Jenis-jenis vaksin Covid-19 yang dipergunakan di Indonesia

Menjelang awal tahun 2021, dunia sedang berada di titik krusial menghadapi pandemi terbesar umat manusia di awal abad ke dua puluh satu ini. Pun demikian di Indonesia, upaya dasar menghalangi penyebaran dengan penggunaan masker maupun social distancing dirasakan dapat memperlambat penularan penyakit ini namun diperkirakan tidak akan menjadi solusi yang konklusif untuk mengakhiri wabah Covid-19 ini. Fokus duniapun dikerahkan untuk menemukan vaksin untuk virus ini dalam langkah dan kecepatan waktu yang belum pernah ada preseden pengalaman sebelumnya. Segenap sumber daya digunakan pemerintah negara-negara di dunia, institusi kesehatan dan akademik, serta pihak-pihak swasta untuk menyeimbangkan antara kecepatan optimal ketersediaan vaksin dengan aspek keamanan dan efektifitas klinis. Walaupun program vaksinasi sudah mulai digulirkan namun langkah-langkah 3M dan 3T tetap harus terus dilakukan karena untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity diperlukan waktu yang cukup lama apalagi dengan jumlah penduduk sebanyak Indonesia.Prioritas pertama pemberian vaksin hendaknya adalah tenaga kesehatan (nakes) kemudian individu-individu yang dikarenakan profesi atau jabatannya tidak bisa dihindari untuk bertemu orang-orang banyak dan/atau berbeda secara terus menerus.
Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI No. HK.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 telah menetapkan enam vaksin yang akan digunakan nantinya di Indonesia.  Diktum ketentuan tersebut yang tercantum di dalam poin kesatu Kepmenkes No. 9860 menyatakan vaksin yang akan digunakan terdiri dari enam sumber yaitu : 
  1. Sinovac Biotech Ltd
  2. Astra Zeneca 
  3. China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm) 
  4. Moderna 
  5. Pfizer Inc and BioNTech 
  6. PT Bio Farma (Persero) 

PENGGOLONGAN VAKSIN
Sebelumnya kita akan ulas secara singkat jenis-jenis dan penggolongan vaksin, Ilmuwan melakukan banyak pendekatan dalam merancang suatu vaksin untuk melawan mikroba. Pendekatan ini biasanya didasarkan pada informasi mendasar tentang suatu mikroba, seperti bagaimana ia menginfeksi sel dan bagaimana sistem kekebalan menanggapinya, serta pertimbangan praktis, seperti wilayah dunia tempat vaksin akan digunakan. Berikut ini adalah beberapa jenis / penggolongan vaksin yang diketahui saat ini
  • Vaksin attenuated / attenuated vaccine (Vaksin hidup yang dilemahkan)
  • Vaksin yang tidak aktif / Inactivated vaccine
  • Vaksin subunit / Subunit vaccine
  • Vaksin toksoid / Toxoid vaccine
  • Vaksin konjugasi / conjugate vaccine
  • Vaksin DNA
  • Vaksin vektor rekombinan / Recombinant vector vaccines


A. VAKSIN ATTENUATED (vaksin virus yang dilemahkan)

Vaksin dari virus hidup yang dilemahkan ini mengandung versi mikroba hidup yang telah dilemahkan di laboratorium sehingga tidak dapat menyebabkan suatu penyakit. Karena vaksin hidup yang dilemahkan adalah yang paling mendekati dengan infeksi alamiah, vaksin ini dianggap “guru” yang baik untuk sistem kekebalan yaitu mereka memperoleh respons seluler dan antibodi yang kuat dan sehingga juga dapat memberikan kekebalan seumur hidup hanya dengan satu atau dua dosis.

Terlepas dari keuntungan vaksin hidup yang dilemahkan, ada beberapa kerugian atau kekurangan. Sifat dasar makhluk hidup yang dapat berubah, atau bermutasi, serta beradaptasi, organisme yang digunakan dalam vaksin hidup yang dilemahkan pun juga demikian. Terdapat kemungkinan kecil bahwa mikroba yang dilemahkan dalam vaksin ini dapat kembali ke bentuk yang mematikan dan menyebabkan penyakit. Selain itu, tidak semua orang dapat dengan aman menerima vaksin hidup yang dilemahkan. Untuk perlindungan mereka sendiri, orang yang telah mengalami pelemahan sistem kekebalan, misalnya karena mereka pernah menjalani kemoterapi atau mengidap HIV dan banyak contoh lainnya, tidak dapat diberikan vaksin hidup ini.

Kendala lain adalah bahwa vaksin hidup yang dilemahkan biasanya perlu disimpan di lemari es agar tetap ampuh. Jika vaksin perlu dikirim ke luar negeri dan disimpan oleh petugas kesehatan di negara berkembang yang tidak memiliki lemari es yang cukup dan memadai, vaksin hidup mungkin bukan pilihan terbaik.

Vaksin jenis ini relatif mudah dibuat untuk virus tertentu. Vaksin campak (measles), gondongan (mumps), dan cacar air misalnya adalah contoh vaksin yang dibuat dengan cara ini. Virus adalah mikroba sederhana yang mengandung sejumlah kecil gen, dan oleh karena itu para ilmuwan dapat lebih siap mengontrol karakteristiknya. Virus vaksin ini sering dilemahkan melalui metode menumbuhkan jumlah mereka di dalam sel di mana mereka tidak berkembang biak dengan baik, misalnya sel hewan tertentu. Lingkungan yang tidak bersahabat ini memberantas virus melalui cara di saat mereka beradaptasi dengan lingkungan baru ini, mereka menjadi lebih lemah dibandingkan dengan saat mereka di inang alami mereka yang seharusnya, yaitu manusia.

Vaksin hidup yang dilemahkan (vaksin attenuasi) lebih sulit dibuat untuk memerangi bakteri. Bakteri memiliki ribuan gen dan karenanya jauh lebih sulit dikendalikan. Namun, para ilmuwan yang mengerjakan vaksin hidup untuk bakteri, mungkin dapat menggunakan teknologi DNA rekombinan untuk menghilangkan beberapa gen kunci terlebih dahulu. Pendekatan ini telah digunakan untuk membuat vaksin melawan bakteri penyebab kolera, Vibrio cholerae, meskipun vaksin kolera hidup ini belum mendapat lisensi di beberapa negara seperti Amerika Serikat.


B. VAKSIN TIDAK AKTIF / INACTIVATED VACCINE

Para ilmuwan menghasilkan vaksin yang tidak aktif ini dengan cara mematikan mikroba penyebab penyakit dengan bahan kimia, panas, atau radiasi. Vaksin semacam ini lebih stabil dan lebih aman daripada vaksin hidup, mikroba yang mati tidak dapat bermutasi kembali ke keadaan yang dapat menyebabkan penyakitnya. Vaksin yang tidak aktif biasanya tidak memerlukan lemari es (walaupun ada beberapa yang tetap memerlukan), dan dapat dengan mudah disimpan dan diangkut dalam bentuk kering beku, yang membuatnya dapat diakses oleh orang-orang di negara berkembang.

Namun, sebagian besar vaksin virus yang tidak aktif ini merangsang respons sistem kekebalan yang lebih lemah jika dibandingkan vaksin hidup (attenuated). Jadi kemungkinan dibutuhkan beberapa dosis tambahan, atau suntikan penguat (booster), untuk menjaga kekebalan seseorang. Ini bisa menjadi kelemahan di area di mana orang tidak memiliki akses rutin ke perawatan kesehatan dan tidak bisa mendapatkan suntikan penguat tepat waktu sesuai jadwal.


C. VAKSIN SUBUNIT

Dibandingkan vaksin yang kita bahas sebelumnya yang berisi keseluruhan mikroba, vaksin subunit hanya terdiri dari antigen yang paling baik yang dapat menstimulasi sistem kekebalan. Dalam beberapa kasus, vaksin ini menggunakan epitope, bagian antigen yang sangat spesifik yang dikenali dan diikat oleh antibodi atau sel T tubuh kita. Karena subunit vaksin hanya mengandung antigen esensial dan tidak semua molekul lain yang menyusun suatu mikroba, kemungkinan reaksi merugikan (efek samping) dari vaksin lebih rendah.

Vaksin subunit dapat mengandung 1 sampai 20 antigen atau lebih. Tentu saja, mengidentifikasi terlebih dahulu antigen mana yang paling baik dalam menstimulasi sistem kekebalan merupakan proses yang rumit dan memakan waktu. Namun, begitu ilmuwan dapat melakukannya, mereka kemudian dapat membuat vaksin subunit dengan salah satu dari dua cara berikut:

Para ilmuwan pengembang vaksin ini dapat menumbuhkan mikroba di laboratorium dan kemudian menggunakan bahan kimia untuk memecahnya dan mengumpulkan antigen penting yang diperlukan.

Mereka dapat membuat molekul antigen dari mikroba menggunakan teknologi DNA rekombinan. Vaksin yang diproduksi dengan cara ini disebut "vaksin subunit rekombinan".

Salah satu contoh, vaksin subunit rekombinan telah dibuat untuk virus hepatitis B. Para ilmuwan menyisipkan gen hepatitis B yang mengkode antigen penting ke dalam ragi roti. Ragi kemudian menghasilkan antigen, yang dikumpulkan dan dimurnikan oleh para ilmuwan untuk digunakan dalam vaksin. Penelitian sedang berlanjut pada vaksin subunit rekombinan untuk melawan virus hepatitis C.


D. VAKSIN TOXOID

Untuk bakteri yang mengeluarkan racun, atau bahan kimia berbahaya, vaksin racun (vaksin toksoid) mungkin dapat menjadi jawabannya. Vaksin ini digunakan ketika racun bakteri adalah penyebab utama dari suatu penyakit. Para ilmuwan telah menemukan bahwa mereka dapat menonaktifkan racun bakteri ini dengan pemberian formalin, larutan formaldehida dan air yang disterilkan. Campuran "detoksifikasi" seperti itu, yang disebut toxoid, aman untuk digunakan dalam vaksin.

Ketika sistem kekebalan tubuh menerima vaksin yang mengandung racun yang tidak berbahaya (toxoid), ia belajar cara melawan racun alami. Sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang mengunci dan memblokir racun. Vaksin terhadap difteri dan tetanus adalah beberapa contoh vaksin toxoid ini.


E. VAKSIN KONJUGASI

Jika bakteri memiliki lapisan luar molekul gula yang disebut polisakarida, seperti yang dimiliki banyak bakteri berbahaya, para peneliti dapat mencoba membuat vaksin konjugasi untuk mengatasinya. Pelapis polisakarida menyamarkan antigen bakteri sehingga sistem kekebalan tubuh bayi dan anak-anak yang belum matang tidak dapat mengenali atau menanggapinya. Vaksin konjugasi atau conjugate vaccine, jenis khusus dari vaksin subunit, dapat menjadi solusi masalah ini.

Saat membuat vaksin konjugasi, para ilmuwan mengaitkan antigen dari mikroba yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh pada bayi atau anak, dengan lapisan polisakarida tersebut. Keterkaitan ini membantu sistem kekebalan tubuh yang belum matang bereaksi terhadap lapisan polisakarida tersebut dan akhirnya mampu mempertahankan diri terhadap bakteri penyebab penyakit tersebut.

Vaksin yang melindungi kita terhadap Haemophilus influenzae type B (Hib) adalah salah satu contoh vaksin konjugasi ini.


F. VAKSIN DNA

Setelah gen dari suatu mikroba dapat dianalisis, para ilmuwan memiliki kesempatan membuat suatu vaksin DNA untuk melawan mikroba tersebut.

Sempat berada pada tahap eksperimental, kini vaksin jenis ini menunjukkan janji dan potensi besar, dan beberapa jenis sedang diuji pada manusia. Vaksin DNA ini membawa imunisasi ke tingkat teknologi baru. Vaksin ini mengabaikan seluruh organisme dan bagian-bagiannya dan langsung ke hal-hal penting, yaitu bahan genetik mikroba. Secara khusus, vaksin DNA menggunakan gen-gen yang spesifik mengkode antigen-antigen penting yang diperlukan.

Para peneliti telah menemukan bahwa ketika gen untuk antigen mikroba dimasukkan untuk diperkenalkan ke dalam tubuh, beberapa sel akan mengambil DNA itu. DNA itu kemudian menginstruksikan sel-sel tersebut untuk membuat molekul antigen. Sel-sel mengeluarkan antigen dan menampilkannya di permukaan mereka. Dengan kata lain, sel-sel tubuh sendiri menjadi pabrik pembuat vaksin, menciptakan antigen yang diperlukan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh.

Vaksin DNA dari mikroba akan membangkitkan respons antibodi yang kuat terhadap antigen yang melayang bebas yang disekresikan oleh sel tadi, dan vaksin juga akan merangsang respons seluler yang kuat terhadap antigen mikroba yang ditampilkan pada permukaan sel. Vaksin DNA tidak dapat menyebabkan penyakit karena tidak akan mengandung mikroba, hanya salinan beberapa gennya. Selain itu, vaksin DNA relatif mudah dan murah untuk didesain dan diproduksi.

Apa yang disebut naked DNA vaccines terdiri dari DNA yang diberikan langsung ke dalam tubuh. Vaksin ini dapat diberikan dengan jarum suntik (syringe) atau dengan perangkat tanpa jarum yang menggunakan gas bertekanan tinggi untuk menembak partikel emas mikroskopis yang dilapisi DNA langsung ke dalam sel. Terkadang, DNA dicampur dengan molekul yang memfasilitasi penyerapannya oleh sel-sel tubuh. Vaksin DNA yang sedang diuji pada manusia termasuk yang melawan virus yang menyebabkan influenza dan herpes. Suatu versi vaksin DNA yaitu vaksin mRNA sedang dan telah diujikan untuk mengatasi virus SARS-COV2 penyebab penyakit Covid-19.


G. VAKSIN VEKTOR REKOMBINAN / RECOMBINANT VECTOR VACCINES

Vaksin vektor rekombinan adalah vaksin eksperimental yang mirip dengan vaksin DNA, tetapi mereka menggunakan virus atau bakteri yang dilemahkan untuk memperkenalkan DNA mikroba ke sel-sel tubuh. Kata "Vektor" mengacu pada virus atau bakteri yang digunakan sebagai pembawa.

Dalam keadaan alami, suatu virus akan menempel pada sel dan menyuntikkan bahan genetik mereka ke dalam sel tersebut. Di laboratorium, para ilmuwan telah mengambil keuntungan dari proses ini. Mereka telah mengetahui cara untuk mengambil genom yang cukup banyak dari virus tertentu yang tidak berbahaya atau yang telah dilemahkan dan menggantinya dengan memasukkan bagian bahan genetik dari mikroba lain ke dalamnya. Virus pembawa (carrier) kemudian mengantar bahan DNA mikroba yang dikehendaki ke sel. Vaksin vektor rekombinan meniru infeksi alami oleh karenanya melakukan pekerjaan yang baik untuk merangsang sistem kekebalan tubuh.

Bakteri yang dilemahkan (attenuated) juga dapat digunakan sebagai vektor. Dalam hal ini, bahan genetik yang dimasukkan menyebabkan bakteri menampilkan antigen mikroba lain di permukaannya. Akibatnya, bakteri yang tidak berbahaya meniru mikroba berbahaya, dan akhirnya memprovokasi respons kekebalan tubuh, yang kita butuhkan dari penerima vaksin.

Para peneliti sedang mengerjakan vaksin vektor rekombinan berbasis bakteri dan virus untuk HIV, rabies, dan campak.




Kembali kita bahas jenis vaksin Covid-19 yang tengah digunakan di Indonesia



1. VAKSIN SINOVAC BIOTECH Ltd. (CORONAVAC)
  • Nama perusahaan produsen vaksin : Sinovac Biotech Limited, Sinovac Life Sciences Beijing
  • Asal negara vaksin : China
  • Platform mekanisme kerja vaksin : Virus SARS-COV2 yang diinaktivasi
  • Suhu penyimpanan optimal vaksin : 2–8 °C (36–46 °F) dapat bertahan sampai 3 tahun 
  • Efikasi vaksin : Brazil 50.38 %  Turki : 91,25 %
  • Cara pemberian vaksin :  satu injeksi intramuskular dengan dosis 300SU-600SU diberikan 2 kali dengan selisih waktu (interval) 28 hari
  • Efek samping yang dilaporkan : Nyeri, kemerahan, atau bengkak di tempat bekas suntikan, demam, badan terasa lelah, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah
Sinovac Biotech Ltd. adalah perusahaan biofarmasi Tiongkok yang berfokus pada penelitian, pengembangan, pembuatan, dan komersialisasi vaksin yang melindungi terhadap penyakit menular pada manusia. Perusahaan ini berbasis di Beijing, Cina.

Vaksin dari Sinovac yang telah diperjualbelikan selama ini diantaranya Healive (hepatitis A), Bilive (gabungan hepatitis A dan B), Anflu (influenza), Panflu (H5N1) dan PANFLU.1 (H1N1). Sinovac saat ini juga sedang mengembangkan vaksin untuk Universal Pandemic Influenza dan vaksin untuk ensefalitis Jepang.

Dimasa lalu CEO sinovac Yin Weidong pernah terlibat kasus penyuapan yang melibatkan regulator kesehatan china, walaupun tidak ditemukan penyelewengan dalam soal keamanan dari produk vaksin itu sendiri, namun integritas terutama jika melibatkan Kesehatan komunitas dalam skala besar patut mendapat perhatian
  
Basis platform Coronavac yang diproduksi Sinovac ini adalah virus SARS-Cov-2 yang diinaktivasi. Vaksin dengan virus yang diinaktivasi (atau virus yang dimatikan) adalah vaksin yang terdiri dari partikel virus, bakteri, atau patogen lainnya yang telah dikembangkan dalam kultur dan kemudian dimatikan untuk menghancurkan kapasitasnya untuk mengakibatkan suatu penyakit. Sebaliknya, vaksin hidup menggunakan patogen yang masih hidup (tetapi hampir selalu dilemahkan). Patogen untuk vaksin virus inaktif dikembangbiakkan dalam kondisi lingkungan terkontrol dan dimatikan agar mengurangi daya infeksi dan dengan demikian mencegah infeksi dari vaksin. Virus ini dimatikan menggunakan metode seperti panas atau formaldehida.

Vaksin dari virus yang mengalami inaktivasi ini kemudian dapat diklasifikasikan lebih lanjut tergantung pada metode yang digunakan untuk menonaktifkan virus. Vaksin virus utuh (Whole virus vaccine) menggunakan seluruh partikel virus secara utuh, kemudian dimatikan menggunakan panas, bahan kimia, atau radiasi. Vaksin virus split diproduksi dengan menggunakan zat deterjen untuk merusak dan memecah virus. Vaksin subunit diproduksi dengan memisahkan antigen pada virus yang paling dapat merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memberikan respons terhadap virus, namun menghilangkan komponen-kompenen lain yang diperlukan virus untuk bereplikasi atau bertahan hidup atau yang dapat menyebabkan reaksi merugikan.
 
Karena virus yang tidak aktif cenderung menghasilkan respons yang lebih lemah oleh sistem kekebalan tubuh dibandingkan virus yang hidup, adjuvant imunologis dan beberapa suntikan "booster" mungkin diperlukan untuk memberikan respons kekebalan yang efektif terhadap patogen. Vaksin virus yang dilemahkan (attenuated) seringkali lebih disukai oleh orang yang umumnya sehat karena dosis lebih sering aman dan sangat efektif. Namun, beberapa orang tidak dapat diberikan vaksin attenuated karena patogen menimbulkan terlalu banyak risiko bagi mereka (misalnya, pada orang usia tua atau orang dengan imunodefisiensi). Bagi pasien tersebut, vaksin yang tidak aktif (inactivated) dapat menjadi pilihan untuk memberikan perlindungan.

CoronaVac, yang merupakan nama produk dari sinovac ini, adalah kandidat vaksin jenis yang tidak aktif (inactivated) untuk melawan COVID-19 yang telah menunjukkan reaksi imunogenisitas yang baik pada mencit, tikus, dan primata non-manusia dengan antibodi penetralisir yang diinduksi vaksin ke SARS-CoV-2, yang dapat menetralisir sepuluh strain perwakilan SARS-CoV-2. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan CoronaVac memberikan perlindungan parsial atau lengkap pada kera macaque dari pneumonia interstitial yang parah pada paparan SARS-CoV-2, tanpa terjadinya infeksi antibody-dependent enhancement (ADE) yang dapat diamati, ini merupakan salah satu tanda penelitian bahwa dapat dilanjutkan ke uji klinis pada manusia. 

Selain di Indonesia vaksin Coronavac juga digunakan di beberapa negara lain seperti Brazil dan Turki. Uji klinis tahap 3 vaksin Coronavac sudah dilakukan di Indonesia pada pertengahan menjelang akhir tahun 2020
 
Pada akhir Juni 2021, vaksin ini disetujui oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makan) untuk penggunaan darurat (emergency authorization) pada anak usia 12-17 tahun dengan pertimbangan :
  • Profil imunogenitas dan keamanan pada dosis medium (600 SU/05 mL) lebih baik dibanding dosis rendah (300 SU/05mL) 
  • Dari data keamanan uji klinis Fase I dan Fase II, profil AS sistemik berupa fever pada populasi 12-17 tahun tidak dilaporkan dibandingkan dengan usia 3-5 tahun dan 6-11 tahun 
  • Jumlah subjek pada populasi < 12 tahun belum cukup untuk memastikan profil keamanan vaksin pada kelompok usia tersebut 
  • Imunogenisitas dan keamanan pada populasi remaja 12-17 tahun diperkuat dengan data hasil uji klinik pada populasi dewasa karena maturasi imun pada remaja seusai dengan dewasa
  • Data epidemiologi Covid-19 di Indonesia menunjukkan mortalitas tinggi pada usia 10-18 tahun sebesar 30 persen.


2. VAKSIN OXFORD-ASTRA ZENECA
  • Nama perusahaan produsen vaksin : Oxford University bekerja sama dengan AstraZeneca
  • Asal negara vaksin : Inggris
  • Platform mekanisme kerja vaksin : Adenovirus simpanse yang dimodifikasi dan memiliki spike protein SARS-COV2
  • Suhu penyimpanan optimal : 2–8 °C (36–46 °F) dapat bertahan setidaknya sampai 5 bulan  
  • Efikasi vaksin : 76-82,4%  
  • Cara pemberian vaksin : 2 suntikan intramuscular dengan selisih waktu (interval) 12 minggu (menunjukkan efikasi tertinggi)
 
Kategori Sangat Umum (Pada 1 dari 10 orang):
  • nyeri saat ditekan, nyeri, hangat, gatal atau memar pada bekas suntikan.
  • merasa tidak sehat
  • lelah
  • menggigil atau merasa demam
  • sakit kepala
  • merasa sakit (mual)
  • nyeri sendi atau otot
Kategori Umum (Pada 1 dari 10 orang)
  • bengkak, kemerahan atau benjolan di bekas suntikan
  • demam
  • sakit (muntah) atau diare
gejala mirip flu, seperti demam tinggi, sakit tenggorokan, pilek, batuk, dan menggigil.
Kategori Jarang (Pada 1 dari 100 orang)
  • Merasa pusing
  • nafsu makan menurun
  • sakit perut
  • kelenjar getah bening membesar
  • keringat berlebihan
  • gatal di kulit atau timbul ruam
Kategori Tidak Diketahui (Tidak dapat diperkirakan dari data yang tersedia)
  • reaksi alergi parah (anafilaksis)
Selain itu juga terdapat efek samping yang dilaporkan dalam uji coba ada juga laporan sangat jarang yang dihubungkan dengan peradangan sistem saraf. Ini menyebabkan mati rasa, kesemutan, dan atau kehilangan rasa. Namun belum dipastikan apakah berkaitan dengan vaksinasi.

Latar belakang
Vaksin COVID-19 Oxford – AstraZeneca, atau dikenal dengan kode AZD1222, adalah vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca yang diberikan melalui injeksi intramuskular, yang menggunakan modifikasi simpanse adenovirus ChAdOx1 sebagai vektor. Satu rejimen pendosisan menunjukkan kemanjuran 90% ketika dosis pertama diikuti kemudian dengan dosis kedua setelah setidaknya interval satu bulan, dilakukan berdasarkan uji coba mix trials, dengan tidak ada peserta yang berusia di atas 55 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan efikasi tertinggi pada injeksi dengan interval 12 minggu.

Vaksin ini dikembangkan oleh Jenner Institute Universitas Oxford dan Grup Vaksin Oxford dengan kolaborasi pabrikan Italia Advent Srl yang berlokasi di Pomezia, yang memproduksi batch pertama vaksin COVID-19 untuk pengujian klinis. Tim ini dipimpin oleh Sarah Gilbert, Adrian Hill, Andrew Pollard, Teresa Lambe, Sandy Douglas dan Catherine Green.

Pada penelitian awal, vaksin ini memiliki profil keamanan yang baik dengan sekitar 10% penerima melaporkan efek samping ringan termasuk nyeri di tempat suntikan, sakit kepala dan mual. Pada kejadian yang lebih jarang, reaksi anafilaksis dapat terjadi (Badan Pengatur Produk Kesehatan dan Obat-obatan Inggris (MHRA) mendapatkan 194 laporan dari sekitar 9 juta vaksinasi pada Februari 2021) akan kejadian ini. 

Pada tanggal 30 Desember 2020, vaksin pertama kali disetujui untuk digunakan dalam program vaksinasi Inggris, dan vaksinasi pertama di luar percobaan diberikan pada tanggal 4 Januari 2021. Vaksin ini juga telah disetujui oleh beberapa agensi pengobatan di seluruh dunia, seperti European Medicines Agency, dan Australian Therapeutic Goods Administration (TGA), dan telah disetujui untuk Daftar Penggunaan Darurat / Emergency Use Listing (EUL) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).  


Vaksin dan kasus koagulasi

Pada Maret 2021, sejumlah negara menghentikan penggunaan vaksin karena kekhawatiran kemungkinan keterkaitan vaksin ini dengan temuan kasus pembekuan darah (koagulasi) yang diamati pada beberapa penerima vaksin.

Pada awal Maret, Kementerian Kesehatan Denmark mengumumkan akan berhenti menggunakan vaksin AstraZeneca untuk sementara waktu. Ini terjadi setelah adanya "laporan pembekuan darah parah pada orang yang divaksinasi dengan vaksin COVID-19 AstraZeneca," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan. "Kami membutuhkan klarifikasi sebelum kami dapat terus menggunakan vaksin dari AstraZeneca," kata Soren Brostrom, Direktur Jenderal Otoritas Kesehatan Denmark, yang menjadi penasihat dan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Denmark.
 
EMA saat itu mengatakan akan memeriksa vaksin AstraZeneca dan akan membuat pengumuman lebih lanjut saat penilaian berlangsung.

Latar belakang penyelidikan adalah kematian yang belum dapat dijelaskan di Denmark sehubungan dengan vaksinasi. "Saat ini belum bisa dipastikan apakah ada hubungan antara vaksin dan kelainan pembekuan darah," kata Kementerian Kesehatan.

Norwegia mengikutinya sebagai akibat dari kasus di Denmark ini dan menunda vaksin AstraZeneca. Dalam pernyataan pers, Geir Bukholm, Direktur Divisi Pengendalian Infeksi dan Kesehatan Lingkungan di Institut Kesehatan Masyarakat Norwegia NIPH), mengatakan ini adalah tindakan pencegahan. "Kami akan menunggu informasi untuk melihat apakah ada hubungan antara vaksin dan kasus-kasus ini."

Sara Viksmoen Watle, seorang dokter senior dari NIPH mengatakan kepada DW bahwa lembaganya "sekarang dengan hati-hati meninjau semua efek samping yang dilaporkan setelah pemberian vaksin AstraZeneca dan vaksin virus corona lainnya. Selain itu, kami akan menyelidiki apakah ada kasus pembekuan darah setelah vaksinasi yang belum dilakukan. melaporkan, dan meminta profesional perawatan kesehatan yang mencurigai hubungan semacam itu untuk melaporkan ini secepat mungkin. Kami juga melihat apakah kami menemukan indikasi bahwa ada peningkatan kondisi tertentu dalam daftar kesehatan yang dapat menjadi efek samping. "

Jerman, Itali, perancis, Islandia, Irlandia, dan Bulgaria menjadi beberapa negara yang juga sempat ikut menunda penggunaan vaksin dari astra Zeneca ini sebagai langkah antisipasi pencegahan.

Estonia, Lituania, Luksemburg, Latvia, dan Rumania menangguhkan penggunaan batch vaksin AstraZeneca ABV5300 menyusul keputusan Austria untuk menangguhkan batch tersebut setelah satu orang meninggal karena trombosis multipel terjadi 10 hari setelah vaksinasi dan satu lagi dirawat di rumah sakit dengan emboli paru setelah mendapatkan suntikan. Batch ABV5300 dikirim ke 17 negara Uni Eropa dan terdiri dari 1 juta dosis vaksin.
European Medicines Agency (EMA) kemudian dalam pernyataan ini mengatakan saat ini tidak ada indikasi bahwa vaksinasi yang menyebabkan kondisi ini, yang tidak terdaftar sebagai efek samping dari vaksin AstraZeneca.

European Medicines Agency (EMA), The Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (UK MHRA) dan AstraZeneca  telah menyatakan bahwa tingkat pembekuan darah secara keseluruhan tidaklah lebih tinggi jika dibandingkan yang diprediksi akan terjadi secara alami.

Pada 18 Maret 2021, EMA mengumumkan bahwa dari sekitar 20 juta orang yang telah menerima vaksin, dilaporkan tingkat pembekuan darah secara umum normal, tetapi telah mengidentifikasi tujuh kasus koagulasi intravaskular diseminata (DIC)  , dan delapan belas (18) kasus trombosis sinus vena serebral, dan beberapa kasus diantaranya disertai penurunan kadar trombosit darah.  EMA memperbarui informasi vaksin ini untuk memberi tahu dan mengedukasi pasien tentang adanya kemungkinan kecil dari timbulnya sindrom tersebut tetapi menegaskan bahwa manfaat vaksin masih lebih besar daripada risikonya. Menurut EMA, 100.000 kasus pembekuan darah terjadi secara alami setiap bulan di Uni Eropa, dan risiko pembekuan darah secara statistik tidak lebih tinggi pada populasi yang divaksinasi. Badan tersebut kemudian menyatakan bahwa produk obat lain yang biasa digunakan, seperti kontrasepsi oral, meningkatkan risiko penggumpalan darah empat kali lipat, dan masih digunakan secara luas serta dapat ditoleransi dengan baik. Selain itu, EMA mencatat bahwa penyakit COVID-19 itu sendiri menyebabkan peningkatan risiko perkembangan penggumpalan darah, dan dengan demikian vaksin akan menurunkan risiko pembentukan gumpalan darah bahkan jika hubungan kausal 15 kasus dengan vaksin telah dikonfirmasi.  Menyusul pernyataan ini, para peneliti di Rumah Sakit Universitas Greifswald Jerman mengumumkan bahwa bekerja sama dengan Institut Paul Ehrlich mereka telah memperkenalkan protokol pengobatan yang dapat secara efektif mengobati kasus yang sangat langka seperti itu dengan obat yang tersedia secara umum. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pernyataan pada 17 Maret 2021, mengenai topik keamanan vaksin AstraZeneca COVID-19, dan masih menganggap manfaat vaksin lebih besar daripada potensi risikonya, selanjutnya merekomendasikan agar vaksinasi dilanjutkan, hal ini senada dengan sikap EMA sebelumnya. 

Pada 29 Maret 2021, Komite Penasihat Nasional Kanada untuk Imunisasi / National Advisory Committee on Immunization  (NACI) merekomendasikan  agar distribusi vaksin ditangguhkan untuk pasien yang berusia di bawah 55 tahun; Ketua NACI Caroline Quach-Thanh menyatakan bahwa risiko pembekuan darah lebih tinggi pada pasien yang lebih muda, dan NACI perlu "mengembangkan" rekomendasinya saat data baru akan tersedia. Sebagian besar provinsi Kanada kemudian mengumumkan bahwa mereka akan mengikuti panduan ini. Health Canada melaporkan bahwa tidak ada kasus pembekuan darah yang dilaporkan di negara tersebut.

Keesokan harinya, Kementerian Kesehatan Jerman mengumumkan bahwa penggunaan vaksin pada orang berusia 60 tahun ke bawah harus merupakan hasil dari diskusi khusus dan persetujuan (consent) antara dokter dan pasien,dan bahwa pasien yang lebih muda masih dapat diberikan vaksin AstraZeneca, tetapi hanya "atas kebijaksanaan dokter, dan setelah analisis risiko individu dan penjelasan menyeluruh".  Pada April 2021, Pemerintah Belanda mengeluarkan  jeda sementara dalam pemberian vaksin ini bagi mereka yang berusia di bawah 60 tahun sampai analisis baru dapat diselesaikan. Australia mengeluarkan  saran yang diubah pada bulan April 2021, merekomendasikan agar vaksin Pfizer digunakan sebagai gantinya, pada orang dewasa di bawah usia 50 tahun di negara itu.

Menurut EMA, 100.000 kasus pembekuan darah terjadi secara alami setiap bulan di UE, dan risiko pembekuan darah secara statistik tidak lebih tinggi pada populasi yang telah divaksinasi. EMA mencatat bahwa COVID-19 itu sendiri menyebabkan peningkatan risiko penggumpalan darah, dan dengan demikian vaksin akan menurunkan risiko pembentukan gumpalan darah bahkan jika hubungan kausal dari 15 kasus telah dikonfirmasi. Italia melanjutkan vaksinasi setelah pernyataan EMA ini, dengan sebagian besar negara Eropa yang tersisa mengikuti dan melanjutkan inokulasi AstraZeneca mereka segera setelah itu. Untuk meyakinkan publik tentang keamanan vaksin tersebut, Perdana Menteri Inggris dan Prancis, Boris Johnson dan Jean Castex, telah divaksinasi langsung di depan media segera setelah dimulainya kembali kampanye vaksinasi AstraZeneca di uni eropa setelah sempat jeda.


Pada 13 April 2021, EMA mengeluarkan panduan  komunikasi profesional perawatan kesehatan langsung/ direct healthcare professional communication (DHPC) tentang vaksin ini. 
Daftar negara yang pernah menghentikan penggunaan vaksin Astra Zeneca  :
  • Austria
  • Bulgaria
  • Denmark
  • Cyprus
  • Estonia
  • Perancis
  • Jerman
  • Islandia
  • Irlandia
  • Italia
  • Latvia
  • Lithuania
  • Luxembourg
  • Belanda
  • Norwegia
  • Romania
  • Slovenia
  • Spanyol
  • Swedia
  • Thailand

Efektifitas pada mutasi baru

Vaksin AstraZeneca-Oxford telah menghasilkan hasil efektifitas yang membingungkan (bervariasi) sejak awal. Hasil pendahuluan sebelumnya dari uji coba di berbagai negara menunjukkan tingkat keberhasilan yang beragam terhadap penyakit ringan dan sedang, tetapi para peneliti mengalami kesulitan dalam menafsirkan data karena perbedaan dalam dosis, interval antara dosis, dan varian yang beredar. Sebuah penelitian menunjukkan vaksin tersebut menawarkan perlindungan yang kuat terhadap varian yang lebih dapat menular, B.1.1.7, yang meledak di Inggris Raya dan sekarang menyebar dengan cepat ke seluruh Eropa.
Di Afrika Selatan, vaksin ini  diberikan dalam dua dosis dengan selang waktu 21 hingga 35 hari. Antibodi yang dibuat oleh penerima vaksin biasanya dapat "menetralkan" SARS-CoV-2, yang berarti mereka dapat mencegahnya menginfeksi sel dalam penelitian pada kultur. Tetapi studi laboratorium menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan yang jauh lebih kecil terhadap varian mutasi B.1.351.

Vaksin masih dapat memicu respons sel T yang dapat menargetkan dan menghilangkan sel yang berhasil diinfeksi varian tersebut. The University of the Witwatersrand mempresentasikan studi tabung reaksi yang menunjukkan bagaimana mutasi pada spike protein yang memungkinkan B.1.351 menghindari antibodi penetral hanya berdampak kecil terhadap respons sel T. “Kami percaya bahwa respon sel T tersebut akan tetap utuh meskipun terjadi mutasi pada varian B.1.351,” ungkap Shabir Madhi dari the University of the Witwatersrand, pelaksana uji klinis utama dari vaksin ini di Afrika selatan.

Uji coba vaksin AstraZeneca-Oxford di Afrika Selatan ini, yang berlangsung dari Juni hingga November 2020, menemukan bahwa mulai 2 minggu setelah dosis kedua — ketika peserta diduga telah mengalami imunisasi penuh — 19 kasus penyakit ringan atau sedang berkembang di antara yang divaksinasi, versus 23 pada kelompok plasebo , dengan menghasilkan kemanjuran 21,9%. Itu jauh di bawah 50% minimum yang disyaratkan untuk otorisasi penggunaan darurat di banyak negara.

Peneliti melakukan sekuensi virus yang menginfeksi peserta uji coba klinis dan menemukan hubungan yang kuat antara kegagalan (ketidak manjuran) vaksin dengan ledakan varian mutase B.1.351 di Afrika Selatan. Pada orang yang menerima satu dosis vaksin sebelum varian mulai menyebar secara luas, kemanjuran terhadap penyakit ringan dan sedang masih cukup tinggi sebesar 75%.

Tim Oxford yang awalnya merancang vaksin tersebut mengatakan telah mulai mengerjakan kandidat generasi kedua yang menargetkan spike protein yang bermutasi dari varian B.1.351. Sarah Gilbert dari Oxford, yang memimpin upaya itu, menyarankan dalam pernyataan pers bahwa vaksin yang akan diformulasi ulang mungkin diberikan sebagai suntikan booster untuk vaksin yang sudah ada. “Ini adalah masalah yang sama yang dihadapi oleh semua pengembang vaksin, dan kami akan terus memantau kemunculan varian baru yang muncul dalam kesiapan untuk perubahan strain di masa depan,” kata Gilbert.

Sebuah studi oleh para peneliti dari COVID-19 Genomics United Kingdom Consortium, the AMPHEUS Project, dan Oxford COVID-19 Vaccine Trial Group mengindikasikan bahwa vaksin tersebut menunjukkan penurunan efektivitas terhadap B.1.1.7 (juga dikenal sebagai varian UK atau Kent) suatu Varian Covid-19  Setelah varian ini mulai menyebar, muncul kekhawatiran bahwa mutasi E484K, yang terdapat pada varian Afrika Selatan (B.1.351) dan Brasil (B.1.1.28), dapat menghindari perlindungan yang diberikan oleh vaksin.   Pada bulan Februari 2021, institusi-institusi ini bekerja untuk mengadaptasikan vaksin untuk menargetkan varian-varian ini,   dengan harapan bahwa vaksin yang dimodifikasi tersebut akan tersedia dalam beberapa bulan, sebagai "booster" yang akan diberikan kepada orang-orang yang telah menyelesaikan sesi vaksinasi vaksin astra zeneca sebelumnya.  

Nama vaksin ini diubah menjadi Vaxzevria di wilayah Uni Eropa pada 25 Maret 2021, dan Covishield di wilayah-wilayah tertentu seperti India   

 

3. VAKSIN CHINA NATIONAL PHARMACEUTICAL GROUP CORPORATION (SINOPHARM)
  • Nama perusahaan Produsen Vaksin : Sinopharm's Beijing Institute of Biological Products
  • Nama lain Vaksin : Sinopharm BBIBP-CorV
  • Asal Negara Vaksin : China
  • Dasar Mekanisme Kerja Vaksin : Virus Covid-19 yang diinaktivasi
  • Suhu Penyimpanan optimal : 2-8 °C
  • Efikasi Vaksin : 78.1% terhadap kasus simtomatis dan 100% terhadap kasus berat  
  • Cara pemberian vaksin : Dosis 0,5 ml injeksi intramuskular disarankan pada muskulus deltoid lengan yang tidak dominan
Efek samping yang dilaporkan : Berdasarkan analisis data uji klinis tahap 2, efek samping vaksin Sinopharm masuk dalam kategori ringan-sedang, tidak berbahaya, dan bisa pulih dengan cepat. Efek samping yang dapat terjadi setelah disuntik vaksin Sinopharm adalah:
  • Nyeri dan kemerahan pada area yang disuntik
  • Demam ringan
  • Sakit kepala
  • Rasa lelah

Vaksin yang juga dikenal sebagai BBIBP-CorV ini, adalah salah satu dari dua vaksin virus COVID-19 yang tidak aktif (inaktivasi) yang dikembangkan oleh Sinopharm's Beijing Institute of Biological Products. Vaksin ini menyelesaikan uji coba klinik fase III di Argentina, Bahrain, Mesir, Maroko, Pakistan, Peru, dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan lebih dari 60.000 peserta.  BBIBP-CorV berbagi teknologi serupa dengan vaksin CoronaVac dan Covaxin (vaksin dari sinovac), yaitu vaksin virus nonaktif lainnya untuk melawan COVID-19. Nama dagang vaksin ini adalah SARS-CoV-2 Vaccine (Vero Cell). 

Hasil peer-review yang diterbitkan dalam website JAMA, Fase III di Uni Emirat Arab dan Bahrain menunjukkan BBIBP-CorV 78,1% efektif terhadap kasus simtomatik, dan 100% terhadap kasus parah. Pada Desember 2020, UEA sebelumnya mengumumkan hasil sementara yang menunjukkan kemanjuran 86%.
   
Sementara vaksin mRNA seperti vaksin Pfizer–BioNTech COVID-19 dan vaksin Moderna COVID-19 menunjukkan kemanjuran yang lebih tinggi di atas 90%, vaksin tersebut menghadirkan tantangan distribusi untuk beberapa negara karena memerlukan fasilitas khusus dan truk deep-freeze. BIBP-CorV dapat diangkut dan disimpan pada suhu berpendingin normal. 

BBIBP-CorV sedang digunakan dalam kampanye vaksinasi oleh negara-negara tertentu di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa.  Sinopharm mentargetkan untuk menghasilkan satu miliar dosis BBIBP-CorV pada tahun 2021. Sampai bulan Mei, Sinopharm telah memasok 200 juta dosis.
  
Pada 7 Mei 2021, Organisasi Kesehatan Dunia menyetujui vaksin ini untuk digunakan dalam progam COVAX, yaitu program inisiasi vaksinasi Covid-19 secara global.  
Vaksin virus inaktif lainnya yang dikembangkan oleh Sinopharm adalah WIBP-CorV.


Teknologi dasar vaksin
Sebagai vaksin inaktif seperti CoronaVac dari Sinovac, BBIBP-CorV menggunakan teknologi yang lebih tradisional yang mirip dengan vaksin polio inaktif. Awalnya, sampel SARS-CoV-2 dari China yang mampu berkembang biak dengan cepat digunakan untuk menumbuhkan virus dalam jumlah besar menggunakan sel vero. Setelah itu, virus direndam dalam beta-propiolakton, yang berfungsi menonaktifkannya dengan cara mengikat gen, namun membiarkan partikel virus lainnya tetap utuh. Virus inaktif yang dihasilkan kemudian dicampur dengan bahan pembantu berbasis aluminium. 

Efikasi
Pada Mei 2021, hasil uji peer-review yang diterbitkan dalam publikasi JAMA uji klinik Fase III di Uni Emirat Arab dan Bahrain menunjukkan BBIBP-CorV 78,1% efektif terhadap kasus simtomatik dan 100% terhadap kasus parah. 12.726 orang menerima vaksin dan 12.737 orang menerima plasebo dalam uji coba ini. Hasil ini sebelumnya dipublikasikan oleh WHO pada bulan April.

Analisis tes-negatif di dunia nyata (Real-world test-negative analysis) di Bahrain (berdasarkan  data 14 hari setelah dosis ke-2) menunjukkan efektivitas vaksin 90% untuk orang dewasa berusia 18-59 tahun, dan 91% untuk mereka yang berusia 60 tahun atau lebih.    Karena rendahnya partisipasi dalam penelitian, para ahli WHO menyatakan kepercayaan yang sangat rendah pada keamanan BBIBP-CorV untuk orang yang memiliki komorbiditas, wanita hamil dan orang tua, namun yakin akan kemanjurannya (efikasi) secara keseluruhan.  

Pada bulan Desember 2020, Kementerian Kesehatan dan Pencegahan UEA mengumumkan pendaftaran resmi BBICP-CorV setelah analisis sementara dari hasil uji klinis Fase III menunjukkan BBIBP-CorV memiliki kemanjuran 86% terhadap infeksi COVID-19.  Pada April 2021, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Masyarakat Abu Dhabi menemukan bahwa vaksin itu 93% efektif dalam mencegah calon pasien untuk rawat inap dan 95% efektif terhadap pasien masuk ke perawatan intensif (ICU). Studi ini tidak menemukan kematian terkait COVID-19 pada pasien yang telah menerima kedua dosis tersebut. Tidak diketahui kapan penelitian dilakukan atau berapa banyak orang yang dilibatkan dalam penelitian. 

Pada varian SARS-CoV-2
Pada bulan Februari, penelitian laboratorium dari dua belas sampel serum yang diambil dari penerima vaksin BBBP-CorV dan ZF2001 mempertahankan aktivitas penetralan terhadap varian Beta Covid-19 meskipun dengan aktivitas yang lebih lemah daripada terhadap virus asli. Untuk BBIBP-CorV, rata-rata titer geometrik menurun 1,6 kali lipat, dari 110,9 menjadi 70,9, yang adalah kurang dari antisera dari penerima vaksin jenis mRNA dengan penurunan 6 kali lipat. Data klinis awal dari Novavax dan Johnson & Johnson juga menunjukkan bahwa mereka kurang efektif dalam mencegah COVID-19 di Afrika Selatan, di mana varian baru tersebar luas.  

Vaksin gotong royong
Di Indonesia 7,5 juta dosis vaksin sinopharm ini direncanakan akan digunakan untuk program vaksin gotong royong, yaitu program vaksinasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta besar untuk para pegawainya. Program ini terselenggara berkat kerjasama sinopharm dengan PT. Kimia Farma dan PT Bio Farma dan kementerian kesehatan. Program vaksinasi gotong royong ini selain menggunakan vaksin sinopharm juga rencananya akan menggunakan vaksin merk Cansino.



4. VAKSIN MODERNA
  • Nama perusahaan produsen Vaksin : Moderna, Inc.
  • Asal negara vaksin : Amerika Serikat
  • Dasar mekanisme kerja vaksin : Vaksin RNA yang terdiri dari mRNA nukleosida yang dimodifikasi (modRNA) untuk mengkode duri (spike) protein SARS-CoV-2, yang dienkapsulasi dalam suatu nanopartikel lipid, sehingga menimbulkan respon imun. 
  • Suhu penyimpanan optimal : -50º sampai dengan -15ºC , dapat disimpan dengan suhu antara 2° sampai 8°C untuk maksimal 30 hari sebelum penggunaan, tidak dapat dibekukan kembali  
  • Efikasi vaksin : 94,1%  
  • Cara pemberian vaksin : Dosis masing-masing 0,5 ml. Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali dengan jarak 28 hari. Vaksin ini akan disuntikkan ke dalam otot (intramuskular/IM).
Efek samping yang dilaporkan
Setelah suntikan pertama, sebanyak 2,7 persen dari total relawan melaporkan adanya efek samping berupa rasa sakit di bekas suntikan. Lalu, setelah pemberian dosis kedua, efek samping yang dilaporkan timbul cukup bervariasi, yaitu:
  • Kelelahan (9,7 persen partisipan).
  • Nyeri otot (8,9 persen partisipan).
  • Sakit pada persendian (5,2 persen partisipan).
  • Sakit kepala (4,5 persen partisipan).
  • Nyeri di bekas suntikan (4,1 persen partisipan).
  • Ruam kemerahan di sekitar lokasi suntikan (2 persen).
Meski begitu, pihak Moderna menyebut efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan hingga sedang, dan tidak berlangsung lama, sehingga masih bisa ditoleransi. Salah satu relawan yang juga merupakan epidemiolog dan ahli penyakit menular, Lisa Fitzpatrick, mengaku sempat mengalami efek samping berupa nyeri di bagian lengan dan kelelahan. Namun, efek samping tersebut membaik dalam waktu kurang lebih 12 jam. 

Latar Belakang
Vaksin Moderna COVID 19, dengan nama sandi mRNA-1273 dan dijual dengan merek dagang Spikevax, adalah vaksin COVID-19 yang dikembangkan pada Januari 2020 oleh Moderna, the United States National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) dan the Biomedical Advanced Research and Development Authority (BARDA). Vaksin ini digunakan pada orang berusia 18 tahun ke atas untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi oleh virus SARS-CoV-2, yang menyebabkan COVID-19.[10][13] . Vaksin Ini dirancang untuk diberikan sebagai dua dosis 0,5 mL yang diberikan melalui injeksi intramuskular dengan interval empat minggu terpisah.

Vaksin ini adalah vaksin RNA yang terdiri dari mRNA yang dimodifikasi nukleosida (modRNA) untuk mengkode protein spike SARS-CoV-2, yang dienkapsulasi dalam nanopartikel lipid.

Vaksin Moderna COVID 19 diizinkan untuk digunakan pada tingkat tertentu di 53 negara termasuk diantaranya Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Inggris, Israel, dan Singapura.
Pada 15 Maret 2021, vaksin COVID 19 kedua Moderna (mRNA-1283) memulai uji klinis fase I.  

Mekanisme kerja
Pada Januari 2020, Moderna mengumumkan pengembangan vaksin RNA, dengan nama kode mRNA-1273, untuk dapat menginduksi kekebalan terhadap SARS-CoV-2. Teknologi Moderna menggunakan kelompok nucleoside-modified messenger RNA (modRNA) dengan nama kode mRNA-1273. Setelah kelompok modRNA tersebut berada di dalam sel manusia, mRNA kemudian terhubung dengan retikulum endoplasma sel. mRNA-1273 ini telah dikodekan untuk dapat memicu sel untuk membuat protein spesifik menggunakan proses produksi sel itu sendiri secara alamiah. Vaksin ini mengkodekan versi protein spike tersebut dengan modifikasi yang disebut dengan 2P, di mana protein mencakup dua mutasi stabilisasi di mana asam amino asli protein tersebut diganti dengan prolin, proses ini telah dikembangkan oleh para peneliti di at the University of Texas at Austin dan the National Institute of Allergy and Infectious Diseases' Vaccine Research Center. Setelah protein dikeluarkan dari sel, akhirnya terdeteksi oleh sistem kekebalan tubuh, yang mulai menghasilkan antibodi yang manjur dan sesuai. Sistem penghantaran obat mRNA-1273 ini menggunakan sistem penghantaran obat nanopartikel lipid PEGylated / PEGylated lipid nanoparticle drug delivery  (LNP).

Efikasi
Bukti efikasi vaksin ini dimulai sekitar dua minggu setelah dosis pertama. Kemanjuran (efikasi) tinggi dicapai dengan imunisasi penuh, dua minggu setelah dosis kedua, dan dievaluasi berada pada tingkat 94,1%.

Perkiraan efikasi hampir sama di seluruh kelompok usia, jenis kelamin, kelompok ras dan etnis, dan peserta dengan komorbiditas medis yang terkait dengan risiko tinggi COVID 19 yang parah. Hanya individu berusia 18 tahun atau lebih yang diteliti. Studi sedang dilakukan untuk mengukur kemanjuran dan keamanan pada anak usia 0-11 dan 12-17.
  
Sebuah studi lebih lanjut yang dilakukan oleh CDC antara Desember 2020 dan Maret 2021, pada hampir empat ribu personel perawatan kesehatan, responden pertama, dan pekerja penting dan garis depan lainnya menyimpulkan bahwa dalam kondisi dunia nyata, efektivitas vaksin mRNA dari imunisasi lengkap (14 hari atau lebih setelah dosis kedua) adalah 90% terhadap infeksi SARS-CoV-2, terlepas dari gejalanya, sedangkan efektivitas vaksin dari imunisasi parsial (14 hari atau lebih setelah dosis pertama tetapi sebelum dosis kedua) adalah 80%.
 
Durasi (lamanya) perlindungan yang diberikan oleh vaksin tidak diketahui pada April 2021, dan studi lanjutan selama dua tahun sedang dilakukan untuk menentukan hal ini.

Keamanan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa "data dari segi keamanan menunjukkan adanya profil keamanan yang menguntungkan" dari vaksin ini, dan bahwa profil efek samping yang merugikan vaksin "tidak menunjukkan masalah keamanan yang khusus". Efek samping yang paling umum adalah nyeri di tempat suntikan, kelelahan, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), dan artralgia (nyeri sendi).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat  (CDC) telah melaporkan anafilaksis (reaksi alergi yang parah) dalam 2,5 kasus per juta dosis yang diberikan dan telah merekomendasikan periode pengamatan 15 menit setelah injeksi.  Reaksi kulit yang tertunda di tempat suntikan mengakibatkan eritema seperti ruam juga telah diamati dalam kasus yang jarang terjadi tetapi tidak dianggap serius atau kontraindikasi untuk vaksinasi berikutnya.
 
Data tentang keamanan vaksin Moderna COVID 19 untuk orang yang sedang hamil masih sedikit. Studi awal mengecualikan subyek wanita hamil dalam penelitian atau menghentikan mereka dari vaksinasi setelah tes kehamilan positif. Studi pada hewan tidak menemukan adanya masalah keamanan dan uji klinis sedang dilakukan untuk mengevaluasi keamanan dan kemanjuran vaksin COVID 19 pada orang hamil. Pengamatan dunia nyata melalui program pelacakan v-safe CDC belum menemukan jumlah yang tidak biasa dari efek samping atau hasil yang menarik.  Berdasarkan hasil studi pendahuluan, CDC AS merekomendasikan agar orang hamil divaksinasi dengan vaksin COVID 19.
  
Pada awal juli 2021 setiap kemasan vaksin dicantumkan peringatan akan dapat terjadinya efek samping inflamasi jantung langka pada beberapa individu. Pada akhir Juli 2021 pihak berwenang di Indonesia mempertimabngkan memberikan vaksin moderna untuk vaksinasi dosis ketiga bagi tenaga kesehatan sebagai langkah perlindungan dan booster karena terdapat beberapa tenaga kesehatan yang meninggal dunia dikarenakan Covid-19 walaupn telah divaksinasi 2 dosis sebelumnya.




5. VAKSIN PFIZER INCORPORATED AND BIONTECH
  • Nama Perusahaan Produsen Vaksin : Pfizer inc. dan BioNTech
  • Asal Negara Vaksin : Amerika Serikat
  • Dasar Mekanisme Kerja Vaksin : Vaksin berbasis mRNA
  • Suhu Penyimpanan optimalVaksin perlu disimpan pada suhu antara 80 dan 60 °C (−112 dan 76 °F),[52] hingga 30 hari sebelum vaksinasi yang pada saat vaksinasi dapat disimpan pada suhu 2 hingga 8 °C (36 hingga 46 °F), dan hingga dua jam setelahnya pada suhu hingga 25 °C (77 °F)   atau 30 °C (86 °F).  Pada Februari 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) memperbarui izin penggunaan darurat (Emergency Use) untuk mengizinkan botol beku vaksin yang tidak diencerkan untuk diangkut dan disimpan pada suhu antara 25 dan 15 °C (−13 dan 5 °F ) hingga dua minggu sebelum digunakan.  
  • Efikasi Vaksin :

Efikasi setelah 2 dosis berdasarkan keparahan

Sumber

Varian

Asimtomatis

Simtomatis

Rawat inap

Varian sebelum

penggolongan

92% (8895%)

94% (8798%)

87% (55100%)

Alpha

90% (8692%)

93% (9096%)

95% (7899%)

Beta

75% (7179%)

Not reported

100% (74100%)

Gamma

Belum dilaporkan

Belum dilaporkan

Belum dilaporkan

Delta

79% (7582%)

88% (7893%)

96% (8699%)




Cara pemberian vaksin : Vaksin Pfizer disuntikkan ke otot (intramuskular/IM) oleh dokter atau petugas medis di bawah pengawasan dokter.Suntikan vaksin Pfizer diberikan sebanyak 2 kali dengan jarak 21 hari. Dosis vaksin Pfizer dalam sekali suntik adalah 0,3 ml.

Efek samping yang dilaporkan :
Nyeri, kemerahan, atau bengkak di tempat bekas suntikan
Sakit kepala
Nyeri otot atau nyeri sendi 
Menggigil
Demam ringan
Mual atau merasa tidak enak badan
Bengkak di kelenjar getah bening

Vaksin COVID-19 Pfizer–BioNTech atau dengan nama generik tozinameran, dijual dengan merek dagang Comirnaty, adalah vaksin COVID-19 berbasis mRNA yang dikembangkan oleh perusahaan Jerman BioNTech. Vaksin ini diizinkan untuk digunakan pada orang berusia 12 tahun ke atas di beberapa  wilayah dan negara dan untuk orang berusia 16 tahun ke atas di wilayah yurisdiksi lainnya, vaksin ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi oleh SARS- Virus CoV-2, yang menyebabkan COVID-19. Untuk pengembangan vaksin ini, BioNTech bekerja sama dengan Pfizer, sebuah perusahaan Amerika, untuk mendukung uji klinis, logistik, dan manufaktur. Di Cina, BioNTech bermitra dengan Fosun Pharma yang berbasis di Cina untuk pengembangan, pemasaran, serta hak distribusi dan vaksin ini secara umum di wilayah tersebut dinamakan sebagai vaksin Fosun–BioNTech COVID 19. Vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular. Vaksin ini terdiri dari mRNA dengan nukleosida  termodifikasi (modRNA) yang mengkodekan bentuk mutasi dari spike protein SARS-CoV-2 dalam bentuk utuh, yang dienkapsulasi dalam suatu nanopartikel lipid. 

Uji klinis vaksin ini dimulai pada April 2020;  , pada November 2020, vaksin memasuki uji klinis Fase III, dengan lebih dari 40.000 orang yang berpartisipasi. Analisis interim dari data penelitian menunjukkan potensi kemanjuran 91,3% dalam mencegah infeksi simtomatik dalam tujuh hari dari dosis kedua.   

Vaksinasi dengan vaksin ini membutuhkan dua dosis yang diberikan dengan selang waktu tiga minggu. Efek samping yang paling umum termasuk nyeri ringan hingga sedang di tempat suntikan, kelelahan, dan sakit kepala.  Laporan efek samping yang serius, seperti reaksi alergi, sangat jarang; tidak ada komplikasi jangka panjang yang dilaporkan.  Pemantauan hasil utama dari uji coba akan berlanjut hingga Agustus 2021, sementara pemantauan hasil sekunder akan berlanjut hingga Januari 2023. Sebagai bagian dari pembaruan untuk uji klinis Fase III yang diposting pada Juni 2021, dan penilaian peningkatan kemampuan perlindungan terhadap virus (boostability) akan dipelajari untuk lebih menggambarkan perlindungan potensial yang diberikan oleh vaksin terhadap Varian yang dikhawatirkan (variants of concern) SARS-CoV-2 yang muncul di masa depan.

Vaksin ini adalah vaksin COVID-19 pertama yang disahkan oleh lembaga-lembaga otoritas regulasi yang ketat untuk dilakukan penggunaan secara darurat   dan yang pertama diizinkan untuk penggunaan reguler.  Pada bulan Desember 2020, Inggris Raya adalah negara pertama yang mengizinkan penggunaannya dalam keadaan darurat.   Vaksin Ini diizinkan untuk digunakan pada tingkat tertentu yang berbeda di 84 negara termasuk diantaranya Amerika Serikat dan Kanada, negara-negara di Uni Eropa, Inggris, Australia, Ukraina, Israel, Brasil, Bangladesh, Meksiko, Jepang, dan Singapura.

Pada 30 Maret 2021, Pfizer dan BioNTech menargetkan untuk memproduksi sekitar 2,5 miliar dosis pada tahun 2021.   BioNTech dan Pfizer memiliki perjanjian pembelian di muka sebesar sekitar US$3 miliar untuk menyediakan vaksin berlisensi di Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Jepang, Kanada, Peru, Singapura, dan Meksiko. Distribusi dan penyimpanan merupakan tantangan logistik karena vaksin perlu disimpan pada suhu yang sangat rendah.  BioNTech dan Pfizer sedang menguji versi beku-kering yang tidak memerlukan penyimpanan ultradingin.  


Efikasi

Efikasi berdasarkan derajat keparahan

sumber 1sumber 2 

Varian

Setelah dua dosis

Setelah satu dosis

Asimtomatis

Simtomatis

Opname

Asimtomatis

Simtomatis

Opname

Varian sebelumnya yang beredar

92% (8895%)

94% (8798%)

87% (55100%)

60% (5366%)

66% (5773%)

78% (6191%)

Alpha

92% (9093%)

92% (8894%)

95% (7899%)

38% (2945%)

27% (1339%)

83% (6293%)

Beta

75% (7179%)

88% (6196%)

100% (74100%)

17% (1023%)]

43% (2259%)

0% (019%)

Gamma

Belum dilaporkan

100%[

Belum dilaporkan

56% (−9 to 82%)

Delta

79% (7582%)

83% (7887%)

96% (8699%)

30% (1741%)]

33% (1547%)

94% (4699%)



Sebuah studi case-control yang diterbitkan pada Mei 2021, di The New England Journal of Medicine  menemukan bahwa, di antara penerima vaksin di Qatar, vaksin Pfizer-BioNTech memiliki efektivitas 89,5% terhadap setiap kasus varian Alpha yang didokumentasikan (garis keturunan B.1.1 .7) dan efektivitas 75% terhadap varian Beta (garis keturunan/lineage B.1.351). Studi yang sama melaporkan bahwa efektivitas vaksin terhadap penyakit parah, kritis, atau fatal terhadap varian SARS-CoV-2 adalah 97,4%. Sebuah studi yang dilakukan oleh Public Health England antara April dan Mei 2021 melaporkan bahwa vaksin tersebut memiliki tingkat efektivitas 88% terhadap varian Delta (garis keturunan B.1.617.2) dan efektivitas 93% terhadap varian Alpha.  



Efek samping
Profil efek samping vaksin Pfizer–BioNTech COVID 19 mirip dengan vaksin untuk dewasa lainnya. Selama uji klinis, efek samping yang dianggap sangat umum[a] adalah (dalam urutan frekuensi): nyeri dan bengkak di tempat suntikan, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, kedinginan, nyeri sendi, dan demam. Demam lebih sering terjadi setelah dosis kedua.

Reaksi alergi yang parah telah diamati pada sekitar sebelas kasus per juta dosis vaksin yang diberikan. Menurut sebuah laporan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, 71% dari reaksi alergi tersebut terjadi dalam waktu 15 menit setelah vaksinasi dan sebagian besar (81%) di antara orang-orang dengan riwayat alergi atau reaksi alergi yang terdokumentasi sebelumnya. Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA) menyarankan pada 9 Desember 2020 bahwa orang yang memiliki riwayat reaksi alergi "signifikan" tidak boleh menerima vaksin Pfizer–BioNTech COVID 19. Pada tanggal 12 Desember 2020, regulator Kanada mengikuti panduan ini, dengan mencatat bahwa: "Kedua individu di Inggris memiliki riwayat reaksi alergi yang parah dan membawa injektor otomatis adrenalin. Mereka berdua dirawat dan telah pulih."

European Medicines Agency (EMA) secara berkala meninjau data keamanan vaksin. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 4 Maret 2021, disimpulkan bahwa "manfaat Comirnaty (nama dagang vaksin ini) dalam mencegah COVID 19 terus lebih besar jika dibandingkan risiko apa pun yang ditimbulkan setelah pemberiannya, dan tidak ada perubahan (panduan) yang direkomendasikan terkait penggunaan vaksin ini." EMA menambahkan ruam kulit dan pruritus (gatal pada kulit) sebagai efek samping yang tidak umum (terjadi pada kurang dari 1 dari 100 orang), dan urtikaria (ruam kulit yang meningkat, merah dan gatal) dan angioedema (pembengkakan cepat di bawah kulit) sebagai efek samping yang jarang (terjadi pada lebih sedikit orang) yaitu 1 dari 1.000 orang) pada April 2021

Menurut Kementerian Kesehatan Israel ada kemungkinan adanya hubungan antara dosis kedua dengan miokarditis pada sekelompok kecil pria berusia 16-30 tahun. Antara Desember 2020 dan Mei 2021, ditemukan 275 kasus miokarditis dalam kelompok 5 juta orang yang telah divaksinasi, 95% di antaranya diklasifikasikan sebagai ringan.   Sejak April 2021, peningkatan kasus miokarditis dan perikarditis telah dilaporkan di Amerika Serikat pada sekitar 13 per 1 juta orang muda, kebanyakan laki-laki dan berusia di atas 16 tahun, setelah vaksinasi dengan vaksin Pfizer–BioNTech atau Moderna.  Kebanyakan individu yang terkena tersebut pulih dengan cepat dengan pengobatan dan istirahat yang memadai.  


Wanita hamil, anak dan individu dengan keadaan khusus
Pfizer dan BioNTech telah memulai uji coba kontrol acak (randomized control trial ) Fase II-III pada wanita hamil sehat berusia 18 tahun ke atas.   Studi ini akan mengevaluasi 30 µg BNT162b2 atau plasebo yang diberikan melalui injeksi intramuskular dalam dua dosis, dengan jarak 21 hari. Bagian Tahap Fase II dari penelitian ini akan mencakup sekitar 350 wanita hamil yang diacak 1:1 untuk menerima BNT162b2 dan plasebo pada usia kehamilan 27 hingga 34 minggu. Bagian Tahap Fase III dari penelitian ini akan menilai keamanan, tolerabilitas, dan imunogenisitas BNT162b2 dan plasebo di antara wanita hamil yang terdaftar pada usia kehamilan 24 hingga 34 minggu. Pfizer dan BioNTech mengumumkan pada 18 Februari 2021 bahwa peserta pertama menerima dosis pertama mereka dalam uji coba ini.

Sebuah penelitian yang diterbitkan pada Maret 2021, dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology sampai kepada kesimpulan bahwa vaksin messenger RNA terhadap virus corona yang baru ini, seperti vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna aman dan efektif dalam memberikan kekebalan terhadap infeksi pada ibu hamil dan menyusui. ibu. Selanjutnya, mereka juga menemukan bahwa antibodi alami yang diciptakan oleh sistem kekebalan ibu diturunkan ke anak-anak mereka melalui plasenta dan/atau ASI, sehingga menghasilkan kekebalan pasif di antara anak, yang secara efektif memberikan perlindungan anak terhadap penyakit. Studi ini juga menemukan bahwa kekebalan yang diinduksi vaksin di antara peserta penelitian lebih kuat secara signifikan ditinjau dari statistik bila dibandingkan kekebalan yang diperoleh melalui pemulihan dari infeksi COVID 19 alami. Selain itu, penelitian melaporkan bahwa kejadian dan intensitas efek samping potensial pada mereka yang menjalani kehamilan atau menyusui sangat mirip dengan yang diharapkan dari populasi tidak hamil, umumnya sangat kecil dan dapat ditoleransi dengan baik, sebagian besar termasuk nyeri di tempat suntikan, sakit kepala ringan, nyeri otot atau kelelahan untuk waktu yang singkat.

Pada Januari 2021, Pfizer mengatakan telah selesai mendaftarkan 2.259 anak berusia antara 12 dan 15 tahun untuk mempelajari keamanan dan kemanjuran vaksin.  Pada tanggal 31 Maret 2021, Pfizer dan BioNTech mengumumkan dari data uji coba Fase III awal bahwa vaksin tersebut 100% efektif untuk mereka yang berusia 12 hingga 15 tahun, dengan uji coba untuk mereka yang lebih muda masih dalam proses.

Sebuah artikel penelitian yang diterbitkan di JAMA melaporkan bahwa vaksin tampaknya aman untuk penerima transplantasi organ yang mengalami imunosupresi, tetapi respons antibodi yang dihasilkan jauh lebih buruk daripada populasi yang tidak mengalami gangguan kekebalan (imunocompromissed) setelah hanya satu dosis. Makalah ini mengakui keterbatasan hanya meninjau data setelah dosis pertama dari vaksin yang siklus aslinya terdiri dari dua dosis. 



6. VAKSIN PT BIO FARMA (Persero)
  • Nama Perusahaan Produsen : PT BIO FARMA
  • Asal Negara : Indonesia bekerjasama dengan beberapa instansi dalam negeri dan asing
  • Dasar Mekanisme Kerja Vaksin : Virus yang telah diinaktivasi, protein rekombinan, basis adenovirus
  • Suhu Penyimpanan optimal : Belum diketahui (Juli 2021)
  • Efikasi Vaksin : belum dilaporkan saat artikel ini dibuat (Juli 2021)
  • Cara pemberian vaksin : injeksi intramuskular
  • Efek samping yang dilaporkan : Belum diketahui (Juli 2021)

Vaksin ini juga dikenal dengan nama vaksin merah putih, vaksin ini dikembangkan dengan tujuan agar negara Indonesia dapat memenuhi kebutuhan vaksin dengan mandiri tanpa ketergantungan berlebihan dari impor dan pihak asing. Vaksin Merah Putih akan siap diproduksi sekitar Q3 tahun 2022. Sebelum produksi, pada 2021 vaksin tersebut akan melakukan tahapan proses uji klinis.

"Tahun ini kita akan melakukan proses uji klinis terhadap vaksin Merah Putih. Kalau semua berjalan lancar kemungkinan timeline produksinya nanti di tahun 2022," kata Direktur Utama Biofarma, Honesti Basyir. Dia mengatakan  Biofarma akan bertugas memproduksi vaksin yang dikembangkan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia tersebut. Saat ini, vaksin sedang tahap pengembangan dan Honesti mengatakan sudah menyiapkan fasilitas produksinya.

Saat ini di Bio Farma sudah ada kapasitas produksi untuk 250 juta dosis. Namun selain itu sedang disiapkan juga satu tempat produksi lainnya. Dia menjelaskan vaksin Merah Putih selain menggunakan platform inactivated sama seperti di Biofarma, ada juga dari protein rekombenan.

Menurutnya vaksin Merah Putih disiapkan saat membutuhkan vaksin yang cukup besar. Sebab vaksin yang diberikan saat ini belum diketahui berapa lama ketahanan daya imunnya.
"Oleh sebab itu pada saat membutuhkan vaksin yang cukup besar dilakukan proses produksi pada Merah Putih. Tahun 2022 mengandalkan lebih banyak vaksin Merah Putih," ungkapnya.
Soal jumlah uji klinis nanti, dia memperkirakan membutuhkan relawan berjumlah 4000-5000 subyek. Jumlah ini lebih besar saat menguji vaksin Sinovac yakni 1620 subyek, karena saat ini kebijakannya menggunakan multi Center jadi uji klinis dilakukan di sejumlah negara.
Namun untuk mendapatkan relawan uji klinis agak sulit sebab program vaksinasi di Indonesia sudah berjalan. Dia mengatakan kemungkinan akan melakukan uji klinis di luar wilayah Indonesia juga. "Untuk mencari relawan merupakan tantangan sendiri. Kita coba lakukan komunikasi ke beberapa negara tetangga terdekat, minimal di Asia Tenggara seandainya mereka mau terlibat uji klinis vaksin yang kita produksi," kata Honesti.


Kepala LPB Lembaga Biologi Molekuler (Eijkman) Amin Soebandrio menyatakan vaksin merah putih bakal menjalani uji klinis paling cepat akhir tahun 2021 dengan lama masa uji klinis selama delapan bulan. Vaksin merah putih buatan Eijkman sedang dalam proses transisi ke industri. "Diharapkan pada akhir tahun atau paling lambat awal 2022 uji klinik sudah bisa dimulai," ujar Amin dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu 16 Juni 2021.

Amin menuturkan Eijkman telah meneliti dan mengembangkan vaksin merah putih sejak April 2020. Saat ini, dia mengaku proses itu sudah lebih dari 90 persen. Selain itu, pihaknya juga telah menjalin kerjasama dengan Bio Farma untuk menerjemahkan hasil laboratorium ke industri. Lebih lanjut, Amin menyampaikan Emergency Use Authorization (EUA) / otorisasi penggunaan darurat, diharapkan bisa diperoleh setelah delapan bulan vaksin merah putih menjalani uji klinis. Dia juga menegaskan Eijkman akan terus mengawal vaksin itu hingga benar-benar digunakan.

"Lembaga Eijkman bakal terus mengawal, bahkan sampai uji klinik seterusnya," ujarnya. Di sisi lain, Amin mengatakan belum dapat memastikan berapa banyak dosis vaksin merah putih yang bisa diproduksi Bio Farma. Namun, dia menyampaikan kapasitas produksi saat ini perusahaan BUMN itu mencapai 250 juta dosis per tahun. "Rencananya Bio Farma akan mengundang beberapa perusahaan farmasi lain yang juga memiliki fasilitas cara pembuatan obat yang benar dan baik sehingga diharapkan satu atau dua perusahaan farmasi itu akan berkontribusi sekitar 100 juta dosis per tahun," ungkap Amin.

Amin menambahkan proses pembuatan vaksin merah putih di Eijkman sebenarnya tidak mengalami keterlambatan. Pasalnya, dia berkata terjadi peralihan platform dari mamalia cell ke yeast cell. Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19, Ismunandar mengatakan vaksin merah putih dalam rangka untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Vaksin itu dikembangkan berdasarkan virus yang bersirkulasi di Indonesia.

Secara lebih spesifik, Ismunandar mengatakan bahwa vaksin merah putih Eijkman berbasis protein rekombinan direncanakan mulai menjalani uji praklinik pada bulan November 2021. Selah itu dilanjutkan dengan uji klinik fase 1-3 sejak bulan Januari hingga Agustus 2022. "Diperkirakan EUA keluar September 2022," ungkap Ismunandar.

Selain Eijkman, vaksin merah putih juga dikembangkan oleh pihak lain seperti Universitas Airlangga. Vaksin berbasis inactivetd virus itu sedang uji preklinik dan diharapkan meneriam UEA pada Maret 2022. Kemudian ada vaksin merah putih buatan LIPI berbasis protein rekombinan fusi. Direncanakan mulai dilakukan pengolahan data, pelaporan, dan draft pasten pada Januari 2022.

Adapula vaksin merah putih buatan Universitas Indonesia berbasis DNA, mRNS, dan Virus-Like-Particles. Vaksin itu direncanakan mulai uji klinis pada awal tahun 2022. Lalu ada vaksin buatan ITB berbasis adenovirus dan protein rekombinan yang akan melakukan uji imunogenisitas pada akhir tahun 2021. Sedangkan vaksin buatan UGM berbasis protein rekombinan akan melakukan uji imunogenisitas pada mencit akhir tahun 2021.

Terakhir, vaksin buatan Unpad berbasis protein rekombinan dan pertida, serta IgY. Vaksin ini ditargetkan menerima EUA pada akhir 2022.


Ilustrasi vaksin covid-19

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.