Leukemia Mieloblastik Akut (AML)

Definisi
       Leukemia adalah suatu keadaan keganasan sel darah putih yang dapat terjadi pada umur, jenis kelamin dan ras apa saja bergantung pada jenis leukemianya. Sedangkan Leukemia mieloblastik akut (LMA) atau leukemia mieloid akut disebut juga leukemia mielositik akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid yang berlangsung dalam waktu yang relatif cepatBila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.
            Secara epidemiologi, di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Insidens leukemia mieloblastik akut (LMA) kira-kira 2-3/100.000 penduduk. LMA lebih sering ditemukan pada umur dewasa (85%) daripada anak-anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara tidak umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia. Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. LMA dapat ditemukan sekitar 40% dari seluruh insidens leukemia.
                Sebelum tahun 1960an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif (hanya meningkatkan kualitas hidup bukan menyembuhkan), tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat memperbesar kemungkinan penyembuhan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lcbih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak sekitar 2 dekade tahun yang lain juga telah dikembangkan teknik diagnostik leukemia dengan cara immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.

Klasifikasi
       Menurut perjalanan penyakitnya, leukemia dapat dibagi atas leukemia akut dan kronik. Dengan kemajuan pengobatan akhir-akhir ini, pasien leukemia limfoblastik akut dapat hidup lebih lama daripada pasien leukemia granulositik kronik. Dengan demikian pembagian akut dan kronik tidak lagi mencerminkan lamanya harapan hidup. Namun pembagian ini masih menggambarkan kecepatan timbulnya gejala dan komplikasi.
Menurut jenisnya, leukemia dapat dibagi atas leukemia mieloid dan limfoid. Masing-masing ada yang akut dan kronik. Secara garis besar, pembagian leukemia adalah sebagai berikut:
       
       a.       Leukemia mieloid
  • Leukemia granulositik kronik (leukemia mieloid / mielositik / mielogenous kronik)
  • Leukemia mieloblastik akut (leukemia mieloid / mielositik / granulositik / mielogenous akut)
         b.      Leukemia limfoid
  •      Leukemia limfositik kronik.
  •      Leukemia limfoblastik akut.
Menurut klasifikasi FAB (French-American-British), LMA dibagi menjadi :
  • M0    : Differensiasi leukemia minimal
  • M1    : Mieloblastik, tanpa maturasi, 90% blast, peroksidase (+) , Granula azurofil, kadang batang Auer (+)
  • M2    : Mieloblastik, dengan maturasi , 50% sel tdd mieloblast dan premieloosit, Maturasi di luar promielosit (+)
  • M3  : Promielositik hipergranular Sebagian besar sel tdd promielosit abnormal, peroksidase (+)
  • M4  : Mielomonositik, 20% monosit, 20% mieloblast dan promielosit
  • M5 : Monositik, berdiferensiasi/tidak berdiferensiasi, < 20% granulosit
  • M6  : Erythroleukemia, 50% sel adalah sel eritroid abnominal atau 30%  mieloblast & promielosit, Kadang batang Auer (+)
  • M7  : Megakaryoblastic leukemia

Klasifikasi WHO Untuk LMA
I.        LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren :
  • LMA dengan t (8;21)(q22;q22),AML 1 (CBFα)/ETO APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RARα
  • LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p13q22) ata t(16;16)(p13;q11)CBFβ/MHY11
  • LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II.     LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa sindrom myelodisplasia
III.    LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limpfoid) tipe lain
IV.       LMA yang tidak terspesifikasi :
  • LMA diferensiasi minimal
  • LMA tanpa maturasi
  • LMA dengan diferensiasi monositik
  • Leukemia monositik akut
  • Leukemia eritroid akut
  • Leukemia megakariositik akut
  • Leukemia basofilik akut
  • Panmielosis akut dengan mielofibrosis

 Etiologi

      Etiologi LMA secara pasti tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu, radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.
       Faktor lain yang merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
               Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkalyting agent dan topoisomerase II inhobitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan tersendiri.

Etiological factors in acute leukaemia
Unknown (usually)

Hereditary
·      Down’s syndrome
·      Bloom’s syndrome
·      Fanconi’s anaemia
·      Ataxia telangiectasia
·      Kleinfelter’s syndrome
·      Osteogenesis imperfecta
·      Wiskott-Aldrich syndrome
·      Leukaemia in siblings

Chemicals
·      Chronic benzene exposure
·      Alkylating agents (chlorambucil, melphalan)

Radiation

Predisposing haematological diseases
·      myeloproliferative disorders
·      myelodysplasia
·      aplastic anaemia
Viruses
HTLV-I causing adult T cell leukaemia/lymphoma

( Diambil dari: T Everington, R J Liesner, A H Goldstone. Acute Leucemia. Ed:Provan D. Clinical Haematology. Second edition. BMJ books. 2003. P:30)

Patogenesis

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang . Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya. 


Manifestasi Klinis

Gejala
a.         Kelemahan Badan dan Malaise
Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Sekitar 90 % mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau diagnosa LMA dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia.

            b.      Febris
Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap LMA. Umumnya demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain.

            c.       Fenomena perdarahan
Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epitaksis, purpura dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat dengan beratnya trombositopenia.

           d.      Penurunan berat badan
Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama.
Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan.
  
            e.       Nyeri tulang
Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita LMA. Rasa nyeri ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang mengakibatkan terjadi infark tulang.

Tanda Fisik

a.    Kepucatan, takikardi, murmur
Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan tanda cardiorespiratorius seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan angina.

b.    Pembesaran organ-organ
Walaupuan jarang didapatkan dibandingkan LLA, pembesaran massa abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita LMA. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark.

c.    Kelainan kulit dan hipertrofi gusi
Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe LMA tertentu, misalnya leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4). Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi ini akibat infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa dilihat pada 15 % penderita varian MSa, 50 % MSa dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan sekitar 5 % pada subtipe LMA yang lain.

d.   Sternal tenderness
Kelainan fisik ini didapatkan pada kira-kira dua per tiga kasus LMA. Kelainan ini juga disebabkan infiltrasi sel-sel leukemik, terutama di tempat produksi sumsum tulang

Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan Laboratium
a.    Angka Leukosit
Pada umumnya, angak leukosit meningkat pada sebagian besar penderita LMA, tetapi angka leukosit juga bisa normal atau turun. Didapati angka leukosit bervariasi antara kurang dari 1000 hingga 100.000 per mm3.
Pada angka leukosit normal atau turun, ini dinamakan sub leukemik leukemia, dimana masih dapat ditemukan sel blast dalam darah tepi.

b.    Sel Blast darah tepi
Sel blast meningkat dalam darah tepi pada penderita LMA. Jumlah sel blast dapat bervariasi dari nol hingga 200 x 109 / 1 median antara 15 – 20 x 109/1.
Pada umumnya, ada korelasi antara jumlah sel blast dalam darah dan sumsum tulang dengan pembesaran lien atau manifestasi infiltasi sel leukemik lain.
Bilamana didapati tiada sel blast dalam darah tepi dinamakan aleukemik leukemia. Keadaan ini bisa ditemukan ± 5% penderita LMA.

c.    Angka trombosit
Trombositopenia sebagai akibat infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia ditemukan pada kebanyakan penderita. Pada keadaan yang sangat jarang ada ditemukan trombositosis.

d.   Sel eritrosit
Anemia normositik normokromik ditemukan pada sebagian besar penderita LMA. Dalam apusan darah tepi juga didapatkan eritrosit bernukleus serta retikulositopenia. Anemia terjadi sebagai akibat gangguan produksi sel dalam sumsum tulang yang diakibatkan oleh infiltrasi sel-sel leukemia pada sumsum tulang.

e.    Sumsum tulang
Biasanya sumsum tulang dalam keadaan hiperseluler, dimana kepadatan sel-sel meningkat. Pada pemeriksaan mikroskopik sel-sel blat (mieloblast) dominan, jumlah megakariosit dan sel-sel normoblast sangat menurun. Bila dilakukan biopsi dan pengecatan retikulum akan didapatkan myelofibrosis ini dapat diperhatikan pada dua per tiga kasus LMA.

f.     Asam urat darah
Pada kira-kira separuh kasus LMA, dapat ditemukan asam urat darah meningkat dan begitu juga pada ekskresi asam urat dalam urin, tetapi jarang menimbulkan simptom gout.

g.    Protein darah
Protein darah biasanya berubah. Hiper gamma globulin yang difus didapatkan pada kebanyakan penderita, sedangkan albumin selalu normal waktu diagnosis dan menurut bila lanjut. Beta globulin biasanya naik dan umumnya kenaikkan alfa globulin didapatkan pada keadaan demam atau infeksi. Protein pengikat vitamin B12 bisa meningkat dalam darah pada penderita LMA khususnya bila ditemukan leukositosis. Protein pengikat asam folat meningkat bagi beberapa penderita, terutama pada leukemia mielomonoblastik.

Leukemia mielositik mieloblastik mieloid akut
Gambaran preparat darah apus tepi Leukemia Mieloblastik Akut


Pada LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami neutropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi  in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (lkoroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.


Penatalaksanaan

            Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang berat serta mempunyai profil sitogenik yang favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi, gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandungi preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.

            Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.

            Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini sebenarnya dapat menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.

Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).

Terapi LMA pada Umumnya

            Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

            Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah  high dose cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.

            Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien usia tua.

            Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.

Terapi Leukemia Promielositik Akut

            Insidensi LPA (Leukosit Promielositik Akut) sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakbatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PML-RAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%.

            LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamid acid.

            Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu, cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid acid syndrome/RAS).

            Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan kemoterapi berbasis antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.

            RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik walaupun PAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5000-10000/uL, ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi harus segera dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.

            Sekitar 20%-30% pasien LPA ang mencapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abat yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja; memacu degradasi fusi protein PML-RAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel-sel leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan respon sebesar 70% hingga 100%.


Prognosis

Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-40 % angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih baik.
50-85% penderita LMA memberikan respons yang baik terhadap pengobatan.
20-40% penderita tidak lagi menunjukkan tanda-tanda leukemia dalam waktu 5 tahun setelah pengobatan; angka ini meningkat menjadi 40-50% pada penderita yang menjalani pencangkokan sumsum tulang.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang berusia diatas 50 tahun, penderita yang menjalani kemoterapi dan terapi penyinaran untuk penyakit lain. Pada golongan M5 dan M6, semua pasien meninggal dunia sebelum 2 tahun, sedangkm M3 mempunyai harapan hidup paling lama.

Daftar Pustaka/Referensi
  1. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
  2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996.
  3. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
  4. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4.Jakarta: EGC, 2005
  5. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005
  6. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006.
  7. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit Alumni : Bandung. 1997.
  8. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
  9. Kurniada A. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I., (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. Hal: 716-719.
  10. http://emedicine.medscape.com/article/197802-overview.
  11. Karen Seiter, MD, Professor, Department of Internal Medicine, Division of Oncology/Hematology, New York Medical College Contributor Information and Disclosures. Acute Myelogenous Leukemia. 2009
  12. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Media Aesculapius: Fakultas Kedokteran UI. Hal: 561-562.
  13. http://www.medicastore.com. Leukemia Mieloid Akut. 2005.
  14. T Everington, R J Liesner, A H Goldstone. Acute Leucemia. Ed:Provan D. Clinical Haematology. Second edition. BMJ books. 2003. P:30-34
  15. Estey E., Faderl S., Kantarjian M. Hematologic Malignancies:Acute Leukemias. Springer Berlin Heiderberg. 2008. P:1-57.
  16. Beutler E., Marshall A., Lichtman M.. Williams Hematology 6th edition. November 2000. P:126-177.
  17. http://www.cumc.columbia.edu/dept/ps/2004/Academic/second_year/hematology/html/intro/ppframe.htm

Kata Kunci Pencarian : Leukemia Mieloblastik Akut, AML, Acute Myeloblastic Leukemia, Ilmu Penyakit Dalam, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Skripsi, Referat, Makalah, Jurnal, Tesis, Desertasi, Karya Tulis Ilmiah, Hematologi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)




    0 comments:

    Posting Komentar

    Posting Terbaru

    Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

    Entri Populer

    Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

    Ilmu adalah kunci kemajuan

    Back to Top

    Terima Kasih Telah Berkunjung

    Diberdayakan oleh Blogger.