Bronkiektasis

Definisi
    Bronkiektasis (Bronchiectatis) merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muscular dinding bronkus. ( Buku Ajar Patologi, edisi 7 vol. 2). Bronkiektasis diklasifikasikan dalam bronkiektasis silindris, fusiform, dan kistik atau sakular.
    Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi melalui berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang mengganggu sistem pertahanannya.
           Keadaan ini mungkin menyebar luas, atau mungkin muncul di satu atau dua tempat.

Secara khusus, bronkiektasis menyebabkan pembesaran pada bronkus yang berukuran sedang, tetapi bronkus berukuran kecil yang berada dibawahnya sering membentuk jaringan parut dan menyempit.
            Bronkiektasis adalah penyakit paru supuratif yang ditandai oleh dilatasi bronkus, pertama digambarkan Laennec pada tahun 1819. Ia menyebutkan perubahan patologi dalam dinding bronkus dan parenkim paru serta melihat bahwa kelainan ini jarang timbul dalam lobus superior. Penatalaksanaan bedah untuk bronkiektasis dimulai dengan drainase abses paru dan tindakan lain mencakup pembuangan suatu lobus, baik sebagian atau lengkap, dengan scalpel atau dengan kauter sebenarnya. Ini diikuti dengan lobektomi sebagian dan total standar untuk lobus bronkiektatik. Pemeriksaan nantinya menunjukkan bahwa reseksi segmental sering merupakan tindakan bedah terpilih.
            Bronkiektasis umumnya disebabkan infeksi paru; obstruksi bronkial; aspirasi benda asing, muntah atau benda dari saluran pernapasan atas; dan gangguan imunologis. Individu mungkin mempunyai predisposisi terhadap bronkietaksis sebagai akibat infeksi pernafasan pada masa kanak-kanaknya, campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan immunodefisiensi. Setelah pembedahan, bronkiektaksis dapat terjadi ketika pasien tidak mampu untuk batuk secara efektif, dengan akibat lender menyumbat bronchial dan mengarah pada atelektasis.

Etiologi dan Predisposisi

        Bronkiektasis biasanya didapat pada masa anak-anak. Kerusakan bronkus pada penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh infeksi. Penyebab infeksi tersering adalah H. influenzae dan P. aeruginosa. Infeksi oleh bakteri lain, seperti Klebsiela dan Staphylococcus aureus disebabkan oleh absen atau terlambatnya pemberian antibiotik pada pengobatan pneumonia. Bronkiektasis ditemukan pula pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) atau virus lainnya, seperti adenovirus atau virus influenza.
        Faktor penyebab noninfeksi yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah paparan substansi toksik, misalnya terhirupnya gas toksik (amonia, aspirasi asam dari cairan lambung, dan lain-lain). Kemungkinan adanya faktor imun yang terlibat belum diketahui dengan pasti karena bronkiektasis dapat ditemukan pula pada pasien kolitis ulseratif, reumatoid artritis, dan sindrom Sjogren.
        Bronkiektatis bisa merupakan kelainan kongenital atau akuisita. Jenis kongenital mencakup bronkiektasis dengan situs inversus dan sinusitis paranalis (sindrom Kartagener), yang ditandai oleh cacatsilia atau gerakan silia di dalam mukosa bronkus. Hipogammaglobulinemia bisa disertai dengan bronkiektasis dan dianggap sebagai faktor predisposisi dalam perkembangan pneumonia pada pasien ini dengan merendahkan respon kekebalan. Sekresi bronkus kental abnormal ditemukan dalam pasien fibrosis kistik yang menyebabkan timbulnya sumbat mukus dan dan sekrresi brochus purulenta, yang akhirnya menimbulkan bronkiektasis.
        Walaupun infeksi yang dulu menunjukkan sebab primer bronkiektasis akuisitas (pertusis, morbili, influenza, dan pneumonia bronchial), namun penyakit ini sebagian besar telah dikendalikan denagan antibiotika dan imunisasi.
        Saat ini obstruksi instriksi bronkus oleh sekresi purulenta, sumbat mukus, aspirasi, benda asing, tuberculosis, neoplasma,dan abses paru kronis merupakan penyebab yang lebih lazim. Dasar ekstrinsik dari kelenjar limfe membesar, yang menyebabkan sindrom lobus medius dan pembuluh darah anomali yang menyebabkan obstruksi bronkus telah menjadi lebih penting.

Faktor predisposisi terjadinya bronkiektasis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Kekurangan mekanisme pertahanan yang didapat atau kongenital, biasanya kelainan imunologi berupa kekurangan globulin ? atau kelainan imunitas selular atau kekurangan a-1 antitripsin.
  2. Kelainan struktur kongenital seperti fibrosis kistik, sindrom Kartagener, kekurangan kartilago bronkus, dan kifoskoliosis kongenital.
  3. Penyakit paru primer seperti tumor paru, benda asing, atau tuberkulosis paru.


Patofisiologi

Terdapat dua proses penting yang saling kait dalam patogenesis bronkiektasis, yaitu :
  • Obstruksi
  • Infeksi persisten kronis.
        Salah satu dari keduanya dapat terjadi lebih dahulu. Mekanisme pembersihan normal terhambat oleh obstruksi, sehingga segera terjadi infeksi sekunder. Sebaliknya, infeksi kronis pada saatnya menyebabkan kerusakan dinding bronkus sehingga terjadi perlemahan dan dilatasi. Pada kasus yang biasa, dapat dibiakkan beragam flora dari bronkus yang terkena, termasuk staphyloccus, streptococcus, bakteri anaerob dan ( terutama pada anak ) Haemophilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa.
        Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus.
        Reid mengklasifikasikan bronkiektasis kedalam tiga kelompok : (1) silindris, dimana bronkus yang berdilatasi mempunyai bagian regular tanpa peningkatan diameter dan berakhir mendadak; (2) varikosa dengan dilatasi lebih besar dan ketidakteraturan; tak adanya pengisian perifer dan akhir bulbosa; serta (3) sakular (kistik), yang memperlihatkan dilatasi bronkus dan ballooning, yang meningkat kearah tepi paru.
          Bronkiektasis biasanya terletak dalam segmen basal lobus inferior disertai keterlibatan lobus medius yang berhubungan atau lingula juga. Segmen superior lobus inferior biasanya bebas penyakit, karena drainase gravitasi yang adekuat. Bila segmen basal kiri sakit, lingual terlibat dalam 60 sampai 80 persen kasus; bila segmen basal kanan terlibat, maka lobus medius kana sakit dalam 45 sampai 60 persen. Bronkiektasis timbul bilateral dalam sekitar 40 persen pasien.
Manifestasi anatomi makroskopik bronkiektasis mencakup penebalan dan dilatasi dinding bronkus (kadang – kadang abses).
         Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.


Manifestasi Klinis

Gejala sering dirnulai pada saat anak-anak, 60% gejala timbul sejak pasien berusia 10 tahun. Gejala yang timbul tergantung dari luas, berat, lokasi, serta ada atau tidaknya komplikasi. Gejala tersering adalah batuk kronik dengan sputum yang banyak. Batuk dan pengeluaran sputum dialami paling sering pada pagi hari, setelah tiduran atau berbaring pada posisi yang berlawanan dengan sisi yang mengandung kelainan bronkiektasis.

Pada bronkiektasis ringan atau yang hanya mengenai satu lobus saja, mungkin tidak terdapat gejala. Kalau pun ada, biasanya batuk bersputum yang menyertai batuk-pilek selama 1-2 minggu. Komplikasi pneumonia jarang dan progresivitasnya lambat.

Pada bronkiektasis berat, pasien mengalami batuk terus-menerus dengan sputum yang banyak (200-300 ml) yang bertambah berat bila terjadi infeksi saluran napas atas. Biasanya dapat diikuti dengan demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura, dan lemah badan. Sesak napas dan sianosis timbul pada kelainan yang luas. Hemoptisis mungkin merupakan satu-satunya gejala, sebab itu bronkiektasis harus dipikirkan bila terdapat hemoptisis yang tidak jelas sebabnya.

Pada pemeriksaan fisik, yang terpenting adalah terdapat ronki basah sedang sampai kasar pada daerah yang terkena dan menetap pada pemeriksaan yang berulang. Kadang-kadang dapat ditemukan ronki kering dan bising mengi. Ditemukan perkusi yang redup dan suara napas yang melemah bila terdapat komplikasi empiema. Jari tabuh didapatkan pada 30-50% kasus. Pada kasus yang berat mungkin terdapat sianosis dan tanda kor pulmonal.

Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan radiologi
Foto toraks normal tidak menyingkirkan kemungkinan penyakit ini. Biasanya didapatkan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakan menjadi kabur, daerah yang terkena corakan tampak mengelompok, kadang-kadang ada gambaran sarang tawon serta gambaran kistik yang berdiameter sampai 2 cm dan kadang-kadang terdapat garis-garis batas permukaan udara-cairan. Pada foto dada PA dan Lateral biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakan menjadi kabur, mengelompok,kadang-kadang ada gambaran sarang tawon serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai lobus paru kiri, karena mempunyai diameter yang lebih kecil kanan dan letaknya menyilang mediastinum,segmen lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru kanan.

2. Pemeriksaan bronkografi
Bronkografi tidak rutin dikerjakan namun bila ada indikasi dimana untuk mengevaluasi penderita yang akan dioperasi yaitu penderita dengan pneumoni yang terbatas pada suatu tempat dan berulang yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat pengobatan konservatif atau penderita dengan hemoptisis yang masif. Bronkografi dilakukan setelah keadaan stabil, setalah pemberian antibiotik dan postural drainage yang adekuat sehingga bronkus bersih dari sekret.

3. Pemeriksaan laboratorium
Sputum biasanya berlapis tiga. Lapisan atas terdiri dari busa, lapisan tengah adalah sereus, dan lapisan bawah terdiri dari pus dan sel-sel rusak. Sputum yang berbau busuk menunjukkan infeksi oleh kuman anaerob. Pemeriksaan sputum meliputi Volume sputum, warna sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum. Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat, dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakan sputum dapat menghasilkan flora normal dari nasofaring, streptokokus pneumoniae, hemofilus influenza, stapilokokus aereus, klebsiela, aerobakter, proteus, pseudomonas aeroginosa.

4. Pemeriksaan Darah Tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya leukositosis menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya infeksi yang menahun.

5. Pemeriksaan Urine.
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria yang bermakna yang disebabkan oleh amiloidosis, Namun Imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal kadang bisa meningkat atau menurun.

6. Pemeriksaan EKG
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus lanjut yang sudah ada komplikasi korpulmonal atau tanda pendorongan jantung. Spirometri pada kasus ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat ada kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai insufisiensi pernafasan yang dapat mengakibatkan :


  • Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
  • Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
  • Hipoksemia
  • Hiperkapnia

Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan bronkografi dan patologi.

Penatalaksanaan


Terapi yang dilakukan bertujuan untuk:
  1. Meningkatkan pengeluaran sekret trakeobronkial. Drainase postural dan latihan fisioterapi untuk pernapasan dan batuk yang produktif, agar sekret dapat dikeluarkan secara maksimal.
  2. Mengontrol infeksi, terutama pada fase eksaserbasi akut. Pilihan antibiotik berdasarkan pemeriksaan bakteri dari sputum dan resistensinya. Sementara menunggu hasil biakan kuman, dapat diberikan antibiotik spektrum luas seperti ampisilin, kotrimoksazol, dan amoksisilin. Antibiotik diberikan sampai produksi sputum minimal dan tidak purulen. Pengobatan diperlukan untuk waktu yang lama bila infeksi paru yang diderita telah lanjut.
  3. Mengembalikan aliran udara pada saluran napas yang mengalami obstruksi. Bronkodilator diberikan selain untuk mengatasi bronkospasme, juga untuk memperbaiki drainase sekret. Alat pelembab dan nebulizer dapat dipakai untuk melembabkan sekret. Bronkoskopi kadang-kadang perlu untuk pengangkatan benda asing atau sumbatan mukus. Pasien dianjurkan untuk menghindari rangsangan bronkus dari asap rokok dan polusi udara yang tercemar berat dan mencegah pemakaian obat sedatif dan obat yang menekan refleks batuk.
Operasi hanya dilakukan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis yang jelas setelah mendapat pengobatan konservatif yang adekuat selama 1 tahun atau timbul hemoptisis yang masif. Pertimbangan operasi berdasarkan fungsi pernapasan, umur, keadaan mental, luasnya bronkiektasis, keadaan bronkus pasien lainnya, kemampuan ahli bedah, dan hasil terhadap pengobatan.


Kata Kunci Pencarian : Bronkiektasis, Jurnal Karya Tulis Ilmiah, Makalah, Artikel, Skripsi, Desertasi, Tesis, Referat, Pulmonologi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Ilmu Penyakit Dalam, Disertasi, 
Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep (asuhan keperawatan)

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.