosa fosfat isomerase
  •       Defisiensi fosfogliserat kinase
b.      Defek jalur heksosa monofosfat
  •        Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
  •        Defisiensi glutation reduktase
2.       Hemoglobinopati
  •       Thalassemia
  •       Anemia sickle cell
  •       Hemoglobinopati lain
3.      Defek membrane (membranopati/ - sferositosis herediter)

Anemia Hemolisis yang Didapat
  1.  Anemia hemolisis imun, misalnya : idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfuse.
  2. Mikroangiopati, misalnya : Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)/Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), preeclampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
  3. Infeksi, misalnya : infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium


Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, Anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi : 
1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 
2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.6,7,

Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan immunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi : 2,5

Anemia Hemolisis Imun
Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau IgM yang spesifik untuk antigen erotrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).

Anemia Hemolisis Non Imun
Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena faktor defek molecular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibody seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.



Klasifikasi


Bila dirangkum klasifikasi Anemia Hemolitik adalah :

Klasifikasi anemia hemolitik 2

     1.  Berdasarkan pencetusnya : 
              a.      Intrinsik : kelainan terletak dalam sel sendiri :
  • Kelainan membran sel : sferositosis/ovalositosis herediter
  • Hemaglobinopati
  • Talasemia
  • Defisiensi enzim (glukosa 6-fosfat-dehidrogenase = G6PD), piruvat kinase (PK), atau enzim lain pada metabolisme Embden Meyerhoff).  

b. Ekstrinsik : kelainan terletak diluar sel :
  • Anemia hemolitik imun
  • Anemia hemolitik mikroangiopatik
  • Anemia hemolitik oksidatif
  • Anemia hemolitik karena trauma fisik/panas.
  • Anemia hemolitik karena hiperspleni
  • Infeksi : malaria
     

       2.  Kongenital atau didapat

§      3. Berdasarkan lokasi penghancurannya
a.       Intravaskuler : penghancuran terjadi dalam pembuluh darah
b.      Ekstravaskuler : penghancuran oleh sel-sel RES terutama dalam limpa dan hati.



     I.          Gangguan Intrakorpuskuler
Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang sebagian besar bersifat herediter-familier

A.    Herediter-Familier
1.      Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
a.       Hereditary spherocytosis
Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara autosom dominan, paling umum di Eropa Utara disebabkan cacat protein struktural dari membran sel darah merah / defek membran. Sumsum tulang membuat sel darah merah normal yang bikonkaf tetapi sel darah kehilangan membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio permukaan sel terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis sehingga kurang elastic melalui mikrosirkulasi dimana sferosit pecah lebih dini.



Tes Khusus:
  •        Fragilitas osmotik meningkat.
  •        Autohemolitik meningkat
  •        Coomb’s direct test negatif.
  •        Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak.



Photo of Hereditary spherocytosis, foto sferositosis herediter pada anemia hemolitik
Panah hitam: Bentuk Sferositosis
                 
          


b.      Hereditary elliptocytosis

Photo of Hereditary elliptocytosis, eliptositosis herediter pada anemia hemolitik





c.       Hereditary stomatocytosis
                     
Photo of Hereditary stomatocytosis, stomatositosis herediter pada anemia hemolitik


2.      Gangguan metabolism/enzim eritrosit (enzimopati)


a.       Defek pada jalur heksosemonofosfat Defisiensi G-6PD (glucose-6 phosphate dehydrogenase) Defisiensi G6PD diturunkan secara sex-linked, mengenai laki – laki dan didapatkan pada wanita yang memperlihatkan kadar G6PD sel darah merahnya setengah normal. Merupakan hemolisis intravaskuler yang berkembang cepat dengan faktor pencetus infeksi dan penyakit akut lain, obat-obatan dan kacang fava. Defisiensi enzim dideteksi dengan tes penyaring pemeriksaan enzim G6PD pada sel darah merah. Gambaran darah tepi saat krisis: sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan/bite, dan sel lepuh/blister. Heinz Bodies/hemoglobin teroksidasi terdenaturasi tampak pada retrikulosit, terutama pada saat splenektomi.






photo of glucose-6 phosphate dehydrogenase deficiency, foto Defisiensi G-6PD pada anemia hemolitik



glucose-6 phosphate dehydrogenase deficiency diagram, Patofisiologi Defisiensi G-6PD pada anemia hemolitik
Patofisiologi Defisiensi G-6PD pada anemia hemolitik






b.      Defek pada jalur Embden-Meyerhoff Defisiensi piruvat-kinase

Diturunkan secara resesif otosomal homozigot. Sel darah merah lisis karena pembentukan ATP berkurang. Sel darah merah lisis karena pembentukan ATP berkurang. Anemia ringan dengan hemoglobin 4-10g/dl disebabkan pergeseran kurva disosiasi O2 ke kanan akibat kenaikan 2,3 DPG dalam sel. 

Pemeriksaan Laboratorium : Autohemolisis meningkat. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan jumlah enzim PK.

c.       Nucleotide enzyme defect 

3.      Gangguan pembentukan hemoglobin (hemoglobinopati)
a.       Hemoglobinopati struktural (kelainan struktur asam amino pada rantai alfa atau beta : HbC, HbD, HbE, HbS, unstable Hb, dll
b.      Sindrom Thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta) Thalasemia alfa, beta , dll
c.       Heterosigot ganda hemoglobinopati dan thalassemia Thalassemia-HbE, dl



B. Didapat (Acquired)
 Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang menyebabkan serangan mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan.



Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah.Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap (hemoglobinuria).



Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja dan pada jenis kelamin apa saja. Penyebabnya masih belum diketahui. Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri punggung yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut dan tungkai.



Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini.



Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya prednison). Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan antikoagulan (obat yang mengurangi kecenderungan darah untuk membeku, misalnya warfarin).





Transplantasi sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita yang menunjukkan anemia yang sangat berat.


II.     Gangguan Ekstrakorpuskuler (Faktor eksternal)

Anemia hemolitik karena factor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar bersifat didapat (acquired).
A.    Didapat
1.      Imun
a.       Autoimun
  •     Warm antibody type
  •     Cold antibody type
b.      Aloimun
  •     Hemolytic transfusion reactions
  •     Hemolytic disease of newborn
  •     Allograft (bonemarrow transpalantation)
2.      Drug associated

3.      Red cell fragmentation syndromes
a.       Graft arteri
b.      Katup jantung (buatan)

4.      Mikroangiopatik
a.       Thrombotic Thrombocytopenic purpura (TTP)
b.      Hemolytic uremic syndrome (HUS)
c.       Disseminated intravascular coagulation (DIC)
d.      Pre-eklampsia

5.      March hemoglobinuria

6.      Infesksi
a.       Malaria
b.      Clostridia

7.      Bahan kimia dan fisik
a.       Obat
b.      Bahan kimia dan rumah tangga
c.       Luka bakar luas

8.      Hipersplenisme

Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor ekstrinsik.

Faktor Intrinsik



Yaitu kelainan yang terjadi pada sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1.      Karena kekurangan bahan baku pembuat eritrosit
2.      Karena kelainan eritrosit yang bersifat kongenital contohnya thalasemia & sferosis kongenital
3.      Abnormalitas dari enzim dalam eritrosit

Faktor Ekstrinsik



Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.

1.      Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat
2.      Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri. Tanda-tanda proses hemolisis : Penghancuran eritrosit yang berlebihan akan menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
a.         Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada hasil ekskresi yaitu urin dan feses.
b.        Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya tidak ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya oleh sistem keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia.
c.         Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.
d.        Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit banyak ditemukan.


Patogenesis

Umur SDM normal ialah ± 100-120 hari. Dengan bertambahnya umur sel mulai terjadi glikolisis, aktivitas enzim menurun dan kadar ATP, kalium serta lipid membran menurun pula. Karena rangkaian proses ini, sel darah merah tidak dapat mempertahankan bentuk dan hidupnya dan terjadilah hemolisis. Keadaan/penyakit baik yang kongenital maupun didapat dapat memperpendek umur eritrosit.5,7

Anemia Hemolitik Autoimun
       Pembentukan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melauli aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya. 3,4,
              Aktivasi sistem komplemen
       Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. 6,7
       Sistem kompelemen akan diaktifkan melalui jalur ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik maupun jalur alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan  sel eritrosit pada suhu tubuh. 1,5
Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun : 4,5

     a.       AIHA (Anemia Hemolitik Autoimun) tipe hangat
Eritrosit biasanya dilapisi oleh immunoglobulin (Ig), yaitu umumnya immunoglobulin G (IgG) saja  atau dengan komplemen, dan karena itu, diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fe IgG. Bagian dari membrane yang terlapis hilang sehingga sel menjadi makin sferis secara progresif untuk mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan secara premature, terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau komplemen saja, destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam sistem RE.

      b.      AIHA (Anemia Hemolitik Autoimun) tipe dingin
Pada sindrom tersebut, autoantibody, baik monoclonal (seperti pada sindrom hemaglutinin dingin idopatik atau dengan yang terkait dengan penyakit limfoproliferatif) atau poliklonal (seperti sesudah infeksi, mis. Mononucleosis infeksiosa atau pneumonia oleh Mycoplasma) melekat pada eritrosit pada sirkulasi perifer dengan suhu darah yang mendingin. Antibodi adalah biasanya IgM dan paling baik berikatan dengan eritrosit pada suhu 40C. Antibodi IgM sangat efisien dalam memfiksasi komplemen dan dapat terjadi hemolisis intravascular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada eritrosit, antibodinya telah mengalami elusi dari sel pada bagian sirkulasi yang lebih hangat.

Anemia Hemolitik Non Imun
       Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegrasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskular jarang terjadi. 3,4
       Hemolisis yang lebih sering terjadi adalah hemolisis ektravaskular. Pada hemolisis ekstravakular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag. 3,4


Manifestasi Klinis

Anemia ini bervariasi dari yang ringan sampai berat (mengancam jiwa). Pasien mengeluh fatigue dan keluhan ini dapat terlihat bersama dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada Pemeriksaan fisik, biasanya dapat ditemukan ikterus dan splenomegali. Apabila pasien mempunyai penyakit dasar seperti LES atau leukemia limfositik kronik, gambaran klinis penyakit tersebut dapat terlihat.
Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan seperti warna teh pekat, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. 3,4,5
       Pada pemeriksaan fisis ditemukan : 5,6
  • Tampak pucat dan ikterus.
  • Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati.
  • Dapat ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
  • Takikardia dan aliran murmur pada katup jantung.

       Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis diatas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell. 1,3
       Penyakit hemolitik gejala-gejalanya dapat didasarkan atas 3 proses yang juga merupakan bukti bahwa ada hemolisis : 4,5,7
      1.      Kerusakan pada eritrosit
a.       Fragmentasi dan kontraksi eritrosit pada hapusan darah tepi, yang terutama nampak pada anemia hemolitik oleh karena obat-obat dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
b.      Sferositosis
Mekanisme terjadinya sferositosis ialah karena adanya beberapa eritrosit yang terikat pada sel-sel pelapis sinus-sinus yang telah diaktifkan oleh IgG sehingga mengalamai perubahan bentuk, akan tetapi sel-sel tersebut lolos dari eritrofagositosis dan untuk sementara tetap beredar. Oleh karena bentuknya yang abnormal sferosit mudah tertangkap dalam trabekula limpa dan dihancurkan   
 .
      2.      Katabolisme HB yang meningkat
Indikator-indikator utama proses ini ialah :
a.       Hiperbilirubinemia : Ikterus
b.      Urobilinogenuria

3.      Eritropoesis yang meningkat karena kompensasi sumsum tulang
a.       Darah tepi : retikulositosis, normoblastemia.
b.      Sumsum tulang : hyperplasia eritroid, hyperplasia sumsum tulang
c.       Eritropoiesis ekstramedular
d.      Absorbsi Fe meningkat.

Tanda-tanda hemolisis antara lain ikterus dan splenomegali.

Diagnosis
Penegakkan diagnosa anemia hemolitik berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, dimana bisa diketahui kausa penyebab dari anemia hemolitik itu sendiri. 3,4

Diagnosis Banding
a.                        Anemia Pasca Perdarahan 6
b.                       Leukimia 6


Penatalaksanaan

       Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksik-imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.
Anemia hemolitik diterapi sesuai penyebabnya. Pada anemia hemolitik autoimun diterapi dengan : 
a.       Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari
b.      Splenektomi
c.       Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari
d.      Danazol 600-800 mg/hari
e.       Terapi transfusi

Pada anemia hemolitik non imun, terapi diberikan berdasarkan klasifikasi. 2,5,7

a.    Defisiensi G6PD
     Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari. Pada hemolisis berat, yang biasa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfuse darah

b.    Defek Jalur Embden Meyerhof
     Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali dengan hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik.

c.    Malaria
     Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera, sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda sampai terbukti adanya defisiensi besi.


Prognosis

Prognosis pada pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada penyakit yang mendasari.6,7 Pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat , hanya sebgaian kecil pasien yang mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlamgsung kronik, namun terkendali. Sedangkan pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe dingin dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil.7


Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat berupa : 5,  7
  •     Pemeriksaan laboratorium jika ditemukan gejala
  •     Pendidikan kesehatan
  •     Perbaikan gizi
  •     Hidup bersih dan sehat


DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
  1. Behrman, Kliegman, Arvin. Penyakit Darah. Dalam: Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta : EGQ.2007. Hal. 1677-98.
  2. Benerji A. Anemia. Availeble from: http: //homeopathy-health-care.com/2009/04/anemia.html.
  3. Hassan R, Alatas. Anemia. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Edisi 11. Jakarta: FKUI. 2007. Hal 429-57.
  4. Hoffbrand A, Pettit J, Moss P. Eritropoiesis dan Aspek Umum Anemia. Dalam : Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta : EGC. 2005. Hal. 11-89.
  5. Price S, Wilson L. Gangguan Sistem hematologi. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007. Hal. 256-62.
  6. Rauf S. Penanganan Anemia. Dalam: Standar Pelayanan Medik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unhas. Makassar: SMF Anak RS DR. Wahidin Sudirohusodo. 2009. Hal. 169.
  7. Tranggana S. Anemia. Dalam: Buku Ajar Hematologi Anak. Edisi 1. Januari. 2009. Hal. 7-30

          Kata Kunci Pencarian : Anemia Hemolitik, Skripsi, Ilmu Penyakit Dalam, Makalah, Hematologi, Referat, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Jurnal, Tesis, Desertasi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep (asuhan keperawatan)

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.