DEFINISI
Tuberkulosis (TB) paru
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dengan gejala yang sangat bervariasi. TB merupakan setiap penyakit menular pada manusia yang disebabkan
oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan
nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan sedangkan TB paru adalah infeksi paru oleh Mycobacterium tuberculosis.[1]
EPIDEMIOLOGI
EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi
terbagi atas :
· Epidemiologi Global : pada bulan maret 1993, WHO mendeklarasikan TB sebagai global
health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting
karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikrobakterium TB.
Diantara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Alasan utama
munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan :
- Kemiskinan pada berbagai penduduk tidak hanya pada Negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju.
- Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.
- Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama dinegeri-negeri miskin.
- Tidak memadainya pendidikan mengenai TB diantara para dokter.
- Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat.
- Adanya epidemi HIV terutama di afrika dan asia.
Epidemiologi TB di Indonesia : Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 4 penyebab kematian tertinggi di Indonesia.[1]
ETIOLOGI
Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang
dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882,
sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TB pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).
Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang
tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat
penderita TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari
penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam
paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya
tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan,
tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh
yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil
menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang
berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis
bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat
sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik,
bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang
dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami
perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini
membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi
sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum
dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi TB.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan
saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya
kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan
masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal
dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang
lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang
peranan penting dalam terjadinya infeksi TB.
PATOGENESIS
A.
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet
nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat
tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap
oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman
akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak
dalam sito-plasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang primer
ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka
terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran
kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis
lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
- Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5mm dan kurang lebih 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
- Berkomplikasi dan menyebar secara : a).Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya, b).secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c).secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya, d).secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
B. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
- Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
- Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek menjadi jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat:
a. Meluas kembali dan menimbukan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga menjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura;
b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma;
c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni:
- Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
- Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna.
- Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.[1]
MANIFESTASI
KLINIS
Gejala utama TB Paru
adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu,
demam derajat rendah, nyeri dada, dan batuk darah.
Pasien TB paru
menampakkan gejala klinis, yaitu:
- Tahap asimtomatis.
- Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi.
- Eksaserbasi yang memburuk.
- Gejala berulang dan menjadi kronik.
Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan tanda-tanda:
Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)
3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB, yaitu:
- Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah.
- Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).
- Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
- Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
- Adanya kalsifikasi.
- Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
- Bayangan milier.
4. Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
6. Tes Mantoux/Tuberkulin
Tes Tuberkulin merupakan Sejumlah besar uji kulit untuk rednisones yang menggunakan berbagai jenis rednisone dan metode pemakaian yang berbeda.
7. Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)
Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M. Tuberculosis.
9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah.
10. MYCODOT
Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah.
Klasifikasi diagnostik TB adalah:
1. TB paru positif
- BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB.
- BTA mikroskopis langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB (initial therapy). Pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang adekuat
2. TB paru tersangka
Diagnosis pada tabap ini bersifat sementara sampai basil pemeriksaan BTA didapat (paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan dengan anti TB sudah dapat dimulai.
3. Bekas TB (tidak sakit)
Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan atau gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati.
DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
1. Asma Bronkial
Penyakit asma (Bronchial asthma; Exercise-induced asthma) adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala asma dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya redni selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh redniso maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga red menyebabkan timbulnya gejala.
Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan red berlangsung dalam beberapa menit atau red berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.
Gejala awal pada anak-anak red berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga red merupakan satu-satunya gejala. Selama serangan asma, sesak nafas red menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat.
Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan. Meskipin telah mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh sempurna,
Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh penderita. [5]
2. Rhinitis alergi
Penderita rhinitis alergika mengalami hidung tersumbat berat, dan dapat melaporkan sekresi hidung yang berlebihan (rinore), serta bersin yang terjadi berulan dan cepat. Pruritis pada mukosa hidung, tenggorokan, dan telinga sering mengganggu dan disertai kemerahan pada konjungtiva, pruritis mata, dan lakrimasi. Selaput redni yang terserang menunjukan dilatasi pembuluh darah (khususnya venula) dan adema yang menyeluruh dengan gambaran mencolok dari eosinofil dalam jaringan maupun dalam sekresi. Preuritis dapat ditimbulkan dengan hanya meletakan rednison pada mukosa normal, rhinitis alergika dapat mengambarkan pengaruh jaringan pada zat-zat mediator yang berasal dari sel mast yang dikenal. Pelepasan rednison, leukotrien, prostalglandin D, dan sebagainya, dari mukosa dapat terlihat setelah kontak langsung hidung orang yang peka dengan redniso serbuk sari.
Rhinitis alergika terbagi menjadi bentuk “musiman” dan bentuk “perineal”. Rinitis alergika musiman, atau “hay faver”, biasanya menimbulkan satu periode dengan gejala tertentu pada tahun-tahun berikutnya, keadaan ini mencerminkan adanya kepekaan terhadap serbuk sari dan spora jamur yang berterbangan di udara dengan jadwal prevalensi pasti. Rinitis musiman biasanya ringan pada banyak orang dan mereka tidak berobat ke dokter, tetapi dapat merupakan penyakit yang melelahkan pada beberapa orang karena penderita terus menerus bersin, rinore yang banyak, dan preuritis yang tidak sembuh-sembuh. Selaput redni yang sangat pucat dan bengkak biasanya menyertai gejala-gejala ini, dan banyak sekali eusinofil dalan redni hidung.
Rhinitis perineal jarang menunjukan perubahan besar dalam beratnya penyakit sepanjang tahun, dan gejala-gejala sering didominasi oleh obstruksi hidung kronik; penyebab yang mencolok mencakup debu rumah tangga, dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, sehingga pasien akan terpapar bahan-bahan tersebut setiap hari. Rhinitits alergika perineal jarang langsung menjadi sumber gejala yang mendadak, tetapu obstruksi parsial hidung yang menetap dan dapat menimbulkan komplikasi yang tidak menyenangkan, seperti bernapas melalui mulut, dengan akibat pasien mengeluh karena mendengkur dan rasa kering pada orofaring.
Sering timbul lingkaran gelap dan jaringan berlebihan di bawah mata. Istilah populernya “mata bengkan alergik”, perubahan-perubahan ini terjadi dengan obstruksi hidung yang lama oleh sebab apa pun. Mukosa yang bengkak mudah terinfeksi bakteri dan sering dijumpai obstruksi sinus paranasal, mengakibatkan sinusitis rekuren atau kronik.
Pengeluaran redni dari redn-fokus infeksi dalam hidung mempermudah timbulnya sakit tenggorokan dan bronkus menjadi kotor sehingga timbul infeksi. Khususnya pada infeksi rekuren, mukosa hidung yang bengkak dapat membentuk tonjolan redn, tau polip,yang nantinya akan menyumbat jalan napas.
Khususnya pada anak-anak , muara tuba eustasius dalam faring dapat tersumbat oleh pembengkakkan mukosa, pembesaran jaringan limfoid, atau eksudat. Tanpa adanya hubungan udara, tekannan telinga bagian tengah menjadi redniso dan berisi cairan, menimbulkan otitis serosa kronik dengan sekurang-kurangnya trjadi kehilangan pendengaran sementara, dapat mengganggu kemampuan bicara dan pada banyak kasus, sering terjadi infeksi telinga tengah rekuren.[5]
PENATALAKSANAAN
1) Terapi Non-medikamentosa (Edukasi pasien dan keluarga)
Adalah dalam bentuk Edukasi untuk setiap pasien Tb. Diantaranya yang dapat dilakukan adalah :
- Menjelaskan bahwa batuk berdahak yang dirasakan berasal dari gangguan paru dan kekhawatiran mengenai komplikasi penyakitnya dapat dicegah bila pasien berobat dan rednis secra teratur,dan tidak putus obat. Menjelaskan pentingnya penatalaksanaan secara holistic (terutama preventif dan kuratif) untuk keluhannya itu agar harapan pasien tercapai.
- Edukasi tentang penyakit tuberculosis (etiologi, gejala, terapi, pencegahan dan penularan).
- Edukasi mengenai hipertensi dan modifikasi gaya hidup dengan diet rendah garam, mengurangi konsumsi kopi, olahraga dan berhenti merokok.
- Edukasi bahaya dari prilaku self-medication kepada kesehatan.
- Edukasi tentang pentingnya ventilasi dan pencahayaan yang baik untuk menciptakan rumah yang sehat.
- Edukasi tentang lingkungan sehat dan bersih untuk meningkatkan taraf kesehatan.[6]
2) Terapi Medikamentosa (Farmakoterapi)
Pengobatan TB dibedakan atas 2 macam. Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test rednisone (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi redniso) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer
- Pasien yang berkontak erat dengan penderita TB BTA (+).
- INH minimal 3 bulan walaupun uji rednisone (-).
- Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji rednisone ulang menjadi (-).
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder
- Pasien dengan infeksi TB yaitu uji rednisone (+) tetapi tidak ada gejala sakit TB.
- Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.
- Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua kelompok yaitu :
- Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
- Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
- Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin. [8]
Dosis obat antituberkulosis (OAT)
Obat
|
Dosis harian
(mg/kgbb/hari) |
Dosis 2x/minggu
(mg/kgbb/hari) |
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari) |
INH
|
5-15 (maks 300 mg)
|
15-40 (maks. 900 mg)
|
15-40 (maks. 900 mg)
|
Rifampisin
|
10-20 (maks. 600 mg)
|
10-20 (maks. 600 mg)
|
15-20 (maks. 600 mg)
|
Pirazinamid
|
15-40 (maks. 2 g)
|
50-70 (maks. 4 g)
|
15-30 (maks. 3 g)
|
Etambutol
|
15-25 (maks. 2,5 g)
|
50 (maks. 2,5 g)
|
15-25 (maks. 2,5 g)
|
Streptomisin
|
15-40 (maks. 1 g)
|
25-40 (maks. 1,5 g)
|
25-40 (maks. 1,5 g)
|
Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TB di
Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan
strategi global red direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk
menindaklanjuti Indonesia – WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis
Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas
ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional
untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB
di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan
obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan.
Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS)
adalah nama untuk suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar
di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB.
Strategi ini terdiri
dari 5 komponen, yaitu:
- Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang sehingga prograrn ini menjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun akan tersedia.
- Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan secara pasif.
- Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum obatnya dan diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatannya.
- Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari sistem surveilans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan.
- Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan pengobatan. Termasuk terjaminnya kelangsungan persediaan paduan obat ini. Paduan yang yang berlaku di Indonesia sesuai dengan anjuran WHO terdapat dalam tabel.
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam pedoman pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai “pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan” setiap hari.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA prednison. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat.
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan).
Pengobatan TB pada orang dewasa
- Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 . Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada: Penderita baru TB paru BTA positif dan Penderita TB ekstra paru (TB di luar paru-paru) berat.
- Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 . Diberikan kepada: Penderita kambuh, Penderita gagal terapi dan Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
- Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 . Diberikan kepada: Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
Pengobatan TB pada anak
Adapun dosis untuk pengobatan TB jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu:
- 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
- 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
Pengobatan TB pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb. [1, 8]
Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:
TB tidak berat
|
||
INH
|
: 5 mg/kgbb/hari
|
|
Rifampisin
|
: 10 mg/kgbb/hari
|
|
TB berat (milier dan
meningitis TB)
|
||
INH
|
: 10 mg/kgbb/hari
|
|
Rifampisin
|
: 15 mg/kgbb/hari
|
|
Dosis rednisone
|
: 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)[1]
|
Pembedahan pada TB paru
Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkurang. Indikasi pembedahan dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relatif
Indikasi mutlak pembedahan adalah:
- Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap positif
- Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
- Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
Indikasi relatif pembedahan adalah:
- Pasien dengan sputum negatif dan batuk-batuk darah berulang.
- Kerusakan 1 paru atau lobus dengan keluhan.
- Sisa kavitas yang menetap.
PROGNOSIS
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang menyerang paru-paru. Hal ini menyebar dari orang ke orang melalui udara. Setiap tahun TB bertanggung jawab atas kematian sekitar dua juta orang di seluruh dunia. Kesuksesan pengobatan tergantung dari berbagai faktor, beberapa faktor antara lain:
- Kecepatan dalam mencari bantuan medis. Seseorang menunjukkan tanda-tanda dan gejala TB harus melihat seorang dokter sesegera mungkin. Pengobatan awal secara signifikan meningkatkan kemungkinan prognosis jangka panjang positif.
- Kepatuhan berobat. Untuk memastikan prognosis jangka panjang positif, pasien TB ketat harus mematuhi rejimen obat yang diresepkan oleh dokter mereka. Mengubah jadwal pengobatan, dosis dilewatkan atau tidak memakai obat yang akan meningkatkan risiko kematian.
- Konsistensi dalam berobat. Banyak orang mulai merasa lebih baik beberapa minggu setelah memulai pengobatan, namun bakteri TB masih sangat aktif dalam tubuh mereka. Penghentian pengobatan saat ini dapat mengakibatkan resistan terhadap obat TB. Resistan terhadap obat TB adalah jauh lebih sulit untuk mengobati dan membawa risiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan non-resistan terhadap obat TB.
- Jangka waktu. Prognosis jangka panjang untuk pasien yang diobati untuk TB umumnya baik. Dengan pengobatan yang tepat, 90 persen pasien TB akan bertahan penyakit.
- Prinsip berpikir. TB tidak akan hilang dengan sendirinya. Orang dengan TB yang tidak diobati memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada mereka yang mencari pengobatan. Hampir 50 persen orang dengan TB yang tidak diobati meninggal dalam waktu 5 tahun. [7]
PENCEGAHAN
Pencegahan dan pengendalian TB membutuhkan dua
pendekatan paralel. Pada yang pertama, orang dengan TB dan kontak mereka
diidentifikasi dan kemudian diobati. Identifikasi infeksi sering melibatkan
pengujian kelompok berisiko tinggi untuk TB. Dalam pendekatan kedua, anak-anak
yang divaksinasi untuk melindungi mereka dari TB. Tidak ada vaksin yang
tersedia yang memberikan perlindungan yang handal untuk orang dewasa. Namun, di
daerah tropis dimana tingkat spesies lain dari mikobakteri yang tinggi, paparan
mikobakteri nontuberculous memberikan beberapa perlindungan terhadap TB.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan TB keadaan
darurat kesehatan global pada tahun 1993, dan Stop TB Partnership mengembangkan
Global Plan to Stop TB yang bertujuan untuk menyelamatkan 14 juta jiwa antara
tahun 2006 dan 2015. Karena manusia adalah host hanya''''Mycobacterium
tuberculosis, pemberantasan akan mungkin: sebuah tujuan yang akan dibantu oleh
vaksin sangat efektif.
Vaksin
Banyak negara menggunakan Bacillus Calmette-Guerin
(BCG) vaksin sebagai bagian dari program pengendalian TB mereka, terutama untuk
bayi. Menurut WHO, ini adalah vaksin yang paling sering digunakan di seluruh
dunia, dengan 85% dari bayi di 172 negara diimunisasi pada tahun 1993. Ini
adalah vaksin pertama untuk TB dan dikembangkan di Institut Pasteur di Prancis
antara 1905 dan 1921. Namun, massa vaksinasi dengan BCG tidak mulai sampai setelah
Perang Dunia II. Efektivitas pelindung dari BCG untuk mencegah bentuk serius TB
(misalnya meningitis) pada anak-anak lebih besar dari 80%; efikasi protektif
untuk mencegah TB paru pada remaja dan orang dewasa adalah variabel, mulai dari
0 hingga 80%.
Di Afrika Selatan, negara dengan prevalensi TB
tertinggi, BCG diberikan untuk semua anak di bawah usia tiga tahun. Namun, BCG
kurang efektif di daerah di mana mikobakteri kurang lazim, sehingga BCG tidak
diberikan kepada seluruh penduduk di negara-negara. Di Amerika Serikat,
misalnya, vaksin BCG tidak dianjurkan kecuali untuk orang-orang yang memenuhi
kriteria tertentu.
Beberapa vaksin baru untuk mencegah infeksi TB yang
sedang dikembangkan. Vaksin TB pertama rekombinan rBCG30, memasuki uji klinis
di Amerika Serikat pada tahun 2004, disponsori oleh Institut Nasional Penyakit
Alergi dan Infeksi (NIAID). Sebuah studi 2005 menunjukkan bahwa TB DNA vaksin
yang diberikan dengan kemoterapi konvensional dapat mempercepat hilangnya
bakteri serta melindungi terhadap infeksi ulang pada tikus, mungkin diperlukan
waktu empat sampai lima tahun akan tersedia pada manusia. Sebuah vaksin TB yang
sangat menjanjikan, MVA85A, saat ini sedang dalam uji coba fase II di Afrika
Selatan oleh sebuah kelompok yang dipimpin oleh Oxford University, dan
didasarkan pada virus vaccinia rekayasa genetika. Banyak strategi lain juga
digunakan untuk mengembangkan vaksin baru, termasuk vaksin subunit (fusi
molekul terdiri dari dua protein rekombinan disampaikan dalam ajuvan) seperti
Hybrid-1, HyVac4 atau M72, dan adenovirus rekombinan seperti Ad35. Beberapa
vaksin dapat diberikan secara efektif tanpa jarum, membuat mereka lebih baik
untuk daerah-daerah dimana HIV sangat umum. Semua vaksin ini telah berhasil
diuji pada manusia dan sekarang dalam pengujian diperpanjang di daerah endemik
TB. Dalam rangka mendorong penemuan lebih lanjut, para peneliti dan pembuat
kebijakan ekonomi baru mempromosikan model pengembangan vaksin, termasuk
hadiah, insentif pajak dan komitmen memajukan pasar.
Bill dan Melinda Gates Foundation telah menjadi
pendukung kuat dari pengembangan vaksin TB baru. Baru-baru ini, mengumumkan
hibah $ 200 juta untuk Yayasan Aeras TB Vaksin Global untuk uji klinis pada
hingga enam kandidat vaksin TB yang berbeda saat ini sedang
dilakukan.[8]
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
- Sudoyo A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p;2230-1, 2232-7.
- Kumala P, dkk. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Ed. 25. Jakarta: EGC. 1998
- Centers for Disease Control and Prevention. Testing and Diagnose of Tuberculosis. [online]. 2011 Mey 25 [cited 2014 Mar 18]. [3 screen]. Available from: URL: http://www.cdc.gov/tb/topic/testing/bloodtest.htm
- Media Informasi Obat Penyakit. Asma. [online]. [cited 2015 Maret 20]. [3 screen]. Avalable from: URL : http://medicastore.com/penyakit/2/Asma.html
- Rhinitis Alergi. [online]. [cited 2015 maret 22]. [5 screen]. Available from: URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/4/Chapter%20II.pdf
- Treatment For Disease. [online]. [cited 2012 maret 20]. [1 screen ]. Available from:
URL : xa.yimg.com/kq/groups/13472721/516091898/name/bwt+lms.ppt - eHow Health. Prognosis Of Tuberculosis. [online]. [cited 2015 maret 19]. [2 screen]. Available from: URL: http://www.ehow.com/facts_5669721_prognosis-tuberculosis.html
- News Medical. Pencegahan Tuberkulosis. [online]. [cited 2015 maret 23]. [2 screen]. Available from: URL : http://www.news-medical.net/health/Tuberculosis-Prevention-%28Indonesian%29.aspx
Kata Kunci Pencarian: Tuberkulosis Paru, TBC, Referat, Skripsi, Makalah, Jurnal, Artikel, Karya Tulis Ilmiah, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Pulmonologi, Ilmu Penyakit Dalam, Desertasi, Tesis, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan), Isoniazid, isonicotinic acid hydrazide (INH)
0 comments:
Posting Komentar