Hipertiroidisme

Definisi
  Hipertiroidisme adalah sekumpulan kelainan yang melibatkan sintesis dan sekresi berlebihan dari hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, yang akan mengakibatkan kondisi hipermetabolik dari tirotoksikosis. Bentuk paling umum dari hipertiroidisme diantaranya adalah goiter difus toksik (Penyakit Graves), goiter multinodular toksik (Penyakit Plummer), dan adenoma toksik. Bersama dengan tiroiditis subakut, kondisi-kondisi ini adalah 85-90% dari penyebab tirotoksikosis.

  Istilah hipertiroidisme dan tirotoksikosis sering dipertukarkan. Tirotoksikosis berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis sebagai akibat produksi tiroid itu sendiri. Tirotoksikosis terbagi atas kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme.
  Gejala umum dari tirotoksikosis diantaranya adalah, kecemasan, perasaan grogi, keringat berlebihan, intoleransi terhadap hawa panas, hiperaktivitas, palpitasi (dada berdebar-debar). Tiroid berasal dari bahasa Yunani, thyreos yang berarti perisai dan eidos yang berarti bentuk. Hormon tiroid merupakan hormone yang dihasilkan kelenjar tiroid. Hormon ini mempengaruhi berbagai metabolisme tubuh, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat, kulit, saluran makanan, hati, gonad (alat kelamin), laktasi dan pertumbuhan tubuh. Penyakit ini relatif sering mengenai empat hingga lima kali lebih sering pada wanita daripada pria. Insiden tertinggi pada kelompok usia 15 hingga 40 tahun. Terdapat kecenderungan familial dan sering terjadi pada ras Kaukasia. (Chandrasoma Parakrama, 2005).
Ilmu kedokteran, anatomi, praktikum, preklinik, fisiologi, jas lab, jas laboratorium, ident, identifikasi, kuliah, fakultas, buku, ujian, lobus kanan kiri, ismus, piramidalis, trakea, trakhea, larinx, larynx, larings, laring, kartilago,tenggorokan, kerongkongan, gondok
Gambaran Anatomi Kelenjar Tiroid
  Kadar yang meningkat pada kelainan ini adalah tiroksin bebas (FT4), triiodotironin bebas (FT3), atau keduanya, yang akan mengakibatkan kondisi hipermetabolik dari tirotoksikosis. Pemeriksaan skrining yang biasanya diandalkan pada populasi dewasa adalah kadar TSH. Derajat tirotoksikosis ditentukan oleh pengukuran dari kadar hormon tiroid. Pemeriksaan autoantibodi, dan skintigrafi tiroid nuklir pada beberapa kasus, dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai etiologi.
  Penanganan hipertirodisme diantaranya adalah dengan perbaikan gejala, dan juga terapi dengan medikasi antitiroid, iodine radioaktif, atau tiroidektomi. Namun demikian, medikasi antitiroid tidak efektif pada tirotoksikosis yang disebabkan tiroiditis subakut, karena pada kasus ini terjadi karena hormon tiroid yang sudah terbentuk. (akan dibahas selanjutnya)

ETIOLOGI
  Terdapat banyak penyebab dari hipertiroidisme. Lebih seringnya keseluruhan kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid yang berlebih, penyebab yang jarang, namun terjadi, adalah apabila sebuah nodul bertanggungjawab terhadap sekresi hormon yang berlebihan, hal ini dinamakan “hot” nodule. Tiroiditis (Inflamasi dari tiroid) dapat juga menyebabkan hipertiroidisme. Jaringan tiroid fungsional yang memproduksi hormon tiroid yang berlebih terjadi pada berbagai kondisi klinis.

Penyebab Hipertiroidisme
Biasa
  • Penyakit Graves
  • Nodul Tiroid Toksik: Multinodular dan mononodular toksik
  • Tiroiditis: de Quervain’s dan silent
Tidak Biasa
  • Hipertiroidisme Neonatal
  • Hipertiroidisme faktisius
  • Sekresi TSH yang tidak tepat oleh hipofisis: tumor, nontumor (sindrom resistensi hormon tiroid)
  • Yodium/iodin eksogen
Jarang
  • Metastasis kanker tiroid
  • Koriokarsinoma dan mola hidatidosa
  • Struma ovarii
  • Karsinoma testikular embrional
  • Pilyostotic fibrous dysplasia (Sindrom McCune-Albright)
Tiga penyebab utama hipertiroidisme adalah : 
  • Penyakit Graves. Suatu penyakit autoimun, yang ditandai dengan adanya autoantibodi kelas IgG di dalam serum yang ditujukan untuk melawan reseptor TSH pada sel tiroid. Kombinasi antibodi dengan reseptor menyebabkan stimulasi sel untuk menghasilkan hormon tiroid. (Biasanya adalah penyebab yang paling sering dengan angka 50-80% di seluruh dunia, walaupun bervariasi pada lokasi tertentu misalnya Switzerland (47%) dan 90% di Amerika Serikat, hal ini diduga dikarenakan jumlah iodin yang berbeda dalam diet) Penyakit ini delapan kali lebih mungkin terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dan seringkali terjadi pada perempuan muda usia 20 – 40 tahun.
  • Adenoma Toksik Tiroid.  Kelainan ini disebabkan oleh sebuah adenoma folikular tiroid yang mengalami hiperfungsi. Keadaan ini menyebabkan 3-5% dari kasus tirotoksikosis, walaupun di negara tertentu bisa jauh lebih tinggi dari itu contohnya switzerland yang diduga dipengaruhi oleh asupan iodin.  Sekresi berlebih dari hormon tiroid ini terjadi dari tumor monoklonal benigna yang biasanya lebih besar dari 2,5 cm dalam diameter. Hormon tiroid yang berlebihan ini mensupresi kadar TSH. RAIU (Radioactive Iodine Uptake) biasanya normal, dan hasil scan menunjukkan hanya hot nodule, dengan sisa kelenjar  tiroid lainnya tersupresi karena kadar TSH yang rendah.
  • Goiter Multinodular Toksik. Atau dikenal juga sebagai penyakit Plummer adalah 15-20% penyebab dari kasus tirotoksikosis. Keadaan ini lebih sering terjadi pada individu usia tua, terutama mereka dengan goiter jangka panjang. Kelebihan hormon tiroid bertambah sangat pelan seiring waktu dan seringkali hanya meningkat sedikit pada saat diagnosis. Gejala tirotoksikosis pada keadaan ini ringan, seringkali dikarenakan hanya ada kenaikan kadar hormon tiroid yang sedikit, dan gejala dan tanda tirotoksikosis seringkali tumpul (apathetic hyperthyroidism) pada pasien tua. Namun demikian, kadar hormon tiroid dapat menjadi sangat tinggi dalam kondisi ini apabila diberikan asupan iodin tinggi (misalnya radiokontras yang mengandung iodin atau paparan amiodarone). 
anatomi, fisiologi, praktikum, penyakit dalam, endokrinologi, fakultas kedokteran, patologi anatomi, goiter, gondok, yodium, garam, rumput laut, iodin, animasi, ilsutrasi
Gambaran pembesaran kelenjar tiroid (goiter), area di dalam garis batas hitam adalah ukuran tiroid normal. Gambar oleh : Blausen.com staff (2014). "Medical gallery of Blausen Medical 2014".  dengan izin CC BY 3.0

Kadar hormon tiroid pada darah (paling tepat diistilahkan sebagai hipertiroksinemia) dapat terjadi karena beberapa penyebab:
  • Inflamasi tiroid atau dikenal sebagai tiroiditis. Terdapat beberapa jenis tiroiditis diantaranya tiroiditis Hashimoto (hipotiroidisme yang dimediasi imunitas) dan tiroiditis subakut (de Quervain's).  Keadaan ini pada awalnya mungkin dihubungkan dengan sekresi hormon tiroid yang berlebihan namun biasanya berkembang menuju disfungsi kelenjar yang mana kemudian akan terjadi defisiensi hormon dan hipotiroidisme.
  • Konsumsi berlebihan secara oral tablet hormon tiroid juga memungkinkan sebagai penyebab (penggunaan diam-diam hormon tiroid), begitu juga dalam kejadian jarang dan langka namun dapat terjadi yaitu konsumsi daging yang terkontaminasi jaringan tiroid hewan tersebut, sehingga juga mengkonsumsi hormon tiroid (diistilahkan sebagai “hipertiroidisme hamburger”).
  • Amiodarone, sebuah obat antiaritmia, yang secara struktural mirip dengan tiroksin dan dapat menyebabkan aktivitas yang berlebih maupun aktivitas yang dibawah normal dari tiroid. 
  • Tiroiditis post partum / Postpartum thyroiditis (PPT) terjadi pada sekitar 7% wanita selama setahun setelah melahirkan. PPT secara khas memiliki beberapa fase, yang pertama adalah hipertiroidisme. Bentuk hipertiroidisme ini biasanya mengkoreksi dirinya sendiri dalam beberapa minggu atau bulan tanpa memerlukan perawatan.
  • Pasien dengan kehamilan molar hidatiform atau koriokarsinoma memiliki kadar beta human chorionic gonadotropin (β-hCG) yang sangat tinggi, yang dapat mengaktifkan (dengan lemah) reseptor TSH. Pada kadar β-hCG yang amat sangat tinggi, aktivasi reseptor TSH cukup untuk menyebabkan tirotoksikosis.
  • Struma ovarii adalah suatu bentuk langka dari teratoma monodermal yang sebagian besar terdiri dari jaringan tiroid, dapat mengakibatkan hipertiroidisme. 
  • Konsumsi iodin berlebihan contohnya dengan konsumsi sebuah alga / lumut yang bernama kelp. Iodide-induced thyrotoxicosis (Jod-Basedow syndrome) terjadi pada pasien dengan intake iodin berlebihan misalnya dari radiokontras yang mengandung iodin pada penelitian). 

      Tirotoksikosis dapat juga terjadi setelah mengkonsumsi terlalu banyak hormon tiroid dalam bentuk suplemen, seperti levothyroxine (sebuah fenomena yang dikenal sebagai tirotoksikosis eksogenus, tirotoksikosis alimentary, atau  occult factitial thyrotoxicosis). Hipersekresi dari TSH, yang hampir selalu dikarenakan oleh adenoma kelenjar pituitari (adenohipofisis), adalah kurang dari 1% penyebab kasus hipertiroidisme. 
  Sekitar 70%  hipertiroid maupun tirotoksikosis disebabkan oleh penyakit Graves atau struma difus toksik, sisanya karena gondok multinoduler toksik dan adenoma toksik. Etiologi lainnya baru dipikirkan setelah sebab tiga diatas disingkirkan. (Sudoyo W. Aru dkk, 2009)

Genetika
  Faktor genetik tampaknya mempengaruhi insidensi tirotoksikosis. Penyakit autoimun tiroid, diantaranya hipotiroidisme Hashimoto dan penyakit Graves, seringkali terjadi pada beberapa anggota dalam suatu keluarga.
  Banyak sindrom genetik dihubungkan dengan hipertiroidisme, terutama penyakit tiroid autoimun. Sindrom McCune-Albright disebabkan oleh mutasi pada gen GNAS. Gen ini bertugas mengkode subunit stimulasi alfa G-protein, yang merupakan komponen penting dalam berbagai jalur (pathway) transduksi sinyal. Pada pasien ditemukan 3 tanda khas yaitu displasia poliostotik fibrous, bintik café-au-lait irreguler, dan pubertas dini. Pada sindrom ini juga mungkin dapat muncul asimetri wajah, sindrom Cushing, hipertiroidisme dan akromegali. 
  Sejumlah kelainan dari fungsi tiroid ditemukan disebabkan oleh mutasi pada gen TSHR, yang mengkode reseptor protein TSH. Kelainan ini diantaranya adalah :
  • Familial gestational hyperthyroidism
  • One type of nonimmune hyperthyroidism
  • Congenital nongoiterous thyrotoxicosis
  • Toxic thyroid adenoma dengan mutasi somatik
Sindrom poliendokrin autoimun tipe II diasosiasikan dengan hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, begitu juga diabetes melitus tipe 1 dan insufisiensi adrenal. Pasien mungkin juga mengalami defisiensi imun, seperti dimanifestasikan dengan kandidiasis mukosal kronik. 
Penyakit tiroid autoimun memiliki prevalensi lebih tinggi pada pasien dengan antigen leukosit / human leukocyte antigen (HLA)-DRw3 dan HLA-B89. Penyakit Graves diduga berhubungan dengan HLA, dan merupakan kelainan organ yang spesifik pada fungsi T-cell supressor. Serupa dengan hal tersebut, tiroiditis subakut atau granulomatous terjadi lebih sering pada pasien dengan HLA-Bw35. Seperti pada penyakit imun lainnya, kondisi tiroid ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. 
Dengan adanya berbagai studi dan penelitian mengenai asosiasi genom secara luas , ditemukan lebih dari selusin gen dan regio gen yang berhubungan dengan peningkatan resiko akan berkembangnya suatu tirotoksikosis, terutama penyakit Graves. Namun sesuai perkiraan, studi-studi tersebut menunjukkan hubungan antara gen-gen tersebut ternyata sama turut berkontribusi terhadap perkembangan kelainan endokrin autoimun lainnya, seperti diabetes melitus tipe 1. 
Lokus-lokus untuk menyimpulkan fungsi spesifik yang mana, dapat ditelusuri dan tampaknya melibatkan gen yang berhubungan dengan HLA, fungsi imun non HLA, dan fungsi tiroid. Namun demikian rasio kemungkinan (odds ratio) yang telah ditentukan pada penelitian ini, secara umum mengindikasikan hanya peningkatan sedikit akan peningkatan resiko terjadinya penyakit Graves. 
Kebanyakan studi asosiasi genom luas ini berfokus pada goiter toksik difus (misalnya penyakit Graves). Namun demikian, pada satu studi, telah menemukan hubungan antara berkembangnya goiter multinodular toksik (penyakit Plummer) dengan sebuah single-nucleotide polymorphism (SNP) pada gen TSHR. SNP ini ditemukan pada 9,6% pasien normal, 16,3% pasien dengan penyakit Graves, dan 33,3% pada pasien dengan goiter multinodular toksik. 

ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin yang tersebar di tubuh. Walaupun kelenjar-kelejar endokrin umumnya tidak berhubungan secara anatomis, mereka secara fungsional dianggap membentuk suatu sistem. Kelenjar-kelenjar tersebut melaksanakan fungsi mereka dengan mensekresikan hormon, dan diantara berbagai kelenjar endokrin berlangsung banyak interaksi fungsional. (Lauralee Sherwood, 2001)
Kelenjar tiroid, terletak tepat di bawah laring pada kedua sisi dan sebelah anterior trakea, merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar, normalnya memiliki berat 15-20  gram pada orang dewasa. Tiroid mensekresikan dua macam hormone utama, yakni tiroksin (T4) dan triidotironin (T3). Kedua hormon ini sangat meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh. Kekurangan total sekresi tiroid biasanya menyebabkan penurunan kecepatan metabolisme basal kira-kira 40-50 persen di bawah normal, dan bila kelebihan sekresi tiroid sangat hebat dapat meningkatkan kecepatan metabolism basal sampai 60-100 persen di atas normal. (Guyton Arthur C dan Hall John E, 2007).
Kelenjar tiroid berkembang dari invaginasi tabung faring embrionik (duktus tiroglosus), yang bermigrasi kebawah dan kedalam leher dan disini berkembang menjadi kelenjari tiroid. (Chandrasoma P dan Taylor R. Clive, 2005).
Secara histologis, tiroid dilapisi oleh epitel kolumnar sampai kuboid simpleks, dan terisi oleh koloid yang banyak mengandung tiroglobulin. (Kumar Vinay et all., 2007).
Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (Thyroid-stimulating hormone) dari adenohipofisis (pituitary gland/kelenjar pituitari). Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropine-releasing hormone) dari hipotalamus. TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada kelenjar tiroid. TSH mengontrol produksi pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasikan oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid pada jaringan perifer, misalnya, mengurangi respon adenohipofisis terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (sebagai umpan balik negatif). (Sub Bagian Endokrin-Metabolik UNAIR,2006)
Hipertiroid, hipertiroidisme, Thyrotropine-releasing hormone, TRH, Thyroid-stimulating hormone, TSH, hipotalamus, adenohipofisis, kelenjar pituitari, pituitary gland, dopamin, somatostastin, tiroksin bebas / free thyroxine (FT4) dan triiodotironin bebas / free triiodothyronine (FT3), kelenjar tiroid, jaringan perifer, homeostasis, homeostatic, endokronologi, metabolik endokrin
Diagram pengaturan hormon tiroid pada tubuh manusia

Sintesis hormon tiroid memerlukan iodin (iodium).  Iodida anorganik yang diperoleh dari makanan ditransportasikan menuju kelenjar oleh transporter iodida, kemudian dirubah menjadi iodine, dan melekat ke tiroglobulin oleh enzim tiroid peroksidase melalui suatu proses organifikasi. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya  monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), yang saling berpasangan dan membentuk  T3 dan T4;  yang kemudian akan disimpan oleh tiroglobulin di dalam lumen folikular tiroid. Tiroid menyimpan sebagian besar persediaan hormon yang telah terbentuk.
Hormon tiroid kemudian berdifusi menuju sirkulasi perifer. Lebih dari 99% T4 dan T3 pada sirkulasi perifer diikat oleh protein plasma dan bersifat inaktif. T3 bebas, 20-100 kali lebih aktif secara biologis bila dibandingkan T4 bebas. T3 bebas, bekerja dengan cara melekat pada reseptor nuklear (protein pengikat DNA pada nukleus sel), kemudian meregulasi proses transkripsi dari berbagai protein seluler. 

PATOFISIOLOGI
Seperti disebutkan pada bagian fisiologi di atas, regulasi hormon tiroid terjadi pada beberapa tingkatan dan organ. Proses apapun yang menyebabkan kenaikan hormon tiroid bebas pada sirkulasi perifer dapat menyebabkan tirotoksikosis. Gangguan dari mekanisme homeostasis normal dapat terjadi tingkatan kelenjar pituitari (adenohipofise), kelenjar tiroid, maupun perifer. Apapun etiologinya, hasil dari gangguan ini adalah peningkatan dalam proses transkripsi protein seluler, menyebabkan peningkatan basal metabolic rate (BMR). Dalam banyak hal, tanda dan gejala hipertiroidisme menyerupai keadaan katekolamin yang berlebihan, dan blokade adrenergik dapat memperbaiki gejala-gejala ini.
      Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibodi reseptor thyroid simulating hormone (TSH) yang merangsang aktivitas tiroid, sedangkan pada goiter multinodular toksik berhubungan dengan autonomi tiroid itu sendiri. Ada pula hipertiroidisme sebagai akibat peningkatan sekresi TSH dari hipofisis, namun jarang ditemukan. Hipertiroidisme pada T3 tirotoksikosis mungkin diakibatkan oleh deiodinasi T4 pada tiroid atau meningkatnya T3 pada jaringan di luar tiroid. Pada tirotoksikosis yang tidak disertai hipertiroidisme seperti tiroiditis terjadi kebocoran hormon. Masukan hormon tiroid dari luar yang berlebihan dan terdapatnya jaringan tiroid ektopik dapat mengakibatkan tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme.
Pada penyakit Graves, autoantibodi yang bersirkulasi terhadap reseptor tirotropin mengakibatkan stimulasi terus-menerus dari kelenjar tiroid. Antibodi-antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan tiroglobulin, dan juga dapat menstimulasi uptake iodin, sintesis protein dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Tirotoksikosis adalah keadaan hipermetabolik yang disebabkan oleh meningkatnya kadar T3 dan T4 bebas. Hal ini disebabkan karena hiperfungsi kelenjar tiroid. Tirotoksikosis sering disebut hipertiroid, namun pada keadaan tertentu, peningkatan tersebut berhubungan dengan pengeluaran berlebih dari hormon tiroid yang sudah jadi (misalnya pada tiroiditis) atau yang bukan karena hiperfusi kelenjar. (Kumar Vinay et all., 2007).
Seperti yang dibahas sebelumnya, Hipertiroid sendiri paling banyak disebabkan oleh penyakit Grave’s. Penyakit ini ditandai dengan adanya baik sel B maupun sel T limfosit yang mudah tersensitisasi oleh paling sedikit 4 autoantigen tiroid yaitu reseptor TSH, tiroglobulin, tiroid peroksidasedan sodium/iodide kotranspoter. Reseptor TSH merupakan autoantigen primer pada penyakit Grave’s dan yang lain merupakan autoantigen sekunder. Pada penyakit Grave’s, limfosit T menjadi tersensitisasi oleh antigen dan menstimulasi limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. (Sub Bagian Endokrin-Metabolik UNAIR,2006)

Patofisiologi Oftalmopati Graves
Patofisiologi dasar dari oftalmopati Graves (disebut juga orbitopati yang terkait tiroid) belum sepenuhnya terpetakan. Diduga kuat melibatkan suatu reaksi antibodi terhadap reseptor TSH yang yang menghasilkan akstivasi sel T terhadap jaringan pada ruang retro-orbital yang berbagi epitop antigenik yang sama dengan sel folikular tiroid.
Berbagai proses imun ini mengarah kepada suatu fase aktif inflamasi, dengan infiltrasi limfosit pada jaringan orbital dan pelepasan sitokin yang menstimulasi fibroblas orbital untuk menggandakan diri dan memproduksi mukopolisakarida (glikosaminoglikan), yang mengabsorbsi air. Sebagai akibatnya, otot ekstraokular menebal dan jaringan adiposa dan jaringan ikat retroorbital meningkat dalam volume.
  Merokok dan kadar autoantibodi reseptor TSH yang tinggi adalah faktor risiko signifikan untuk oftalmopati. Selain itu, pasien yang merokok tampaknya lebih mungkin mengalami oftalmopati yang memburuk jika dilakukan perawatan dengan iodin radioaktif, sebagaimana juga dialami pasien dengan kadar T3 yang tinggi sebelum perawatan dan pasien post terapi hipotiroidisme.

MANIFESTASI KLINIS

Pada kondisi hipertiroid terdapat beberapa gejala yang menyertai yaitu :
  • Gejala konstitusi, yakni kulit pasien cenderung lunak, hangat, dan kemerahan ; pasien sering tidak tahan panas dan banyak berkeringat. Peningkatan aktivitas simpatis dan hipermetabolisme menyebabkan penurunan berat badan walaupun nafsu makan meningkat.
  • Saluran cerna, yakni stimulasi usus menyebabkan hipermotilitas, malabsorbsi dan diare.
  • Jantung, yakni palpitasi dan takikardia sering terjadi, pada pasien lanjut usia dapat mengalami gagal jantung kongestif akibat bertambah parahnya penyakit jantung yang sudah ada.
  • Neuromuskular, yakni pasien sering mengalami kecemasan, tremor, iritabilitas serta hiperkinesia. Hampir 50 % pasien mengalami kelemahan otot proksimal (miopati tiroid).
  • Manifestasi mata, yakni tatapan yang lebar yang sering disebut dengan eksoftalmus. Hal ini terjadi karena pembengkakan pada otot dan jaringan ikat dibelakang mata. 
  • Thyroid storm digunakan untuk menamai onset hipertiroid yang parah dan akut. Penyakit ini paling sering ditemukan pada pasien yang sudah mengalami penyakit Grave’s, hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan katekolamin, seperti yang dapat ditemukan pada keadaan stres. Thyroid storm adalah kedaruratan medis. Cukup banyak pasien yang tidak diobati meninggal akibat aritmia jantung.
  • Hipertiroidisme apatetik mengacu pada tirotoksikosis yang terjadi pada lanjut usia. Pada usia tua berbagai penyakit yang sudah ada mungkin meredam gejala khas kelebihan hormon tiroid yang biasanya terlihat pada pasien yang berusia muda. (Kumar Vinay et al., 2007).
Gambaran Klinis Hipertiroidisme
Umum*
Berat badan turun, keletihan, apatis, berkeringat, tidak tahan panas
Kardiovaskular
Palpitasi*, sesak nafas, angina, gagal jantung, sinus takikardi, fibrilasi atrium, nadi kolaps
Neuromuskular
Gugup*, Agitasi*, Tremor*, korea atetosis, psikosis, kelemahan otot, miopati proksimal, paralisis periodik, miastenia gravis**
Gastrointestinal
Berat badan turun meskipun nafsu makan meningkat, diare, steatore, muntah
Reproduksi
Oligomenore
Kulit
Pruritus, eritema palmaris, miksedema pretibial**, rambut tipis
Struma
Difus dengan/tanpa bising, nodosa
Mata
Lid retraction, lid lag
Periorbital puffiness
Lakrimasi meningkat dan grittiness of eyes**
Kemosis (edeme konjungtiva)**
Proptosis, ulserasi kornea**
Oftalmoplegia, diplopia**
Edema papil, penglihatan kabur**
*Paling sering
**Hanya terdapat pada penyakit Graves

      Manifestasi klinis dari tirotoksikosis dapat beragam antara satu pasien dengan yang lainnya. Tirotoksikosis jelas mengarah pada gejala-gejala yang terkait peningkatan aktivitas simpatik pada sistem saraf. Pasien yang lebih muda cenderung menunjukkan gejala aktivasi simpatetik seperti kegelisahan (anxiety), hiperaktivitas, dan tremor, sedangkan pasien umur tua lebih kepada gejala kardiovaskular, seperti dispneu (dyspnea) dan fibrilasi atrium dengan pengurangan berat tubuh yang tidak dapat mereka jelaskan kenapa. Manifestasi klinis yang muncul tidak selalu sesuai dan berkorelasi langsung dengan jumlah kelainan biokimiawi yang terjadi.
Secara umum, sekumpulan informasi, antara lain lama dan keparahan gejala, riwayat medis masa lalu, riwayat keluarga dan sosial, sebagai tambahan dengan informasi yang diperoleh dari pemeriksaan fisik, membantu membimbing petugas medis dalam menentukan diagnosis yang tepat.  Sebagai contoh, penyakit Graves adalah suatu penyakit autoimun, dan pasien biasanya memiliki riwayat penyakit keluarga atau riwayat medis masa lalu dari penyakit autoimun (misalnya artritis rheumatoid, anemia pernisiosa, vitiligo). Penderita dengan penyakit Graves sering memiliki gejala yang lebih jelas bila dibandingkan pasien dengan tirotoksikosis yang berasal penyebab lainnya, karena kadar hormon tiroid biasanya adalah paling tinggi pada hipertiroidisme jenis ini. Penegakkan diagnosis adanya penyakit Graves seharusnya dipertimbangkan bila ditemukan bukti adanya penyakit mata tiroid, edema periorbital, diplopia, atau ptosis. 
Goiter multinodular toksik terjadi pada pasien yang diketahui telah memiliki goiter nontoksik selama beberapa tahun atau bahkan dekade. Seringkali, pasien berpindah dari area di dunia dimana asupan iodinnya rendah atau memiliki riwayat keluarga yang kuat akan adanya goiter nontoksik.
Hipertiroidisme subklinis, didefinisikan sebagai sebuah keadaan dimana kadar  thyroid -stimulating hormone (TSH) rendah dengan kadar tiroksin bebas / free thyroxine (FT4) dan triiodotironin bebas / free triiodothyronine (FT3) yang normal, dan terdapat gejala klinis tirotoksikosis yang minimal atau tidak ada sama sekali.  Namun demikian keadaan tertentu (misalnya atrial fibrilasi, osteoporosis, atau hiperkalsemi) dapat menunjukkan adanya suatu tirotoksikosis. Bahkan, hipertiroidisme subklinis telah dikaitkan dengan peningkatan resiko tiga kali lipat akan terjadinya fibrilasi atrial. Prevalensi dari hipertiroidisme subklinik dapat sampai hingga setinggi 2% dari populasi umum.
Resiko terjadinya fibrilasi atrial dapat meningkat bahkan pada orang dengan fungsi tiroid yang normal sampai tinggi. Dalam sebuah laporan dari belanda pada 1426 pasien dengan kadar TSH pada range normal (0.4-4.0 mIU/L), nilai hazard ratio untuk fibrilasi atrial adalah 1,94 bila dibandingkan kuartil terendah terhadap kuartil tertinggi TSH, dengan follow-up median selama 8 tahun.
Paparan radiasi meningkatkanresiko penyakit tiroid nodular benigna maupun maligna, terutama dengan kadar radiasi yang lebih tinggi yang digunakan pada terapi radiasi. Radiasi eksternal dikaitkan dengan peningkatan insidensi hipertiroidisme autoimun ketika tiroid berada dalam medan radiasi. 


DIAGNOSIS

Anamnesis
Jika suspek sudah mengarah ke hipertiroidisme ulas lengkap mengenai apa saja yang dikonsumsi pasien seperti obat-obatan dan suplemen makanan. Sejumlah senyawa yang terdapat misalnya pada ekspektoran, amiodarone, pewarna kontras beriodin, dan suplemen makanan kesehatan mengandung ekstrak rumput laut atau kelenjar tiroid, yang didalamnya terkandung banyak yodium yang dapat menginduksi tirotoksikosis pada pasien dengan tiroid otonom. Jarang, paparan terhadap iodin dapat menyebabkan tirotoksikosis pada pasien dengan tiroid yang sehat. 
Riwayat keluarga sebaiknya dipertanyakan seperti : 
  • Adanya penyakit autoimun
  • Adanya penyakit tiroid
  • Perpindahan dari daerah dengan defisit iodin pada asupan makanan


Pemeriksaan fisik

Tiroid terletak di bagian anterior bawah leher. Isthmus (ismus) dari kelenjar yang berbentuk kupu-kupu ini secara umum terletak tepat di bawah kartilago krikoid dari trakea, dengan “sayap” dari glandula membungkus di sekitar trakea. Pemeriksaan fisik seringkali dapat membantu klinisi menentukan etiologi dari tirotoksikosis. Tanda-tanda yang biasanya ditemukan pada tirotoksikosis diantaranya: 
  • Takikardi atau aritmia atrial
  • Hipertensi sistolik dengan pelebaran tekanan nadi 
  • Kulit hangat, lembab, licin
  • Lid lag (tertundanya penurunan palpebra saat mata melirik kebawah)
  • Stare (tatapan seperti melotot)
  • Tremor tangan
  • Kelemahan otot
  • Kehilangan bobot tubuh walaupun diiringi peningkatan nafsu makan (Namun ada beberapa pasien yang bobot tubuhnya naik, jika input makanan jauh melampaui batas bobot hilang)
  • Pengurangan dalam jumlah menstruasi atau oligomenore (oligomenorrhea)
Pemeriksaan Tiroid

Tirotoksikosis pada penyakit Graves ditandai dengan kelenjar tiroid yang mengalami pembesaran difus dan sedikit terasa kencang. Terkadang, sebuah bruit tiroid dapat terdengar dengan menggunakan bagian bell dari stetoskop. 
Goiter toksik multinodular secara umum ditandai dengan  kelenjar tiroid  yang mengalami pembesaran 2 sampai 3 kali ukuran normalnya. Kelenjarnya seringkali lembek, tetapi nodul individual dapat terpalpasi. Dikarenakan kebanyakan nodulnya tidak dapat terpalpasi, nodul tiroid sebaiknya direkam dengan ultrasonografi (USG) tiroid, tetapi nodul tiroid yang sangat aktif hanya dapat ditunjukkan dengan pencitraan nuklir tiroid dengan scanning radioiodine (I-123) atau technetium (Tc99m) dari tiroid.
Jika tiroid membesar dan terasa nyeri, tiroiditis nyeri subakut atau tiroiditis granulomatous adalah diagnosis yang memungkinkan. Namun demikian, degenerasi atau perdarahan kedalam nodul dan tiroiditis supurativa dapat juga dipertimbangkan sebagai diagnosis lainnya. 

Pemeriksaan oftalmologik dan dermatologik
Sekitar 50% pasien dengan tirotoksikosis Graves memiliki oftalmopati ringan. Seringkali ini hanya termanifestasikan oleh edema periorbital, tapi juga dapat termasuk didalamnya mengalami edema konjuntiva (kemosis), injeksi, kesulitan menurunkan palpebra, disfungsi muskulus ekstra okular (diplopia), dan proptosis / eksoftalmus. Bukti akan adanya suatu penyakit mata tiroid yang disertai kadar hormon tiroid tinggi adalah dasar diagnosis penyakit autoimun Graves.
Beberapa istilah dalam oftalmopati hipertiroidisme :
  • Eksoftalmus : bulbus okuli menonjol keluar
  • Tanda stellwag’s : mata jarang berkedip
  • Tanda Von Graefes : jika klien melihat kebawah maka palpebra superior sukar atau sama sekali tidak dapat mengikuti bola mata.
  • Tanda Mobieve : sukar mengadakan atau menahan konvergensi
  • Tanda Joffroy : tadak dapat mengerutkan dahi jika melihat keatas
  • Tanda Rosenbagh : tremor palpebra jika mata menutup
    Pada kejadian langka, penyakit Graves mempengaruhi kulit melalui deposisi glikosaminoglikans pada dermis di  tungkai bawah. Ini menyebabkan edema nonpitting, yang biasanya berhubungan dengan eritema dan penebalan kulit, tanpa disertai nyeri atau gatal (pruritus).

Pada pasien hipertiroid sering digambarkan dan didiagnosis menggunakan Indeks Wayne yakni sebagai berikut :
Gejala
Skor
Tanda
Ada
Tidak ada
Sesak
+1
Perbesaran Tiroid
+3
-3
Palpitasi
+2
Bruit pada tiroid
+2
-2
Mudah Lelah
+2
Eksoftalmus
+2

Senang Panas
-5
Retraksi Palpebra
+2

Senang Dingin
+5
Palpebra terlambat
+4

Keringat Banyak
+3
Hiperkinesia
+2

Perasaan Gugup
+2
Tangan Lembab
+1
-2
Nafsu makan meningkat
+3
Nadi <80x/menit
-3

Nafsu makan menurun
-3
Nadi >90x/menit
+3
-2
Berat badan meningkat
-3
Fibrilasi Atrial
+4

Berat badan menurun
+1




Bila skor  <11 : Eutiroid
             11-18 : Normal
                >19 : Hipertiroid


Pemeriksaan Penunjang

   Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating Hormone Sensitive (TSHS) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat.
Sarana skrining yang paling dapat diandalkan adalah pemeriksaan thyroid-stimulating hormone (TSH). Kadar TSH biasanya tersupresi menjadi jumlah yang amat kecil (< 0,05 µIU/mL) pada tirotoksikosis. Derajat dari suatu tirotoksikosis ditentukan dengan mengukur kadar hormon tiroid, namun keparahan manifestas klinis seringkali tidak sesuai dengan derajat elevasi hormon tiroid. 
Test autoantibodi yang paling spesifik untuk tiroiditis autoimun adalah tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk antibodi anti ̶ thyroid peroxidase (anti-TPO). Titer biasanya mengalami peningkatan yang signifikan pada tipe hipertiroidisme yang paling umum, tirotoksikosis Graves, dan biasanya rendah atau absen pada goiter toksik multinodular dan adenoma toksik. 
Apabila etiologi dari suatu tirotoksikosis belum jelas setelah pemeriksaan fisik dan uji laboratorium lainnya, dapat dibantu dengan pemeriksaan skintigrafi. Derajat dan pola uptake isotop mengindikasikan jenis kelainan tiroid.
Pasien usia tua dengan hipertiroidisme seringkali mengalami aritmia atrial atau gagal jantung. Elektrokardiografi (EKG) direkomendasikan juga terdapat detak jantung yang iregular atau meningkat (>100x/menit) atau tanda-tanda gagal jantung ditemukan selama pemeriksaan. 

Kadar Hormon Tiroid dan TSH
Walaupun pengukuran kadar TSH adalah metode skrining yang palind dapat diandalkan untuk menilai fungsi tiroid, derajat suat tirotoksikosis tidak dapat diperkirakan dengan mudah melalui cara tersebut. Untuk lebih tepatnya, tirotoksikosis harus diukur menggunakan assay dari kadar hormon tiroid di dalam plasma.
Hormon tiroid bersirkulasi sebagai triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4), dengan lebih dari 99,9% dari hormon terikat pada protein serum (terutama thyroxine-binding globulin, transthyretin atau thyroxine-binding prealbumin, dan albumin).  Mengukur T4 bebas atau free T4 (FT4) dan T3 total direkomendasikan pada pasien dengan suspek tirotoksikosis dengan TSH rendah. Pasien dengan tirotoksikosis yang lebih ringan mungkin hanya mengalami kenaikan pada kadar T3 saja. 
Banyak Laboratorium yang tidak mengukur FT4 secara langsung, melainkan menggunakan suatu perhitungan untuk memperkirakan kadar FT4.  Indeks tiroksin bebas atau free thyroxine index (FTI) sama dengan T4 total dikalikan oleh koreksi ikat (binding) hormon tiroid , contohnya thyroid hormone ̶ binding ratio (THBR) atau T3 resin uptake (T3 RU). Kalkulasi serupa dapat digunakan dengan T3 total. 
Tirotoksikosis ditandai dengan kadar TSH yang mengalami supresi (penekanan) sampai di bawah nilai normal referensi (biasanya 0,4-4 mIU/L) dan kenaikan kadar hormon tiroid. Hipertiroidisme subklinis didefinisikan sebagai penurunan kadar TSH tetapi tidak terdeteksi (< 0.5 μIU/mL di banyak laboratorium) dan juga disertai konsentrasi serum T3 dan T4 yang masih masuk dalam nilai normal referensi. Dikarenakan penyakit nontiroidal dapat menghasilkan supresi TSH yang sementara, tes fungsi tiroid seharusnya diulang untuk penyakit subklinis.
Perubahan hormonal pada kehamilan dapat memperumit interpretasi tes fungsi tiroid. Peningkatan maksimal fisiologis beta human chorionic gonadotropin (β-hCG) pada akhir trimester pertama pada kehamilan dapat disertai dengan sebuah penurunan TSH sementara. Walaupun TSH mengalami penurunan, kadar FT4 biasanya tetap normal atau naik sedikit di atas batas nilai normal. Seiring dengan berlanjutnya masa kehamilan, dan β-hCG mengalami plateau pada kadar yang lebih rendah, kadar TSH akan kembali normal. 

Pemeriksaan Autoantibodi
    Tes autoantibodi paling spesifik untuk tiroiditis autoimun adalah tes ELISA untuk antibodi anti-TPO (anti ̶ thyroid peroxidase). Titer biasanya mengalami kenaikan yang paling signifikan pada jenis hipertiroidisme paling umum yaitu tirotoksikosis Graves dan biasanya pada goiter multinodular toksik dan adenoma toksik, titer rendah atau absen. Sejumlah besar orang sehat tanpa penyakit tiroid memiliki titer antibodi anti-TPO positif ringan/kecil; sehingga sebaiknya pemeriksaan ini tidak digunakan untuk tujuan skrining. 
Jika kadar thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI) mengalami kenaikan, maka akan membantu menegakkan diagnosis penyakit Graves. Antibodi antithyroglobulin (anti-TG) yang bersirkulasi juga terdapat pada penyakit Grave; Namun demikian, pemeriksaan untuk ini sebaiknya tidak dilakukan, karena antibodi anti-TG  juga hadir pada individu yang terbukti tidak memiliki disfungsi tiroid. 

Skintigrafi
Jika suatu tirotoksikosis setelah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium lainnya belum secara jelas diketahui etiologinya, maka dapat dikonsfirmasikan melalui pemeriksaan skintigrafi. Scanning tiroid ini dapat menggunakan Iodine-123 (123 I) atau technetium-99m (99m Tc). Pada keadaan normal, isotop terdistribusi secara homogen menyeluruh pada kedua lobus glandula tiroid. Pada pasien dengan hipertiroidisme, pola uptake (misalnya difus vs nodular) bervariasi tergantung kepada jenis kelainan.
Dalam metode ini pasien menelan sebuah radioisotop iodin dalam bentuk kapsul atau cairan, dan absorpsi (uptake) dari radiotracer ini oleh tiroid diperiksa setelah 4-6 jam dan setelah 24 jam dengan bantuan penghitung skintilasi (scintillation counter). Dosis biasanya adalah 0,15–0,37 MBq (4–10 μCi) dari 131I sodium iodide, or 3,7–7,4 MBq (100–200 μCi) dari  123I sodium iodide.
Kadar keseluruhan radioactive iodine uptake (RAIU) juga bervariasi tergantung dari kondisi yang berbeda. RAIU normal sekitar 5-20% namun dapat termodifikasi oleh konten iodin pada asupan makanan pasien. (terlihat pada tabel di bawah see).

Tabel RAIU pada Tirotoksikosis dan hipertiroidisme
JENIS KELAINAN
RAIU 24JAM PADA LEHER
JENIS UMUM/SERING (85-90% DARI KASUS)
Goiter toksik difus (Penyakit Gaves)
Meningkat (sedang hingga tinggi : 40-100%)
Goiter toksik multinodular (Penyakit Plummer)
Meningkat (ringan hingga sedang: 25-60%)
Fase tirotoksikosis dari tiroiditis subakut
Menurun (sangat rendah: < 2%)
Adenoma toksik
Meningkat (ringan sampai sedang: 25-60%)
JENIS TIDAK UMUM
Tirotoksikosis karena induksi iodida
Beragam tapi biasanya rendah (< 25%)
Tirotoksikosis factitia
Menurun (sangat rendah < 2%)
JENIS YANG JARANG
Tumor adenohipofisis (pituitari) yang memproduksi TSH
Meningkat (ringan sampai sedang: 25-60%)
Human chorionic gonadotropin berlebihan (kehamilan molar/koriokarsinoma)
Meningkat (beragam: 25-100%)
Resistensi adenohipofise (pituitari) terhadap hormon tiroid
Meningkat (ringan sampai sedang: 25-60%)
Karsinoma tiroid metastasik
Menurun
Struma ovarii dengan tirotoksikosis
Menurun
RAIU = radioactive iodine uptake; TSH = thyroid-stimulating hormone. 
* RAIU normal 6 jam adalah sekitar 2-16%; sedangkan RAIU 24 jam normal adalah 8-25% tapi dimodifikasi bergantung kepada konten iodin dari asupan diet pasien. Scanning atau RAIU seharusnya tidak dilakukan pada wanita yang sedang hamil (kecuali hamil molar) atau sedang menyusui.

Pada penyakit Graves, dengan skintigrafi menunjukkan pembesaran difus dari kedua lobus tiroid, dengan uptake isotop yang seragam menyeluruh  (gambar bawah). Keseluruhan RAIU mengalami kenaikan.
Goiter toksik multinodular (penyakit Plummer) dikarakteristikkan oleh daerah iregular yang secara relatif redup dengan peningkatan uptake disana-sini. Keseluruhan RAIU meningkat ringan sampai dengan sedang.
Skintigrafi nuklir Iodin 123 (123I): Scan 123I dari tiroid normal (1) dan kondisi hipertiroid yang umum terjadi pada kelenjar tiroid dengan uptake radioiodin yang meningkat, diantaranya penyakit Graves (2), Goiter toksik multinoduler (3), dan Adenoma toksik (4), radiologi, ilmu penyakit dalam, pencitraan kedokteran, praktikum, ppds, residen rumah sakit, koass, koas, kontras iodin
Skintigrafi nuklir Iodin 123 (123I): Scan 123I dari tiroid normal (1) dan kondisi hipertiroid yang umum terjadi pada kelenjar tiroid dengan uptake radioiodin yang meningkat, diantaranya penyakit Graves (2), Goiter toksik multinoduler (3), dan Adenoma toksik (4).

       Klasifikasi nodul “hot/warm/cold” (panas/hangat/dingin) ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengkonsentrasi isotop relatif terhadap daerah parenkim normal yang mengelilinginya. Nodul tiroid yang berfungsi secara otonom adalah “hot” bila dibandingkan dengan jaringan tiroid normal. Jika suatu nodul dominan ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan tirotoksikosis, dan skintigrafi menunjukkan bahwa nodul tersebut adalah “cold”, sebuah biopsi fine-needle aspiration (FNA) yang dipandu ultrasound sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan dugaan adanya keganasan (malignancy) konkomitan.  
Pada tiroiditis subakut, uptake iodin radioaktif sangat rendah (sekitar 1-2%). Hipotiroidisme Hashimoto secara beragam dapat menunjukkan upatke iodin radioaktif yang normal, meningkat atau menurun. 
thyroid stimulating hormone sensitive, TSH, Thyroid releasing hormone, TRH, Adenohipofisis, pituitary gland, kelenjar pituitari, tiroksin bebas / free thyroxine (FT4) dan triiodotironin bebas / free triiodothyronine (FT3), TMAB, TgAb, T3 toksikosis, respons negatif, respon positif, RAIU, Autoimun penyakit Graves, Adenoma toksik, Struma multinodular, Limfositik tersembunyi, Tiroiditis postpartum, Tiroiditis subakut, Tiroiditis Factitious, iatrogenik, iodide induced, Sekresi, Tumor pituitaria, resisten, resistensi hormon tiroid
Diagram alur diagnosis diferensial hipertiroidisme 

KOMPLIKASI

Komplikasi hipertiroidisme yang mengancam jiwa adalah krisis tirotoksik (badai tiroid/thyroid storm). Hampir semua kasus diawali oleh faktor pencetus. Tidak satu indikator biokimiapun mampu meramalkan terjadinya kondisi ini, sehingga tindakan kita didasarkan pada kecurigaan tanda-tanda potensi krisis tiroid, dengan kelainan yang khas maupun yang tidak khas. Pada keadaan ini dijumpai dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Hingga kini patogenesisnya masih kurang jelas : free-hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, maningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Kecurigaan akan terjadi krisis apabila terdapat triad 1). Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun dan 3). Hipertermia. (Sudoyo W. Aru dkk, 2009).
      Hipertiroid yang menyebabkan komplikasi terhadap jantung, termasuk fibrilasi atrium dan kelainan ventrikel akan sulit dikontrol. Pada orang Asia dapat terjadi episode paralisis yang diinduksi oleh kegiatan fisik atau masukan karbohidrat dan adanya hipokalemia dapat terjadi sebagai komplikasi. Hiperkalsemia dan nefrokalsinosis dapat terjadi. Pria dengan hipertiroid dapat mengalami penurunan libido, impotensi, berkurangnya jumlah sperma, dan ginekomastia. Hipertiroid yang menyebabkan komplikasi terhadap jantung, termasuk fibrilasi atrium dan kelainan ventrikel akan sulit dikontrol. Pada orang Asia dapat terjadi episode paralisis yang diinduksi oleh kegiatan fisik atau masukan karbohidrat dan adanya hipokalemia dapat terjadi sebagai komplikasi. Hiperkalsemia dan nefrokalsinosis dapat terjadi. Pria dengan hipertiroid dapat mengalami penurunan libido, impotensi, berkurangnya jumlah sperma, dan ginekomastia.


PENATALAKSANAAN

      Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
Penanganan hipertiroidisme diantaranya adalah meringankan gejala, begitu juga farmakoterapi antitiroid, terapi iodin radioaktif (131I) (penanganan yang lebih sering dipilih), atau tiroidektomi. Namun demikian pengobatan antitiroid tidak efektif pada jenis tirotoksikosis dimana pada skintigrafi menunjukkan uptake rendah dari iodine-123 (123I), seperti juga pada pasien tirotoksikosis subakut, karena pada kasus-kasus ini kelainan disebabkan oleh hormon tiroid yang telah terbentuk sebelumnya.
      Jika seorang dokter menangani cukup banyak pasien dengan hipertiroid, maka suatu saat dia dapat menemukan pasien yang akan mengalami agranulositosis atau hepatitis dari pengobatan antitiroid.  Mendiskusikan efek samping dengan pasien sebelum memulai terapi adalah penting; sepatutnya, pasien sebaiknya diberikan informed consent lengkap beserta petunjuk-petunjuk arahan yang salah satunya misalnya apabila pasien tersebut mengalami demam tinggi (>38°C) atau nyeri tenggorokan parah, mereka sebaiknya menghentikan pengobatan dan mencari bantuan medis.

A. Medikamentosa 
1. Obat Antitiroid
  • Derivat Tiourazil, yaitu Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2000 mg/hari. (Rani Aziz A, 2006).
  • Derivat tioimidazol, yaitu Metimazol (MTZ) dosis awal 20 -  30 mg/hari. (Rani Aziz A, 2006).
  • Kedua obat golongan diatas bekerja menghambat sintesis hormon tiroid dan berefek imunosupresif (PTU juga dapat menghambat koonversi T4 menjadi T3).Obat ini merupakan pengobatan lini pertama pada penyakit Grave’s. (Sudoyo W. Aru dkk, 2009).

      Indikasi :
  • Mendapat remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan – sedang dan tirotoksikosis.
  • Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif.
  • Persiapan tiroidektomi
  • Pasien hamil dan lanjut usia.
  • Krisis tiroid. (Rani Aziz A, 2006).
Tabel dosis obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat
Dosis awal ( mg/ hari)
Pemeliharaan (mg /hari)
Karbimazol
30-60
5-20
Metimazol
30-60
5- 20
Propiltiourasil
300-600
50- 200

      Ketiga obat ini mempunyai kerja imunosupresif dan dapat menurunkan konsentrasi thyroid stimulating antibody ( TSAb) yang bekerja pada sel tiroid. Obat- obat ini umumnya diberikan sekitar 18- 24 bulan. Pemakaian obat- obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa hipersensitifitas dan agranulositosis. Apabila timbul hipersensitivitas maka obat diganti, tetapi bila timbul agranulositosis maka obat dihentikan.

2. β-Blocker
Contoh obat ini adalah propanolol. Obat ini diberikan untuk mengurangi gejala dan tanda hipertiroidisme. Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Dosis diberikan 40-200 mg/hari yang dibagi atas 4 dosis. Pada orang lanjut usia diberi 10 mg/6 jam.

3. Yodium / Iodin
Yodium terutarna digunakan untuk persiapan operasi, sesudah pengobatan dengan yodium radioaktif, dan pada krisis tiroid. Biasanya diberikan dalam dosis 100-300 mg/hari.

4. Ipodat
Ipodat kerjanya lebih cepat dibanding propiltiourasil dan sangat baik digunakan pada keadaan akut seperti krisis tiroid. Kerja ipodat adalah menurunkan konversi T4 menjadi T3 di perifer, mengurangi sintesis hormon tiroid, serta mengurangi pengeluaran homon dari tiroid.

5. Litium
Litium mempunyai daya kerja seperti yodium, namun tidak jelas keuntungannya dibandingkan dengan yodium. Litium dapat digunakan pada pasien dengan krisis tiroid yang alergi terhadap yodium.

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab FT4/T4/T3 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat anti tiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih tetap dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. (Rani Aziz A, 2006).
Obat ini diberikan untuk mengurangi dampak hormon tiroid pada jaringan. Obat ini digunakan sebagai obat tambahan dan terkadang sebagai obat tunggal pada pasien tiroditis.(Sudoyo W. Aru dkk, 2009).
Obat-obatan antitiroid (misalnya methimazole dan propylthiouracil) telah digunakan untuk hipertiroidisme sejak perkenalannya pada tahun 1940an. Pengobatan ini diterapkan untuk kontrol jangka panjang dari hipertiroidisme pada anak-anak, remaja, dan wanita hamil. Pada pria dewasa dan wanita tidak hamil, obat-obatan ini digunakan untuk mengontrol hipertiroidisme sebelum terapi definitif dengan iodin radioaktif.
Obat-obatan anti tiroid menghambat terbentuk dan berpasangannya iodotirosin dalam tiroglobulin. Dikarenakan proses-proses ini diperlukan untuk sintesis hormon tiroid, penghambatan ini mengakibatkan suatu pengurangan bertahap dari kadar hormon tiroid selama 2-8 minggu atau lebih. Cara kerja propiltiourasil (propylthiouracil) (namun bukan metimazol) yang kedua adalah penghambatan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3). T3 lebih aktif secara biologis dibandingkan T4, sehingga pengurangan kadar T3  dikaitkan secara klinis dengan perbaikan signifikan dari gejala-gejala tirotoksikosis.
Dosis obat antitiroid seharusnya dititrasi setiap 4 minggu sampai fungsi tiroid menjadi normal. Beberapa pasien dengan penyakit Graves menunjukkan tanda kesembuhan (remisi) setelah pengobatan selama 12-18 bulan, dan pemberian obat dapat dihentikan. Perlu dicatat, separuh pasien yang masuk ke tahap remisi mengalami rekurensi hipertiroidisme dalam tahun berikutnya. Bentuk nodular dari hipertiroidisme (yaitu multinodular toksik goiter dan adenoma toksik) adalah kondisi permanen dan tidak dapat masuk ke tahap remisi.
Methimazole lebih poten bila dibandingkan dengan propiltiourasil dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Sebagai tambahan, metimazol diberikan sekali sehari untuk pasien, sedangkan propiltiourasil diberikan 2-3 kali sehari, sehingga, kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan biasanya lebih baik pada metimazol dibandingkan propiltiourasil.
Metimazol tidak direkomendasikan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, karena metimazol dihubungkan (walau jarang) dengan kelainan kloakal dan kulit kepala (kutis aplasia) ketika diberikan pada kehamilan awal. Secara umum, jika seorang wanita tidak hamil yang sedang menjalani pengobatan metimazol dan sedang merencanakan kehamilan, dia seharusnya dialihkan ke propiltiourasil sebelum konsepsi. Setelah 12 minggu masa gestasi, dia dapat dikembalikan ke pengobatan metimazol, dengan pengawasan berkala.
Propiltiourasil tetap menjadi “drug of choice” pada keadaan-keadaan tidak umum dari tirotoksikosis berat (misalnya thyroid storm) karena adanya tambahan manfaat berupa penghambatan konversi T4 ke T3. Pada keadaan seperti ini, propiltiourasil sebaiknya diberikan setiap 6-8 jam. Pengurangan kadar T3 ini, yang 20-100 kali lebih poten dibandingkan T4, secara teoritis membantu mengurangi gejala-gejala tirotoksikosis lebih cepat dibandingkan pemberian metimazol. Ketika kadar tiroid menurun ke nilai hampir normal, pasien dapat dialihkan kembali ke terapi metimazol.
       Pada pasien hamil biasanya diberikan propiltiourasil dengan dosis serendah mungkin yaitu 200 mg/hari atau lebih lagi. Hipertiroidisme kerap kali sembuh spontan pada kehamilan tua sehingga propiltiourasil dihentikan. Obat-obat tambahan sebaiknya tidak diberikan karena T4 yang dapat melewati plasenta hanya sedikit sekali dan tidak dapat mencegah hipotiroidisme pada bayi yang baru lahir. Pada masa laktasi juga diberikan propiltiourasil karena hanya sedikit sekali yang keluar dari, air susu ibu. Dosis yang dipakai 100- 150 mg tiap 8 jam. Setelah pasien eutiroid, secara klinis dan laboratorium, dosis diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 x 50 mg/hari. Kadar T4 dipertahankan pada batas atas normal dengan dosis propiltiourasil < 100 mg/hari. Apabila tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pascapersalinan, propiltiourasil dinaikkan sampai 300 mg/hari.
Kecuali pada thyroid storm / badai tiroid, propiltiourasil dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua. Dikhususkan penggunaannya untuk pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol dan wanita yang sedang hamil pada trimester pertama atau merencanakan kehamilan.  

Efek samping dari obat-obatan anti tiroid
Efek merugikan yang paling umum dari obat antitiroid adalah reaksi alergi yang dimanifestasikan dengan demam, ruam, urtikaria, dan artalgia, yang terjadi pada sekitar 1-5% pasien, yang biasanya terjadi pada beberapa minggu pertama pengobatan. Efek merugikan yang serius diantaranya adalah agranulositosis, anemia aplastik, hepatitis, poliartritis, dan vaskulitis yang menyerupai lupus. Semua efek samping ini, terkecuali agranulositosis, terjadi lebih sering dengan propiltiourasil, agranulositosis terjadi pada 0,2-0,5% pasien dan tidak lebih banyak dibandingkan obat lainnya.
Pasien dengan agranulositosis biasanya menunjukkan demam dan faringitis. Setelah pemberian obat dihentikan, jumlah granulosit biasanya meningkat setelah beberapa hari namun mungkin akan normal setelah 10-14 hari. Patients with agranulocytosis usually present with fever and pharyngitis. After the drug is stopped, granulocyte counts usually start to rise within several days but may not normalize for 10-14 days. Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) tampaknya dapat mempercepat perbaikan pada pasien dengan aspirasi sumssm tulang dengan menunjukkan rasio granulosit-terhadap-eritrosit 1:2 atau lebih besar daripada 0,5. 
Pada tahun 2010, lembaga Food and Drug Administration (FDA) dari Amerika Serikat menambahkan suatu kotak peringatan, peringatan terkeras yang dapat dikeluarkan oleh FDA, untuk informasi peresepan pada propiltiourasil. Peringatan tersebut menekankan akan resiko terhadap kerusakan hepar berat dan kegagalan hepar (hati) akut, yang mana telah terjadi beberapa kasus fatal. Kerusakan hepar berat jarang dilaporkan dengan metimazol (5 kasus, 3 diantaranya dengan fatalitas) 
FDA merekomendasikan beberapa petunjuk berikut untuk pasien yang menjalani pengobatan dengan propiltiourasil : 
  • Awasi dengan ketat pasien akan adanya gejala dan tanda kerusakan hepar, terutama pada 6 bulan pertama terapi dimulai 
  • Jika suspek terdapat adanya kerusakan hepar, langsung hentikan pemberian propiltiourasil, evaluasi pasien akan bukti adanya kerusakan hepar, dan kemudian berikan penanganan lebih lanjut 
  • Edukasi pasien untuk menghubungi petugas profesional penyedia layanan kesehatan segera apabila terjadi tanda atau gejala : kelelahan, letih lesu, nyeri perut samar, kehilangan nafsu makan, gatal-gatal, mudah memar, atau mata dan/atau kulit yang kekuningan 


Obat lainnya
Pada tirotoksikosis berat dari penyakit Graves atau tiroiditis subakut, iodin atau agen kontras berisi iodin dapat diberikan untuk memblokir perubahan T4 menjadi T3 dan pelepasan hormaon tiroid dari kelenjar. Terapi ini hanya disimpan dan digunakan pada saat tirotoksikosis berat karena dengan digunakannya metode ini terapi definitif untuk tirotoksikosis Graves yaitu dengan iodin radioaktif tidak dapat dilakukan untuk berminggu-minggu. 
Sebuah larutan tersaturasi dari iodida potasium (SSKI/ Saturated Solution of potassium iodide) dapat diberikan pada dosis 10 tetes dua kali sehari, dengan tujuan penurunan cepat kadar T3. Asam iaponoik (iapanoic)/ipodate pada dosis 1 gram per hari juga efektif, metode ini dilakukan pada beberapa negara di Eropa.  
Obat-obat ini tidak boleh diberikan untuk pasien dengan goiter multi nodular toksik atau adenoma toksik. Dikarenakan sifat otonomi pada kelainan-kelainan ini sehingga dapat mengarah pada perburukan tirotoksikosis dengan adanya keberadaan iodida dalam kadar farmakologis, yang merupakan suatu substrat dalam sintesis hormon tiroid. Fenomena ini biasanya terjadi pada pasien yang hidup di area yang kekurangan asupan iodin kemudian pindah ke area geografis dimana memiliki asupan iodin yang cukup dalam diet atau tiba-tiba mengonsumsi iodin (Sindrom Jod-Basedow).
Obat lain yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam penanganan tirotoksikosis berat adalah kolestiramin (cholestyramine), sebuah sekuestran garam empedu. Cara kerjanya adalah mengurangi kadar hormon tiroid dengan mengosongkan simpanan dengan meningkatkan clearance (pembersihan peredaran saluran)  dari sirkulasi enterohepatik. Dosis sampai dengan 12 gram yang dibagi dalam 3 dosis harian diberikan sampai 4 minggu.


B. Terapi Radioiodin
Pengobatan hipertiroidisme dengan radioiodin merupakan metode terapi yang telah disetujui dan umum untuk dilakukan, terutama pada kasus penyakit Grave’s dan Single Toxic Adenoma. Efek dari pengobatan radioiodin, tidak seperti intervensi bedah, waktu yang panjang, sementara tingkat keberhasilannya tergantung dosis yang diberikan. Mayoritas penulis melaporkan bahwa dalam waktu terapi 6 bulan sudah dapat menstabilkan fungsi tiroid. (Lewinski Andrej, 2008).
Pemberian terapi radioiodin ini berindikasi sebagai berikut :
  • Pasien berusia > 35 tahun
  • Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
  • Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
  • Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
  • Adenoma toxic, struma multinodusa toksik. (Rani Aziz A, 2006).

Terapi radioaktif iodin adalah perngobatan paling umum untuk penyakit Graves pada orang dewasa di Amerika Serikat. Walaupun efek yang terjadi tidak secepat bila dibandingkan pemberian obat antitiroid, metode ini aman dan efektif dan tidak memerlukan rawat inap.
Sebuah literatur ulasan oleh Wang dan Qin dengan trial yang randomized dan controlled mengindikasikan bahwa bila dibandingkan dengan obat antitiroid, pengobatan radioiodin mempunyai angka kesembuhanyang lebih tinggi untuk penyakit Graves dan dihubungkan denga angka rekurensi yang lebih rendah. Namun demikian, metode ini juga memiliki risiko yang lebih besar akan perburukan oftalmopati dan hipotiroidisme.
Kekhawatiran akan paparan radiasi setelah terapi  telah menimbulkan kebutuhan perlunya diterbitkan rekomendasi baru oleh ATA (American thyroid Association). Rekomendasi ini memenuhi syarat dengan regulasi Nuclear Regulatory Commission dan adalah petunjuk praktis untuk aktivitias yang dilakukan pasien setelah terapi radioaktif, dengan tujuan menjamin keamanan radiasi maksimal untuk keluarga dan masyarakat umum.
Iodin radioaktif diberikan secara oral sebagai dosis tunggal dalam bentuk kapsul atau cairan. Iodin tersebut secara cepat diabsorbsi oleh tiroid. Tidak ada jaringan atau organ lain dalam tubuh yang mampu menahan/menampung iodin radioaktif, sehingga efek samping yang ditimbulkan terapi ini relatif sedikit. Hasil pengobatan mengakibatkan respon inflamasi khusus pada tiroid, menyebabkan fibrosis dan destruksi tiroid selama hitungan minggu atau bulan yang lama.
Secara umum, dosis 131I yang diberikan adalah 75-200 µCi/g dari estimasi jaringan tiroid dibagi dengan persentase  uptake 123I dalam 24 jam. Dosis ini mampu membuat pasien menjadi hipotiroid.
Pemberian litium dalam minggu-minggu setelah terapi iodin radioaktif dapat memperlama retensi iodin radioaktif dan meningkatkan efikasi (efficacy). Hal ini mungkin dapat dipertimbangkan untuk pasien penyakit Graves dengan kelenjar Graves yang cukup besar (>60 g) atau pasien dengan uptake iodin tiroid yang sangat tinggi (>95% dalam 4 jam), yang dikaitkan dengan perubahan kadar iodin didalam kelenjar. Namun demikian, studi menunjukkan hasil yang tidak konsisten, dan manfaat menggunakan litium dengan iodin radioaktif harus ditimbang dengan toksisitas yang terkait dengan litium itu sendiri.
Hipotiroidisme dianggap oleh banyak ahli sebagai harapan tujuan dari terapi iodin radioaktif. Dalam banyak studi epidemiologis besar dari terapi iodin radioaktif pada pasien dengan penyakit Graves, tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa terapi iodin radioaktif menyebabkan berkembangnya karsinoma tiroid. Juga tidak ditemukan bukti bahwa metode terapi untuk hipertiroidisme jenis ini menghasilkan peningkatan angka mortalitas dalam bentuk kanker lainnya, termasuk leukemia.
Data follow-up jangka panjang dari pasien anak-anak dan remaja yang diberikan iodin radioaktif  sangat kurang.  Petunjuk ATA merekomendasikan untuk menghindari terapi 131I pada anak-anak dibawah umur 5 tahun. Pada anak-anak umur 5 sampai 10 tahun, terapi 131I dapat diberikan apabila aktivitas yang dikalkulasi dari pemberian 131I adalah kurang dari 10 mCi. Pada anak lebih tua dari umur 10 tahun, terapi radioaktif iodin dapat diberikan apabila aktivitasnya lebih besar daripada 150 µCi/g pada jaringan tiroid. Iodin radioaktif sebaiknya jangan pernah diberikan untuk wanita hamil, karena dapat menembus plasenta dan mengablasi tiroid dari fetus, yang menyebabkan hipotiroidisme. Serupa dengan itu, menyusui adalah sebuah kontraindikasi, dimana radioisotop disekresi melalui ASI. Wanita akan tetap terus menerima radiasi ke glandula mammae dari iodin radioaktif untuk beberapa bulan setelah berhenti menyusui, sehingga terapi ini sebaiknya ditunda terlebih dahulu.  
Merupakan prosedur standar untuk memeriksa kehamilan sebelum memulai terapi iodin radioaktif dan menyarankan kepada pasien untuk menghindari kehamilan sampai setidaknya 3-6 bulan setelah pengobatan atau sampai tiroid berfungsi normal. Tidak ditemukan  akibat malformasi fetal atau peningkatan angka keguguran pada wanita yang sebelumnya telah menerima penanganan iodin radioaktif untuk hipertiroidisme ini. Iodin radioaktif biasanya tidak diberikan pada pasien dengan oftalmopati berat, karena bukti klinis menunjukkan bahwa terdapat perburukan penyakit mata tiroid setelah terapi iodin radioaktif. Perburukan ini biasanya ringan namun terkadang dapat berat. Resiko dari oftalmopati lebih besar pada pasien yang merokok, namun dapat dikurangi dengan memberikan terapi glukokortikoid (prednisone 0,4 mg/kg untuk 1 bulan dengan tapering selanjutnya) setelah terapi iodin radioaktif.


C. Tiroidektomi
Tindakan pembedahan atau tiroidektomi diindikasikan kepada pasien yang :
  • Berusia muda dengan struma besar dan tidak responsif dengan pengobatan antitiroid.
  • Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi.
  • Alergi terhadap pengobatan antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif.
  • Adenoma toksik, dan struma multinodusa toksik.
  • Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih modul. (Rani Aziz A, 2006).
Tiroidektomi subtotal adalah salah satu bentuk penanganan tertua untuk hipertiroidisme. Tiroidektomi total dan kombinasi antara hemitiroidektomi dan tiroidektomi subtotal kontralateral juga sudah cukup lama diterapkan.
Dikarenakan keefektifan obat antitiroid dan terapi iodin radioaktif yang sangat baik dalam mengatur fungsi tiroid, tiroidektomi biasanya disimpan untuk keadaan-keadaan khusus, seperti diantaranya :
  • Hipertiroidisme berat pada anak-anak
  • Wanita hamil yang tidak cocok atau intoleran untuk diberikan farmakoterapi anti tiroid 
  • Pasien dengan goiter sangat besar atau oftalmopati parah 
  • Pasien yang menolak terapi iodin radioaktif 
  • Pasien dengan hipertiroidisme yang disebabkan amiodarone dan sulit sembuh 
  • Pasien yang memerlukan normalisasi fungsi tiroid secepatnya, seperti wanita hamil, wanita yang merencanakan kehamilan untuk 6 bulan kedepan atau pasien dengan kondisi jantung yang tidak stabil 
Persiapan untuk tiroidektomi diantaranya adalah obat anti tiroid, pengobatan iodin stabil (dingin), dan terapi beta blocker. Secara umum, terapi obat anti tiroid sebaiknya diberikan sampai fungsi tiroid mulai normal (4-8 minggu). Propanolol dititrasi sampai denyut nadi lebih rendah dari 80 kali per menit. Dan akhirnya iodida diberikan dalam bentuk SSKI (1-2 tetes setiap hari untuk 10-14 hari) sebelum prosedur (tindakan) dimulai. Terapi iodida stabil menurunkan dua hal yaitu ekskresi hormon tiroid dan aliran darah pada tiroid, yang mana akan membantu mengurangi kehilangan darah selama intraoperatif.
Sebuah studi dari Swiss menemukan bahwa pemberian sebuah dosis tinggal steroid (deksametason 8 mg) sebelum tiroidektomi dapat mengurangi mual, nyeri, dan muntah yang berhubungan dengan tindakan operasi ini, dan juga memperbaiki fungsi suara. Manfaat paling dapat dirasakan pada masa 16 jam setelah operasi. Pemberian steriod pasca operasi bukanlah suatu standar yang dilakukan pada bedah tiroid.
Dengan teknik pembedahan terkini, tiroidektomi subtotal bilateral seharusnya memiliki angka kematian mendekati nol dengan pasien yang dipersiapkan dengan baik. Berdasarkan pengalaman, stres operatif merupakan penyebab umum dari thyroid storm, sebuah dekompensasi fisiologis pada pasien yang mengalami tirotoksikosis parah, dengan angka mortalitas sekitar 50%. Komplikasi atau efek samping dari tiroidektomi adalah kerusakan saraf laringeal rekuren dan hipoparatiroidisme karena kerusakan struktur lokal selama prosedur tindakan.
Sebuah literatur berupa ulasan oleh Zhang et al membandingkan metode endoskopik dengan tiroidekttomi terbuka konvensional untuk penyakit Graves, dilaporkan bahwa teknik endoskopik memberikan kepuasan kosmetik yang lebih baik dan kehilangan darah yang lebih sedikit, sementara bedah terbuka dihubungkan dengan waktu operasi yang lebih singkat. Angka komplikasi untuk kedua tekhnik diantaranya untuk transient recurrent laryngeal nerve palsy, hipertiroidisme rekuren, hipotiroidisme, dan hipokalemi transien adalah sama.


Penanganan Kelainan Mata
Walaupun 50% pasien dengan penyakit Graves memiliki tanda dan gejala ringan dari penyakit mata tiroid, hanya 5% berkembang menjadi oftalmopati berat (misalnya diplopia, pengurangan lapangan pandang, pandangan kabur). Gejala oftalmologik yang lebih ringan (misalnya fotofobia, iritasi dan mata berair) dapat diberikan kacamata surya yang tepat, dan sebaiknya selalu dipakai ketik pasien berada di luar ruangan, dengan pemberian tetes mata salin seperlunya untuk kenyamanan.
Jika diduga terdapat keratitis karena paparan, pasien sebaiknya dimonitor oleh seorang oftalmolog. Kondisi ini biasanya terjadi ketika penutupan palpebra (kelopak mata) tidak dapat rapat dan kornea terekspose dimalam hari, ketika pasien tidak berkedip. Biasanya pasien megeluh iritasi dan mata berair pada saat bangun di pagi hari. Penanganan diantaranya adalah pemberian gel atau tetes saline dan perekatan isolasi (plester) khusus sebelum tidur. Beberapa oftalmolog khawatir tentang abrasi kornea dari plester dan lebih menyarankan pemakaian kacamata khusus (goggles) pada saat tidur untuk menjaga kelembaban mata. 
Sebuah kedaruratan medis terjadi apabila edema orbital cukup besar untuk menyebabkan kompresi saraf optik dengan awal berupa berkurangnya kemampuan melihat warna dan nyeri orbital. Tanpa penanganan, tekanan berkelanjutan pada nervus optikus dapat menyebabkan memburuknya penglihatan secara permanen. Glukokortikoid dosis tinggi dapat diberikan, dengan pertimbangan dilakukannya pembedahan dekompresi orbital dan terapi radiasi okular.

Penanganan Kelainan Kulit
Dermopati infiltratif, biasanya berkembang pada ekstremitas bawah, yang dikarakteristikkan oleh akumulasi dari glikosaminoglikans dan sel inflamasi di dalam dermis. Perubahan kulit yang khas diantaranya adalah edema nonpitting eritematous pada kaki bagian bawah (area tibialis anterior). Dermopati dapat terjadi pada daerah lain jika terjadi trauma berulang. Dermopati biasanya terjadi berbarengan dengan oftalmologi yang signifikan.
Sampai sejauh ini tidak terdapat pengobatan sampai sembuh  yang efektif. No effective treatment exists. Bebat malam oklusif dari area yang terdampak dapat disarankan, dengan bebat plastik digunakan setelah pemberian krim steroid topikal berdaya kuat.

Perbaikan gejala
Banyak gejala neurologik dan kardiovaskular dari tirotoksikosis yang dapat diperbaiki dengan terapi beta blocker. Sebelum terapi tersebut dimulai, pasien sebaiknya diperiksa untuk tanda dan gejala dehidrasi yang sering terjadi pada hipertiroidisme. Setelah rehidrasi per oral, terapi beta-blocker dapat dilakukan. Terapi beta bloker sebaiknya tidak diberikan kepada pasien dengan riwyat asma. 
Calcium channel blockers (misalnya verapamil dan diltiazem) dapat digunakan untuk tujuan yang sama ketika beta blocker adalah suatu kontraindikasi atau tidak dapat ditoleransi. Terapi-terapi ini sebaiknya melalui tappering off dan dihentikan ketika fungsi tiroid sudah dalam batas normal.

Diet Dan Aktivitas 
Tidak ada diet makanan khusus yang harus diikuti oleh pasien dengan penyakit tiroid. Namun demikian, beberapa ekspektoran, pewarna kontras radiografik, tablet rumput laut, dan suplemen makanan dan kesehatan yang mengandung jumlah iodida yang berlebihan sebaiknya dihindari karena iodida mengganggu dan mempersulit penanganan antitiroid dan terapi iodin radioaktif.  
Toleransi dalam olahraga biasanya tidak terlalu terdampak secara signifikan pada pasien yang tidak memiliki kelainan selain hipertiroidisme ringan ke sedang. Untuk pasien ini tidak diperlukan pengurangan aktivitas fisik. Untuk Pasien usia tua atau memiliki komorbiditas kardiopulmonal atau hipertiroidisme berat, disarankan mengurangi jumlah kegiatan sampai hipertiroidisme terkontrol secara medis.
Pada tirotoksikosis berat, gangguan fungsi sistolik dan diastolik sering mengakibatkan dispnea pada saat aktivitas berat. Terapi beta blocker seringkali sangat memperbaiki toleransi terhadap olahraga dan dapat diberikan sampai kadar hormon tiroid dikurangi dengan terapi lainnya yang telah dibahas di atas.

Konsultasi
Idealnya, tirotoksikosis sebaiknya dievaluasi dan ditangani oleh seorang endokrinolog. Terapi, diantaranya iodin radioaktif dan obat-obatan antitiroid, membutuhkan follow-up yang seksama, yang mana akan lebih baik dilakukan oleh seorang spesialis.
Secara umum, setelah terapi definitif tuntas dengan iodin radioaktif atau pembedahan tiroidektomi, pasien dapat dirawat oleh dokter pemberi pelayanan tingkat pertama.  Pasien ini mungkin memerlukan terapi hormon tiroid pengganti.  
Pasien tirotoksikosis Graves sebaiknya diperiksa oleh seorang oftalmolog untuk penyakit mata tiroid sedang atau simtomatis, yang terjadi dalam berbagai bentuk pada sekitar 50% pasien. Seringkali, penyakit mata ini subklinis dan remiten seiring waktu. Penyakit mata biasanya timbul dalam masa satu tahun sebelum dan sesudah diagnosis hipertiroidisme, tetapi onset penyakit baru dapat terdeteksi puluhan tahun setelahnya. Penyakt mata Graves juga dapat terjadi tanpa pasien tersebut mengalami perkembangan suatu hipertiroidisme. 


Pengawasan Jangka Panjang

Penanganan setelah dimulainya pengobatan antitiroid
Setelah 4-6 minggu, pengobatan antitiroid biasanya harus dikurangi, jika tidak, pasien akan mengalami hipotiroid. Hipotiroidisme menyebabkan gejala-gejala yang biasa seperti kelelahan dan bertambahnya bobot tubuh, dan pada pasien dengan penyakit Graves , secara anekdot dikaitkan dengan perburukan oftalmopati tiroid. Dari awal, pasien sebaiknya menjalani tes fungsi tiroid setiap 4-6 minggu sampai kadar hormon tiroid stabil dengan dosis rendah pengobatan antitiroid.
Pasien dengan hipertiroidisme non-Graves jarang mengalami remisi. Pada pasien yang direncanakan untuk terapi obat antitiroid jangka panjang dengan tujuan terjadinya remisi, tes follow-up dari fungsi tiroid sebaiknya dilakukan setidaknya setiap 3 bulan pada tahun pertama.
Pada pasien dengan penyakit Graves, pemberian obat antitiroid sebaiknya dihentikan atau dikurangi setelah 12-18 bulan untuk menentukan apakah pasien telah masuk ke dalam tahap remisi. Pada pasien golongan ini remisi didefinisikan sebagai kadar TSH normal setelah penghentian terapi obat anti tiroid.
  Ketika pasien hipertiroidisme Graves menjadi eutiroid dengan pengobatan antitiroid, metode terapi definitif lainnya seperti terapi iodin radioaktif atau pembedahan, sebaiknya dipertimbangkan. Walaupun sebagian besar pasien dengan penyakit Graves masuk ke tahap remisi, sebanyak 20% menjadi hipotiroid setelah tahun-tahun berikutnya sebagai akibat dari kerusakan autoimun dari kelenjar. 

Penanganan setelah ablasi iodin radioaktif
Ablasi dari glandula (kelenjar) terjadi selama masa 2-5 bulan setelah terapi iodin radioaktif. Kebanyakan pasien menjadi hipotiroid. Disarankan memeriksa fungsi tiroid setiap 4-6 minggu sampai pasien stabil.
Ketika kadar hormon tiroid mulai turun ke jangkauan rendah dari nilai normal, beralasan untuk menghentikan pengobatan dengan obat antitiroid dan pertimbangkan untuk memulai pengganti hormon tiroid dosis rendah sebelum pasien menjadi hipotiroid, namun demikian beberapa dokter mungkin memilih menunggu sampai nilai TSH meningkat dan persisten, dengan kondisi lepas dari obat antitiroid, sebelum memulai pemberian pengganti hormon tiroid. 
Direkomendasikan memulai dengan dosis rendah atau parsial dari pengganti hormon tiroid (50-75 µg/hari, disesuaikan setiap 6-8 mingguuntuk menormalisasi kadar TSH). Beberapa minggu setelah terapi 131I , pasien dapat, dalam kasus jarang, menjadi tirotoksikosis karena hasil dari destruksi (kerusakan) tiroid yang hebat dan pelepasan hormon yang telah terbentuk sebelumnya. Proses ini seringkali diiringi oleh suatu nyeri tiroiditis  yang disebabkan  radiasi yang dapat diobati oleh is nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) atau glukokortikoid. 
Sebagai tambahan, radioablasi dapat menyebabkan pelepasan antigen tiroid dan mengeksaserbasi proses penyakit autoimun tiroid. Dalam kasus demikian penyakit Graves dapat memburuk. 

Penanganan setelah pembedahan tiroid
Pasien yang fungsi tiroidnya mulai normal setelah pembedahan  membutuhkan follow up rutin karena hipotiroidisme (dari tiroiditis kronik), hipertiroidisme rekuren , atau penyakit mata tiroid dapat berkembang pada suatu saat yang akan datang. Kebanyakan pasien akan tetap menjadi eutiroid setelah suatu lobektomi atau lobektomi dengan ismusektomi yang dilakukan untuk menangani adenoma toksik atau goiter toksik multinodular dengan sebuah nodul dominan. Untuk memastikan fungsi tiroid normal, tes fungsi tiroid sebaiknya dilakukan 3-4 minggu setelah lobektomi.
Setelah tiroidektomi subtotal untuk hipertiroidisme dan penghentian terapi obat antitiroid, kebanyakan pasien menjadi hipotiroid, hal ini bergantung pada seberapa banyak jaringan fungsional yang ditinggalkan oleh ahli bedah. Penggantian parsial (T4 50-75 µg/hari) direkomendasikan untuk pasien-pasien ini, dimulai beberapa waktu setelah tindakan pembedahan. Tes fungsi tiroid sebaiknya dimonitor 4-8 minggu pasca operasi, dan dosis T4 disesuaikan untuk mempertahankan kadar TSH yang normal. 

PROGNOSIS
Hipertiroidisme dari goiter toksik multinodular dan goiter toksik adenoma adalah permanen dan biasanya terjadi pada orang dewasa. Setelah normalisasi fungsi tiroid dengan obat antitiroid, ablasi iodin radioaktif biasanya direkomendasikan sebagai terapi definitif. Pemberian obat anti tiroid dalam jangka panjang dan dosis tinggi tidak direkomendasikan . Goiter toksik multinodular dan adenoma toksik kemungkinan akan terus tumbuh secara perlahan selama farmakoterapi (medikamentosa) antitiroid. 
Secara umum, pada penanganan area tirotoksikosis mengalami ablasi, dan pasien dapat menjadi eutiroid. Pasien yang menjadi hipotiroid setelah terapi iodin radioaktif secara mudah dapat diregulasi dengan terapi pengganti hormon, dengan T4 yang diberikan harian.
Pasien dengan penyakit Graves bisa saja menjadi hipotiroid dalam perkembangan alamiah penyakitnya  setelah penanganan, tanpa menghiraukan jenis metode yang dipilih baik iodin radioaktif maupun pembedahan. Penyakit mata dapat berkembang dalam waktu yang cukup jauh sejak diagnosis awal dan terapi. Secara umum, setelah diagnosis ditegakkan, oftalmopati akan perlahan membaik karena pemberian penanganan yang sesuai prosedur. 
Hormon tiroid yang berlebihan menyebabkan penebalan ventrikel kiri, yang dikaitkan dengan peningkatan resiko dari gagal jantung dan kematian yang berhubungan dengan jantung. Tirotoksikosis juga dihubungkan dengan kardiomiopati dilatasi, sebuah gagal jantung kanan dengan hipertensi pulmonal, disfungsi diastolik, dan fibrilasi atrial. 
Sebuah peningkatan angka resorpsi tulang dapat terjadi. Bone loss (hilang / berkurangnya massa tulang), yang diukur oleh bone mineral densitometry, dapat ditemukan pada hipertiroidisme berat/parah pada segala umur dan jenis kelamin. Namun demikian pada penyakit subklinis (ringan), bone loss secara meyakinkan hanya terjadi pada wanita pasca menopause.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Zhyzhneuskaya et al pada pasien dengan hipertiroidisme subklinis yang disebabkan oleh penyakit Graves, berkesimpulan bahwa sekitar sepertiga pasien akan berkembang menjadi hipertiroidisme lebih lanjut, sekitar sepertiga akan berkembang menjadi fungsi tiroid yang normal, dan dibawah sepertiga akan tetap dalam keadaan hipertiroid subklinis. (Satu pasien dalam penelitian menjadi hipotiroid). Analisis regresi multivariate mengindikasikan bahwa resiko untuk berkembang menjadi hipotiroidisme lanjut lebih besar pada pasien dengan usia tua atau dengan status antibodi antitiroid peroksidase yang positif. Penelitian ini melibatkan 44 pasien, dengan follow-up setidaknya 12 bulan.


DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
  • Sisson JC, Freitas J, McDougall IR, Dauer LT, Hurley JR, Brierley JD, et al. Radiation safety in the treatment of patients with thyroid diseases by radioiodine ¹³¹i: practice recommendations of the american thyroid association. Thyroid. 2011 Apr. 21(4):335-46.
  • Shindo M. Surgery for hyperthyroidism. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec. 2008. 70(5):298-304.
  • Worni M, Schudel HH, Seifert E, Inglin R, Hagemann M, Vorburger SA, et al. Randomized controlled trial on single dose steroid before thyroidectomy for benign disease to improve postoperative nausea, pain, and vocal function. Ann Surg. 2008 Dec. 248(6):1060-6.
  • Zhang Y, Dong Z, Li J, Yang J, Yang W, Wang C. Comparison of endoscopic and conventional open thyroidectomy for Graves' disease: A meta-analysis. Int J Surg. 2017 Feb 22. 40:52-9.
  • FDA Drug Safety Communication: New Boxed Warning on severe liver injury with propylthiouracil. US Food and Drug Administration, April 21, 2010. Available at http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/PostmarketDrugSafetyInformationforPatientsandProviders/ucm209023.htm.
  • Yalamanchi S, Cooper DS. Thyroid disorders in pregnancy. Curr Opin Obstet Gynecol. 2015 Oct 19.
  • Burches-Feliciano MJ, Argente-Pla M, Garcia-Malpartida K, Rubio-Almanza M, Merino-Torres JF. Hyperthyroidism induced by topical iodine. Endocrinol Nutr. 2015 Aug 12.
  • Brandt F. The long-term consequences of previous hyperthyroidism. A register-based study of singletons and twins. Dan Med J. 2015 Jun. 62 (6).
  • Srinivasan S, Misra M. Hyperthyroidism in children. Pediatr Rev. 2015 Jun. 36 (6):239-48.
  • Biondi B1, Cooper DS (2008). "The clinical significance of subclinical thyroid dysfunction". Endocrine Reviews. 29 (1): 76–131.
  • Surks MI, Ortiz E, Daniels GH, Sawin CT, Col NF, Cobin RH, Franklyn JA, Hershman JM, Burman KD, Denke MA, Gorman C, Cooper RS, Weissman NJ (2004). "Subclinical thyroid disease: scientific review and guidelines for diagnosis and management". JAMA. 291 (2): 228–238. 
  • Andersson, Maria; Zimmermann, Michael B. (2010). "Influence of Iodine Deficiency and Excess on Thyroid Function Tests". Endocrine Updates. 28: 45–69.
  • Markovic V, Eterovic D (September 2007). "Thyroid echogenicity predicts outcome of radioiodine therapy in patients with Graves' disease". The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism. 92 (9): 3547–52.
  • Brent, Gregory A. (Jun 12, 2008). "Clinical practice. Graves' disease". The New England Journal of Medicine. 358 (24): 2594–2605.
  • Frost L, Vestergaard P, Mosekilde L. Hyperthyroidism and risk of atrial fibrillation or flutter: a population-based study. Arch Intern Med. 2004 Aug 9-23. 164(15):1675-8.
  • [Guideline] Bahn Chair RS, Burch HB, Cooper DS, et al. Hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis: management guidelines of the American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists. Thyroid. 2011 Jun. 21(6):593-646.
  • [Guideline] Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. 2016 American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. Thyroid. 2016 Oct. 26 (10):1343-1421.
  • Lumbroso S, Paris F, Sultan C. Activating Gsalpha mutations: analysis of 113 patients with signs of McCune-Albright syndrome--a European Collaborative Study. J Clin Endocrinol Metab. 2004 May. 89(5):2107-13.
  • Betterle C, Dal Pra C, Mantero F, Zanchetta R. Autoimmune adrenal insufficiency and autoimmune polyendocrine syndromes: autoantibodies, autoantigens, and their applicability in diagnosis and disease prediction. Endocr Rev. 2002 Jun. 23(3):327-64.
  • Plagnol V, Howson JM, Smyth DJ, Walker N, Hafler JP, Wallace C, et al. Genome-wide association analysis of autoantibody positivity in type 1 diabetes cases. PLoS Genet. 2011 Aug. 7(8):e1002216.
  • Chu X, Pan CM, Zhao SX, Liang J, Gao GQ, Zhang XM, et al. A genome-wide association study identifies two new risk loci for Graves' disease. Nat Genet. 2011 Aug 14. 43(9):897-901.
  • Simmonds MJ, Brand OJ, Barrett JC, Newby PR, Franklyn JA, Gough SC. Association of Fc receptor-like 5 (FCRL5) with Graves' disease is secondary to the effect of FCRL3. Clin Endocrinol (Oxf). 2010 Nov. 73(5):654-60.
  • Newby PR, Pickles OJ, Mazumdar S, Brand OJ, Carr-Smith JD, Pearce SH, et al. Follow-up of potential novel Graves' disease susceptibility loci, identified in the UK WTCCC genome-wide nonsynonymous SNP study. Eur J Hum Genet. 2010 Sep. 18(9):1021-6.
  • Nakabayashi K, Shirasawa S. Recent advances in the association studies of autoimmune thyroid disease and the functional characterization of AITD-related transcription factor ZFAT. Nihon Rinsho Meneki Gakkai Kaishi. 2010. 33(2):66-72.
  • Chu X, Dong Y, Shen M, Sun L, Dong C, Wang Y, et al. Polymorphisms in the ADRB2 gene and Graves disease: a case-control study and a meta-analysis of available evidence. BMC Med Genet. 2009 Mar 13. 10:26.
  • Gabriel EM, Bergert ER, Grant CS, van Heerden JA, Thompson GB, Morris JC. Germline polymorphism of codon 727 of human thyroid-stimulating hormone receptor is associated with toxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol Metab. 1999 Sep. 84(9):3328-35.
  • Mittra ES, Niederkohr RD, Rodriguez C, El-Maghraby T, McDougall IR. Uncommon causes of thyrotoxicosis. J Nucl Med. 2008 Feb. 49(2):265-78.
  • Davies TF, Larsen PR. Thyrotoxicosis. Larsen PR et al, eds. Williams Textbook of Endocrinology. 10th ed. Philadelphia: Saunders; 2003. 374-421.
  • Dahl P, Danzi S, Klein I. Thyrotoxic cardiac disease. Curr Heart Fail Rep. 2008 Sep. 5(3):170-6.
  • Zhyzhneuskaya S, Addison C, Tsatlidis V, Weaver JU, Razvi S. The Natural History of Subclinical Hyperthyroidism in Graves' Disease: The Rule of Thirds. Thyroid. 2016 Jun. 26(6):765-9.
  • Heeringa J, Hoogendoorn EH, van der Deure WM, et al. High-normal thyroid function and risk of atrial fibrillation: the Rotterdam study. Arch Intern Med. 2008 Nov 10. 168(20):2219-24.
  • Hollowell JG, Staehling NW, Flanders WD, Hannon WH, Gunter EW, Spencer CA, et al. Serum TSH, T(4), and thyroid antibodies in the United States population (1988 to 1994): National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). J Clin Endocrinol Metab. 2002 Feb. 87(2):489-99.
  • Porterfield JR Jr, Thompson GB, Farley DR, Grant CS, Richards ML. Evidence-based management of toxic multinodular goiter (Plummer's Disease). World J Surg. 2008 Jul. 32(7):1278-84.
  • [Guideline] De Groot L, Abalovich M, Alexander EK, Amino N, Barbour L, Cobin RH, et al. Management of thyroid dysfunction during pregnancy and postpartum: an Endocrine Society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2012 Aug. 97(8):2543-65.
  • FDA MedWatch Safety Alerts for Human Medical Products. Propylthiouracil (PTU). US Food and Drug Administration. Accessed: June 3, 2009. Available at http://www.fda.gov/Safety/MedWatch/SafetyInformation/SafetyAlertsforHumanMedicalProducts/ucm164162.htm.
  • Stalberg P, Svensson A, Hessman O, et al. Surgical treatment of Graves' disease: evidence-based approach. World J Surg. 2008 Jul. 32(7):1269-77.
  • Wang J, Qin L. Radioiodine therapy versus antithyroid drugs in Graves' disease: a meta-analysis of randomized controlled trials. Br J Radiol. 2016 Jun 27


Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Endokrinologi, Metabolik Endokrin, Gondok, Kelebihan Kekurangan yodium, Tesis, Desertasi, Disertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.