Stenosis Mitral

 Definisi
            Mitral Stenosis (MS) adalah gangguan katup mitral yang menyebabkan penyempitan aliran darah ke ventrikel. Pasien dengan MS secara khas memiliki daun katup mitral yang menebal, komisura yang menyatu, dan korda tendineae yang menebal dan memendek. Mitral Stenosis merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada  katup mitra. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastole.
            Di negara-negara maju, insidens dari mitral stenosis telah menurun karena berkurangnya kasus demam rematik sedangkan di negara-negara yang belum berkembang cenderung meningkat. Negara berkembang, seperti Indonesia, menjadi sarang penyakit infeksi. Dengan kekerapan faringitis yang tinggi, risiko terjadinya stenosis mitral akibat penyakit jantung rematik menjadi makin tinggi. Jika dilihat dari penyebabnya, stenosis mitral dibagi atas reumatik (> 90%) dan nonreumatik. Di negara berkembang manifestasi stenosis mitral dapat terjadi pada usia tua namun sebagian terjadi pada usia di bawah 20 tahun, yang disebut Juvenile Mitral Stenosis.
           
Mitral stenosis
Gambaran Stenosis Mitral
            Untuk lebih memahami Mitral Stenosis ada baiknya kita mengulas kembali mengenai anatomi jantung secara singkat :

            Jantung merupakan organ muskular, berbentuk conus yang memanjang dari apex ke basis cordis dengan ukuran kurang lebih panjang  12 cm, lebar = 8 – 9 cm, ketebalan = 7 cm, memiliki 4 ruangan yaitu atrium dextrum et sinistrum serta ventriculus dexter et sinister.

Proyeksi Jantung
  • Tepi kiri cranial berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II sinistra, di lateral tepi sternum
  • Tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di kiri linea mediana atau 2 cm di medial linea medioclavicularis
  • Tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa III, 1 cm dari tepi lateral sternum
  • Tepi kanan caudal berada pada tepi cranial pars cartilaginis costa VI, 1 cm di lateral tepi   sternum

anatomi jantung heart anatomy mitral stenosis

Katup Jantung
  1. Katup mitral atau katup bikuspidal memisahkan antara atrium kiri dan ventrikel kiri         menyebabkan bunyi S1.
  2. Katup trikuspidal memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan menyebabkan bunyi S1.
  3. Katup aorta atau katup semilunaris aorta memisahkan ventrikel kiri dan pembuluh darah aorta menyebabkan bunyi S2.
  4. Katup pulmonal atau katup semilunaris pulmonal memisahkan ventrikel kanan dan aorta pulmonalis menyebabkan bunyi S2.


Sirkulasi Darah
Sirkulasi darah yang dipompakan oleh jantung terdiri dari :
1.                  Sirkulasi Sistemik (ke seluruh tubuh)
            Darah dari ventrikel kiri menuju aorta kemudian disirkulasikan ke arteria, arteriole dan kapiler ke seluruh tubuh dan kembali lagi ke jantung melalui sistem venula dan vena cava menuju atrium kanan.
2.                  Sirkulasi Pulmonal (ke paru-paru)
            Darah dari atrium kanan menuju ventrikel kanan kemudian melalui arteri pulmonalis   menuju paru, setelah difusi di alveoli paru, darah kembali ke jantung melalui vena pulmonalis menuju atrium kiri kemudian ventikel kiri.




Epidemiologi
            Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung kongestif di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi dari stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam rematik. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis turut berperan pada penurunan insidensi ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung. Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94% dengan penyakit katup jantung.
            Pada penelitian yang dilakukan oleh Rowe dkk (1925) terhadap 250 penderita mitral stenosis, setelah sepuluh tahun 39% penderita meninggal dunia, 22% menjadi semakin sesak dan 16% memiliki setidaknya satu manifestasi komplikasi tromboemboli. Setelah 20 tahun kemudian, 7% meninggal dunia, 8% penderita menjadi semakin sesak dan 26% memilki setidaknya satu manifestasi tromboemboli.
            Katup mitral adalah katup jantung yang paling banyak terkena pada pasien dengan penyakit jantung rematik. Perbandingan wanita dengan pria yang terkena ialah 2:1 dengan gejala biasanya timbul antara umur 20 sampai 50 tahun. Gejala dapat pula nampak sejak lahir, tetapi jarang sebagai defek tunggal. MS kongenital lebih sering sebagai bagian dari deformitas jantung kompleks pada bayi.
            Secara keseluruhan 10-years survival rate dari penderita stenosis mitral tanpa pengobatan lanjut hanya sekitar 50-60%, tergantung dari keluhan yang timbul saat itu. Tanpa tindakan pembedahan, 20-years survival rate hanya sekitar 85%. Penyebab kematian pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, yaitu:
  • Gagal jantung (60-70%),
  • Emboli sistemik (20-30%) dan emboli paru (10%),
  • Infeksi (1-5%).


Etiologi
            Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis rheumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi streptokokus. Diperkirakan 90% stenosis mitral didasarkan atas penyakit jantung reumatik. Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari systemic lupus eritematosus (SLE), deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis, rheumatoid arthritis (RA), Wipple’s disease, Fabry disease, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.
            Endokarditis rheumatika adalah kelainan radang multisistem dengan manifestasi utama pada jantung dan sekuelae, paling sering mengenai anak-anak 5 - 15 tahun. Biasanya muncul 1- 4 minggu sesudah tonsilitis atau infeksi lain oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A (ada peningkatan titer antistreptolisin ASO). Penyebab endokarditis rheumatika lebih imunologik dari pada infeksi bakterial langsung, tapi mekanismenya masih belum jelas, diduga antigen streptokok merangsang pembentukan antibodi yang juga reaktif terhadap jaringan jantung. Insidensi endokarditis rheumatika menurun di negara-negara maju seperti Amerika sedangkan insidensi cenderung meningkat di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Rheumatic Heart disease (RHD) Penyakit demam rematik kelainan jantung
Penyakit demam rematik dan kelainan jantung




Patofisiologi

            Dalam fisiologi jantung normal, katup mitral terbuka saat diastole ventrikel kiri, untuk membuat aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri. Sebuah katup mitral yang normal tidak akan menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama (ventrikel) diastole, dan tekanan di atrium kiri dan ventrikel kiri selama diastole ventrikel akan sama. Hasilnya adalah bahwa ventrikel kiri akan diisi dengan darah selama diastole ventrikel awal, dengan hanya sebagian kecil dari darah ekstra disumbangkan oleh kontraksi atrium kiri ("kick atrium") selama diastole ventrikel terlambat.
                  Stenosis mitral terjadi karena adanya fibrosis dan fusi komisura katup mitral pada waktu fase penyembuhan demam reumatik. Terbentuknya sekat jaringan ikat tanpa pengapuran mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastolik lebih kecil dari normal.
            Berkurangnya luas efektif lubang mitral menyebabkan berkurangnya daya alir katup mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri sehingga timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri waktu diastolik. Jika peningkatan tekanan ini tidak berhasil mengalirkan jumlah darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, akan terjadi bendungan pada atrium kiri dan selanjutnya akan menyebabkan bendungan vena dan kapiler paru. Bendungan ini akan menyebabkan terjadinya sembab interstisial kemudian mungkin terjadi sembab alveolar. Pecahnya vena bronkialis akan menyebabkan hemoptisis.
            Pada tahap selanjutnya tekanan arteri pulmonal akan meningkat, kemudian terjadi pelebaran ventrikel kanan dan insufisiensi pada katup trikuspid atau pulmonal. Akhimya vena-vena sistemik akan mengalami bendungan pula. Bendungan hati yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi hati.
            Kompensasi pertama tubuh untuk menaikkan curah jantung adalah takikardia. Tetapi kompensasi ini tidak selamanya menambah curah jantung karena pada tingkat tertentu akan mengurangi masa pengisian diastolik. Regangan pada otot-otot atrium dapat menyebabkan gangguan elektris sehingga terjadi fibrilasi atrium. Hal ini akan mengganggu pengisian ventrikel dari atrium dan memudahkan pembentukan trombus di atrium kiri.
            Pada stenosis mitral akibat demam rematik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan  nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole). Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium, sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.
            Pada endokarditis reumatik, daun katup dan korda akan mengalami sikatrik dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda, sehingga menimbulkan penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shape.
            Pada keadaan normal katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2, bila area orifisium katup berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal dapat terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm2. Pada tahap ini diperlukan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal.1 Peningkatan tekanan atrium kiri akan meningkatkan tekanan pada vena pulmonalis dan kapiler, sehingga bermanifestasi sebagai exertional dyspneu. seiring dengan perkembangan penyakit, peningkatan tekanan atrium kiri kronik akan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal, yang selanjutnya akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diatol, regurgitasi trikuspidal dan pulmonal sekunder dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik.
            Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis mitral. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri, terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohormonal seperti endotelin atau perubahan anatomi yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima (reactive hypertension).
            Pelebaran progresif dari atrium kiri akan memicu dua komplikasi lanjut, yaitu pembentukan trombus mural yang terjadi pada sekitar 20% penderita, dan terjadinya atrial fibrilasi yang terjadi pada sekitar 40% penderita.
            Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:
  • Minimal                 : bila area > 2,5 cm2
  • Ringan                   : bila area 1,4 - 2,5 cm2
  • Sedang                  : bila area 1 - 1,4 cm2
  • Berat                     : bila area <1,0 cm2
  • Reaktif                  : bila area <1,0 cm2

            Keluhan dan gejala stenosis mitral akan mulai muncul bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua dari normal ( < 2 - 2,5 cm2). Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada tabel berikut:

Derajat stenosis
A2-OS interval
Area
Gradien
Ringan
>110 msec
>1,5 cm2
<5 mmHg
Sedang
80-110 msec
>1 cm2-1,5 cm2
5-10 mmHg
Berat
<80 msec
<1 cm2
>10 mmHg
  A2-OS: Waktu antara penutupan katup aorta dengan pembukaan katup mitral

            Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
            Dengan adanya stenosis mitral darah akan mengalami kesulitan atau tidak dapat masuk dari atrium kiri menuju ventrikel kiri, darah ini kemudian akan tertampung di atrium kiri. Hal ini akan menyebabkan tekanan atrium kiri meningkat, bahkan dapat mengakibatkan refluks ke paru dan apabila melakukan aktivitas berat hal ini akan memperberat kongesti paru sehingga terjadi sesak nafas. Pada akhirnya akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah yang dapat mengakibatkan ekstravasasi dan memperbesar jarak alveoli dan kapiler sehingga mempersulit proses difusi. Ekstravasasi menuju ruang interpleura ini dapat mengakibatkan suara ronkhi basah pada saat pemeriksaan.
           
Manifestasi Klinis
            Sebagian besar pasien menyangkal riwayat demam rematik sebelumnya. Keluhan berkaitan dengan tingkat aktivitas fisik dan tidak hanya ditentukan oleh luasnya lubang mitral, misalnya wanita hamil. Keluhan dapat berupa takikardi, dispnea, takipnea, atau ortopnea, dan denyut jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal jantung, batuk darah, atau tromboemboli serebral maupun perifer.
            Kebanyakan penderita mitral stenosis bebas keluhan dan biasanya keluhan utama berupa sesak napas dan dapat juga berupa fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat mengalami sesak pada aktifitas sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau oedema paru.
            Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral, yaitu 30-40%. Sering terjadi pada usia yang lebih lanjut atau distensi atrium yang akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium kiri, dan hal ini tidak berhubungan dengan derajat stenosis.
            Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral seperti tromboemboli (as mentioned above), infektif endokarditis atau simtomatis karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti disfagia dan suara serak.
            Jika kontraktilitas ventrikel kanan masih baik sehingga tekanan arteri pulmonalis belum tinggi sekali, keluhan lebih mengarah pada akibat bendungan atrium kiri, vena pulmonalis,dan interstisial paru. Jika ventrikel kanan sudah tak mampu mengatasi tekanan tinggi pada arteri pulmonalis, keluhan beralih ke arah bendungan vena sistemik, terutama jika sudah terjadi insufisiensi trikuspid dengan atau tanpa fibrilasi atrium.
            Pada pemeriksaan fisik didapatkan bising mid diastolik yang bersifat kasar, bising menggerendang (rumble), aksentuasi presistolik dan mengerasnya bunyi jantung satu. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup terbuka masih relatif lemas (pliable) sehingga waktu terbuka mendadak saat diastolik menimbulkan bunyi menyentak (seperti tali putus). Jarak bunyi jantung kedua dengan snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini berarti makin berat derajat penyempitan.
            Komponen pulmonal bunyi jantung kedua dapat disertai bising sistolik karena adanya hipertensi pulmonal. Jika sudah terjadi insufisiensi pulmonal, dapat terdengar bising diastolik katup pulmonal. Penyakit penyerta bisa terjadi pada katup-katup lain, misalnya stenosis trikuspid atau insufisiensi trikuspid. Bila perlu, untuk konfirmasi hasil auskultasi dapat dilakukan pemeriksaan fonokardiografi yang dapat merekam bising tambahan yang sesuai. Pada fase lanjutan, ketika sudah terjadi bendungan interstisial dan alveolar paru, akan terdengar ronki basah atau mengi pada fase ekspirasi.
            Jika hal ini berlanjut terus dan menyebabkan gagal jantung kanan, keluhan dan tanda-tanda edema paru akan berkurang atau menghilang dan sebaliknya tanda-tanda bendungan sistemik akan menonjol (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites, dan edema tungkai). Pada fase ini biasanya tanda-tanda gagal hati akan mencolok, seperti ikterus, menurunnya protein plasma, hiperpigmentasi kulit (fasies mitral), dan sebagainya.


Diagnosis
            Sebagian besar penderita stenosis mitral menyangkal adanya riwayat demam reumatik sebelumnya.  Hal ini disebabkan karena terjadinya demem reumatik mungkin sudah terlalu lama (masa anak-anak), atau demam reumatiknya secara klinis tak memberikan keluhan yang mencolok. 
            Keluhan penderita merupakan keluhan sistemik dan dinamik yang amat berkaitan dengan tingkat aktivitas fisik dan tidak ditentukan hanya oleh luasnya lubang mitral.  Pada wanita hal ini berkaitan dengan peningkatan aktivitas tubuh, misalnya pada kehamilan.  Keluhan dapat berupa takikardi, dispneu, takipneu, atau ortopneu dan bunyi jantung tidak teratur.  Tak jarang terjadi gagal jantung, batuk darah atau tromboemboli serebral maupun perifer. Batuk darah terjadi karena rupturnya vena bronchial yang melebar, sputum dengan bercak darah pada saat serangan paroksismal nocturnal dispnea, sputum seperti karat (pink frothy) oleh karena edema paru yang jelas, infark paru, dan bronchitis kronis akibat edema mukosa bronkus. Emboli sistemik terjadi pada 10-20% pasien dengan stenosis mitral dengan distribusi 75% serebral, 33% perifer dan 6% visceral.
            Jika kontraksi ventrikel kanan masih baik sehingga tekanan arteri pulmonalis masih tinggi maka keluhan akan lebih mengarah pada akibat bendungan atrium kiri, vena pulmonal, dan interstisial paru.  Keluhan dapat berupa sesak napas pada aktivitas sehari-hari, paroksismal nocturnal dispnea, ortopnea atau edema paru.
            Jika ventrikel kanan sudah tak mampu atau tak efisien lagi untuk menimbulkan tekanan tinggi pada arteri pulmonal maka keluhan akan beralih ke arah bendungan vena sistemik, terutama jika sudah terjadi insufisiensi tricuspid, dengan atau tanpa fibrilasi atrium. Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium merupakan kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 30-40%.
            Penentuan kelas fungsional amat penting karena akan menentukan ada tidaknya indikasi pembedahan.  Yang menjadi masalah adalah adanya kesulitan karena keluhan sangat subjektif.  Oleh karena itu, penentuan kelas fungsional tidak mudah, dalam kenyataan sehari-hari kelas fungsional dapat berubah dalam waktu singkat tergantung dari pencetusnya.

Pemeriksaan Fisik
            Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising middiastolik yang bersifat kasar, bising menggenderang (rumble), aksentuasi presistolik dan bunyi jantung satu yang mengeras.  Bunyi jantung satu yang mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks bising menggenderang dapat diraba sebagai thrill. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup jantung masih relatif lemas sehingga waktu terbuka mendadak saat diastol menimbulkan bunyi yang menyentak.  Jarak bunyi jantung kedua dengan opening snap memberikan gambaran beratnya stenosis.  Makin pendek jarak ini berarti makin berat derajat penyempitannya.
            Komponen pulmonal bunyi jantung kedua dapat mengeras disertai bising sistolik karena adanya hipertensi pulmonal.  Jika sudah terjadi insufisiensi pulmonal maka dapat terdengar bising diastolik dini dari katup pulmonal.  Penyakit-penyakit penyerta yang dapat terjadi antara lain stenosis aorta, insufisiensi aorta, stenosis trikuspid, dan insufisiensi trikuspid.  Bila perlu, untuk konfirmasi hasil auskultasi dapat dilakukan pemeriksaan fonokardiografi untuk merekam bising-bising tambahan yang sesuai.  Pada fase lanjut ketika sudah terjadi bendungan interstisial dan alveolar paru maka akan terdengar ronki basah atau wheezing pada fase ekspirasi.
            Jika hal ini berlanjut terus dan menyebabkan gagal jantung kanan maka keluhan dan tanda-tanda sembab paru akan berkurang atau menghilang, sebaliknya tanda-tanda bendungan sistemik akan menonjol (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites, dan sembab tungkai).  Pada fase ini biasanya tanda-tanda gagal hati akan mencolok antara lain, ikterus, menurunnya protein plasma, hiperpigmentasi kulit (facies mitral dan sebagainya).

            Diagnosis dari mitral stenosis ditegakkan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi.

Dari anamnesis riwayat penyakit biasanya didapatkan adanya:
  • Riwayat demam rematik sebelumnya, walaupun sebagian besar penderita menyangkalnya.
  • Dyspneu d’effort.
  • Paroksismal nokturnal dispnea.
  • Aktifitas yang memicu kelelahan.
  • Hemoptisis.
  • Nyeri dada.
  • Palpitasi.


            Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan:
  • Sianosis perifer dan wajah.
  • Opening snap.
  • Diastolic rumble.
  • Distensi vena jugularis.
  • Respiratory distress.
  • Digital (fingers) clubbing.
  • Systemic embolization.
  • Tanda-tanda kegagalan jantung kanan seperti asites, hepatomegali dan oedem perifer.
  • Bising diastolic berfrekuensi rendah dan bunyi jantung pertama (sewaktu katup AV menutup) mengeras, dan timbul suara saat pembukaan daun katup (opening snap) akibat hilangnya kelenturan daun katup.

Auscultation mitral stenosis
Gambaran Auskultasi Bising Diastolik Frekuensi rendah pada Mitral Stenosis



            Dari pemeriksaan foto thoraks, didapatkan pembesaran atrium kiri serta pelebaran arteri pulmonalis, penonjolan vena pulmonalis dan tanda-tanda bendungan pada lapangan paru. Gambaran foto toraks dapat berupa aorta yang relatif kecil (pada pasien dewasa dan fase lanjut), dan pembesaran ventrikel kanan. Kadang-kadang terlihat perkapuran di daerah katup mitral atau perikardium. Pada paru-paru, terlihat tanda-tanda bendungan vena.
foto thorax stenosis mitral radiology x-ray
Gambaran Radiologi Mitral Stenosis
           
            Dari pemeriksaan EKG dapat terlihat adanya gelombang P mitral berupa takik pada gelombang P dengan gambaran QRS kompleks yang normal. Pada tahap lebih lanjut dapat terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan dan kemudian akan terlihat gambaran RS pada hantaran prekordial kanan. Pada kasus ringan, EKG mungkin hanya akan memperlihatkan gambaran P mitral berupa takik (notching) gelombang P dengan gambaran QRS yang masih normal. Pada tahap lebih lanjut, akan terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan dan kemudian akan terlihat gambaran rs atau RS pada hantaran prekordial kanan. Bila terjadi perputaran jantung karena dilatasi/hipertrofi ventrikel kanan, gambaran EKG prekordial kanan dapat menyerupai gambaran kompleks intrakaviter kanan atau infark dinding anterior (qR atau qr di V1). Pada keadaan ini, biasanya sudah terjadi regurgitasi trikuspid yang berat karena hipertensi pulmonal yang lanjut. EKG normal jika terjadi keseimbangan listrik karena stenosis katup aorta yang menyertainya. Pada stenosis mitral reumatik, sering dijumpai adanya fibrilasi/flutter atrium.
Elektrokardiografi EKG Stenosis Mitral ECG Electrocardiograph
Gambaran EKG Stenosis Mitral
           
            Ekokardiografi adalah alat diagnostic noninvasive utama yang digunakan untuk menlai keparahan stenosis mitralis. Ekokardiografi biasanya memberikan perhitungan daerah katup yang akurat. Pemeriksaan ekokardiografi M-mode dan 2D-Doppler sangat penting dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang khas, ditujukan untuk penentuan adanya reaktivasi reuma. Pada stenosis mitral gambaran karakteristik adalah penebalan dan fusi dari komisura serta struktur kordae. Akibat fusi komisural, terjadi hambatan pembukaan katup sehingga membentuk kubah (“doming”). Akibat penebalan yang diawali pada bagian ujung katup, terlihat gambaran seperti tangkai stik Hockey pada katup anterior mitral yang sedang terbuka. Proses lain terjadi kalsifikasi pada bagian katup maupun daerah subvalvar.

Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi transtorakal pada Stenosis Mitral
Gambaran Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi transtorakal pada Stenosis Mitral


            Dari pemeriksaan ekokardiografi akan memperlihatkan:
  • E-F slope mengecil dari anterior leaflets katup mitral, dengan menghilangnya  gelombang a,
  • Berkurangnya permukaan katup mitral,
  • Berubahnya pergerakan katup posterior,
  • Penebalan katup akibat fibrosis dan multiple mitral valve echo akibat kalsifikasi.





Penatalaksanaan


            Prinsip dasar penataksanaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit. Tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk pasien kelas fungsional III (NYHA) ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah dan nonbedah. Pengobatan farmakologis hanya diberikan apabila ada tanda-tanda gagal jantung, aritmia, ataupun reaktivasi reuma. Profilaksis reuma harus diberikan sampai umur 25 tahun, walaupun sudah dilakukan intervensi. Bila sesudah umur 25 tahun masih terdapat tanda-tanda reaktivasi, maka profilaksis dilanjutkan 5 tahun lagi. Pencegahan terhadap endokarditis infektif diberikan pada setiap tindakan operasi misalnya pencabutan gigi, luka dan sebagainya.
            Stenosis mitral merupakan kelainan mekanis, oleh karena itu obat-obatan hanya bersifat suportif atau simtomatis terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin, sefalosporin sering digunakan untuk demam rematik atau pencegahan endokardirtis. Obat-obatan inotropik negatif seperti ß-blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan.
            Fibrilasi atrium pada stenosis mitral muncul akibat hemodinamik yang bermakna akibat hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium.
            Antikoagulan warfarin sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli.
            Valvotomi mitral perkutan dengan balon, pertama kali diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 diterima sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur satu balon.
            Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup (komisurotomi) pertama kali diajukan oleh Brunton pada tahun 1902 dan berhasil pertama kali pada tahun 1920. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat jelas antara pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa.
Indikasi untuk dilakukannya operasi adalah sebagai berikut:
  • Stenosis sedang sampai berat, dilihat dari beratnya stenosis ( < 1,7 cm2) dan keluhan,
  • Stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal,
  • Stenosis mitral dengan resiko tinggi terhadap timbulnya emboli, seperti:

-                   Usia tua dengan fibrilasi atrium,
-                   Pernah mengalami emboli sistemik,
-                   Pembesaran yang nyata dari appendage atrium kiri.

Jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:
  1. Closed mitral commissurotomy, yaitu pada pasien tanpa komplikasi,
  2. Open commissurotomy (open mitral valvotomy), dipilih  apabila ingin dilihat dengan jelas        keadaan katup mitral dan apabila diduga adanya trombus di dalam atrium,
  3. Mitral valve replacement, biasa dilakukan apabila stenosis mitral disertai regurgitasi dan          kalsifikasi katup mitral yang jelas.
commissurotomy mitral stenosis komisurotomi


                        Sesuai dengan petunjuk dari American Collage of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi sebagai berikut:
1.                  Klas I: keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau         pengobatan itu bermanfaat dan efektif,
2.                  Klas II: keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat tentang manfaat atau efikasi dari suatu      prosedur atau pengobatan,
a.              II.a. Bukti atau pendapat lebih ke arah bermanfaat atau efektif,
b.             II.b. Kurang/tidak terdapatnya bukti  atau pendapat adanya menfaat atau efikasi.
3.                  Klas III: keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau      pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus berbahaya.

Balloon Mitral Valvuloplasty (BMV)
            Balloon mitral valvuloplasty (BMV) atau percutaneus balloon mitral valvuloplasty adalah suatu tindakan minimal invasif untuk memperlebar penyempitan katup mitral dengan melakukan dilatasi terhadap katup mitral dengan menggunakan balon. Katup mitral adalah katup yang menghubungkan atrium kiri dengan ventrikel kiri, sehingga darah akan berjalan satu arah dari atrium kiri ke ventrikel kiri kemudian ke seluruh tubuh. Penyempitan dari katup mitral (mitral stenosis) ini akan menyebabkan darah tertahan di atrium kiri yang lama lama akan mengakibatkan pembesaran atrium kiri, peningkatan tekanan di paru, peningkatan tekanan darah paru, dan akhirnya kegagalan pompa dari ventrikel kanan bila tidak ditangani dengan baik. Penyebab paling sering dari mitral stenosis adalah penyakit demam rematik, akibat dari infeksi tenggorokan karena kuman Streptococus Hemolyticus grup A yang kemudian akibat reaksi antigen-antibodi menyerang pada katup mitral. Tidak semua pasien dengan mitral stenosis dapat dilakukan tindakan BMV. Pasien akan dilakukan ekokardiografi dengan skor wilkinson untuk mengevaluasi apakah penyempitan katup mitralnya dapat diperlebar dengan tindakan BMV, dan dinilai apakah terdapat bekuan darah di dalam ruang jantung. Bila tidak memenuhi syarat, pasien biasanya akan dianjurkan untuk operasi.
Percutaneus Balloon Mitral Valvuloplasty schematic

            Tindakan BMV dilakukan dengan pembiusan / anastesi lokal di pangkal paha. Setelah akses pembuluh darah vena didapatkan, maka melalui kateter sebuah jarum Mullin dimasukkan ke atrium kanan untuk menembus sekat antara atrium kanan dan kiri. Sekat yang ditembus ini sebagai jalan masuk dari balon untuk mencapai katup mitral. Lubang sekat biasanya kecil dan tidak akan menimbulkan efek apa apa terhadap pasien. Katup mitral akan diperlebar dengan cara inflasi balon Inoue berkali-kali yang dievaluasi dengan ekokardiografi. Bila sudah dianggap cukup balon akan dikeluarkan dari tubuh.
Gambaran Tindakan BMV Balloon Mitral Valvuloplasty



Observasi Setelah Tindakan BMV

  • Observasi perdarahan dan haematoma
  • Observasi  tanda –tanda vital
  • Perubahan ekg 12 lead
  • Observasi keluhan pasien dan kondisi klinis (nyeri dada)
  • Observasi hasil laboratorium ( creatinin = gangguan ginjal karena zat kontras, ckmb =        cedera    otot jantung)
  • Observasi efek alergi kontras
  • Observasi gangguan sirkulasi perifer (pulsasi arteri dorsalis pedis, tibialis, radialis)
  • Observasi hypovolemi
  • Hidrasi sesuai kebutuhan
  • Observasi terjadi infeksi
  • Cek ACT setelah 4-6 jam setelah prosedur sebelum Aff sheet
  • Bila sheet di femoralis, imobilisasi pasien selama 6 jam setelah aff sheet baru pasien           diperbolehkan beraktifitas
  • Observasi hasil tindakan dengan ekokardiografi ulang


Penilaian skoring Wilkinson
            Penilaian mengenai sesuai tidaknya untuk dilakukan intervensi perkutan Balloon Mitral Valvuloplasty (BMV) salah satunya ditentukan dengan penilaian skor Wilkinson dengan menggunakan ekokardiografi. Parameter skoring ini meliputi penilaian dalam hal :gerakan katup, ketebalan katup, derajat kalsifikasi katup dan derajat fusi kordae katup mitral. Skor maksimal adalah 16 dengan nilai < 8 berarti angka keberhasilan BMV baik, sedangkan skor > 10 menunjukkan kemungkinan keberhasilan BMV yang kurang baik.

Di bawah ini adalah tabel yang memperlihatkan parameter penilaian skoring Wikinson dengan ekokardiografi:


1
2
3
4
Gerakan katup
Gerakan katup mobile dengan bagian ujung katup saja yg terhambat
Gerakan katup masih normal pada basal sampai dengan setengah bagian katup
Gerakan katup ke arah ventrikel saat diastolik terutama bagian basal
Tidak terdapat gerakan katup atau gerakan yang minimal saja pada saat diastolik
Ketebalan

Ketebalan katup masih normal (4-5 mm)
Penebalan ringan pada­dari tepi sampai batas bagian tengah (5-8 mm)
Penebalan menyebar ke seluruh bagian katup (5-8 mm)
Penebalan katup yang cu­kup bermakna (>8-10mm)
Kalsifikasi
Sebagian kecil bagian katup dengan ekogenisittas yang meningkat
Bagian ekogenik yang menyebar terbatas pada tepi katup
Ekogenik yang meluas ke bagian tengah katup
Ekogenik yang lebih meluas ke sebagian besar bagian katup
Fusi kordae
Penebalan pada daerah di bawah dari katup saja
Penebalan struktur kor­dae meluas ke sepertiga bagian panjang kordae
Penebalan meluas ke sepertiga distal dari kordae
Penebalan dan pemende­kan berat seluruh struktur kordae meluas ke otot papilaris

            Dari semua penyakit katup (kecuali stenosis aorta, dimana percutaneous valve replacement merupakan pilihan yang penting), pembedahan bukanlah merupakan satu-satunya terapi pada MS. Sejak diperkenalkan oleh Inoe, dkk pada 1984, PMC (Percutaneous Mitral Valve Commisurotomy) telah  berhasil  dilakukan dan aman pada banyak pasien di beberapa sentra pelayanan kesehatan dan telah dilakukan luas sebagai pilihan terapi pada pasien-pasien dengan MS dan perbaikan secara anatomis memungkinkan. Saat ini, ekokardiografi memainkan peranan yang penting dalam penjajakan beratnya MS dan anatominya sehingga kateterisasi jarang digunakan. Evaluasi MS harus menjawab 2 pertanyaan: apakah MS-nya berat dan apakah katupnya cocok untuk dilakukan tindakan PMC?

Penentuan derajat beratnya stenosis
Penilaian derajat stenosis pada kasus ini dapat didapatkan dengan penilaian anatomis maupun secara doppler.
Penilaian anatomis :
  • Meliputi penilaian pembukaan katup mitral saat fase diastolik dengan menggunakan metode pla­nimetri. Dengan mendapatkan gambaran short axis setinggi katup mitral, saat pembukaan maksimal (sepanjang fase diastolik), orificium katup mi­tral kemudian di ukur untuk mendapatkan area (cm2).
  • Hal yg perlu diperhatikan pada metode ini adalah bahwa pada kasus SM, penyempitan terutama di ujung katup sehingga saat diastolik katup mitral membentuk “liang/lorong” dengan orifisium yang terkecil terdapat pada ujung kuspisnya. Sedangkan bagian basal akan membentuk orifisium yang lebih lebar.


Penilaian dengan metode doppler:
  • Penilaian gradient tekanan yang melewati katup mitral saat fase diastol.(dalam mmHg). Penentuan tekanan ini dilakukan dengan meletakkan cursor Doppler Continuous (CW) pada daerah pembukaan katup mitral (posisi apikal 4 chamber).
  • Penilaian gradien tekanan disini adalah mean gradien (MVG) dalam mmHg. Derajat stenosis mitral dengan metode ini adalah ringan (MVG <5 mHg), sedang (MVG 5-10 mmHg), berat (MVG >10 mmHg).
  • Metode ini sekaligus dapat menentukan area katup mitral (dalam cm2) , yang didapatkan dengan memasukkan data pressure half time ke dalam formula yang ada di bawah ini

MVA= 220/PHT
*MVA = Mitral Valve Area
*PHT = Pressure Half Time
  • Berdasarkan area (cm2) , derajat stenosis adalah ringan (1,5 – 2,0 cm2), sedang (1,0-1,5 cm2) dan berat (<1,0 cm2).


Penentuan derajat berat stenosis mitral
Penilaian lebar area orifisium katup mitral, (A) adalah setinggi ujung dari katup mitral, sedangkan B-D adalah gambaran tambahan yang memperlihatkan posisi probe makin ke arah anulus mitral sehingga terlihat orifi­sium yang makin lebar.


            Penatalaksanaan pasien-pasien dengan MS berdasarkan akurasi penilaian keparahan MS. MVA (Mitral Valve Area) merupakan kriteria utama, yaitu secara klinis bermakna didefinisikan sebagai MVA 1,5 cm2.10 Beberapa pasien menggunakan ukuran tubuh untuk diukur dapat berguna; ada kesepakatan bahwa MS signifikan jika MVA < 0,9 atau 1 cm2/m2 luas permukaan tubuh. Gradien transmitral rata-rata, dilihat dari kurva velocity transmitral kurang berguna karena tergantung kepada heart rate, irama dan cardiac output, namun masih dapat digunakan sebagai indikator dan faktor penentu prognostik. MVA merupakan pengukuran non invasif  dengan ekokardiografi doppler, untuk penatalaksanaan klinis. Empat metode yang berbeda dapat digunakan: planimetri, PHT (Pressure Half Time), continuity equation dan PISA (Proximal  Isovelocity  Surface  Area).  Setiap  metode  mempunyai  kelemahan  yang spesifik.

PLANIMETRI

            Planimetri dapat memberikan gambaran anatomis adanya kebocoran katup mitral, hal ini dipertimbangkan sebagai metode yang dianjurkan dan sangat  berhubungan dengan temuan klinis. Planimetri dilakukan pada gambaran parasternal short-axis, biasanya pada ujung daun katup mitral dengan pengambilan yang baik (gambar figure 1). Prosedur ini membutuhkan operator yang berpengalaman oleh karena perubahan kecil pada kedalaman atau sudut gelombang ultrasound dapat membuat estimasi yang berlebihan dari MVA. Untuk mencegahnya, sangat penting untuk melakukannya dengan perlahan dari apex ke basal dan memilih kebocoran yang paling dalam. Planimetri tidak dapat dilakukan pada sekitar 5% pasien oleh karena poor ekokardiografi window atau kalsifikasi yang luas. Oleh karena kelemahan ini, tekonologi lainnya telah dievaluasi, yaitu ekokardiografi 3-D, CT dan MRI.

            Mitral Valve anatomy parasternal long-axis view calcification commissures mitral stenosis
               Ekokardiografi 3-D merupakan tekonologi yang baru dimana  memperlihatkan visualisasi 3 dimensi dari struktur jantung. Dengan kemajuan teknologi transduser (matrix array transducer), on-line 3-D acquisition, visualisasi dan analisis telah dapat mungkin dilakukan. Proses ini dapat membuat 3-D acquition pada semua katup mitral, dimana dapat dipotong di sepanjang tampilan yang diinginkan, sehingga dapat  memperbaiki  kelemahan  dari  2-D  ekokardiografi  (gambar  figure 2). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekokardiografi 3-D memberikan realibilitas yang lebih baik dari ekokardiografi 2-D diantara operator-operator yang kurang bepengalaman (gambar figure 3), dilihat dari akurasinya yang baik dalam memperlihatkan kebocoran pada katup mitral. Hal ini dapat dilihat sebagai indikasi potensial dari echocardiography 3-D.
  
MVA Mitral Valve Area Measurement 3D echocardiography Mitral Stenosis

Planimetry MVA mitral valve area mitral stenosis Bland-altman analysis
MSCT juga dapat memberikan 3-D acquisition pada seluruh jantung melalui siklus jantung dan multipel rekonstruksi tampilan seperti echocardiography, sehingga dapat memberikan gambaran parasternal short-axis dari lubang katup mitral pada ujung daun  katup  pada  awal  diastole  (gambar figure 4).  Baru-baru  ini  juga  diperlihatkan bahwa akurasi dan reproduksi planimetri dari lubang katup mitral dapat dilihat menggunakan scanner 16-detector-row dengan software untuk rekonstruksi jantung dan kontrast. Pengukuran MSCT berhubungan dan tidak berbeda dari echocardiography, perbedaannya adalah variabilitas kecil, intra dan interobserver yang rendah. Sebagai tambahan, gambaran CT bergantung penggunaan protokol, dimana dapat didaftar ulang pada sistem CT dan operasi manual secara bertahap untuk orientasi plane dan baru dapat diproduksi, sehingga dapat mngurangi ketergantungan operator pengukuran MSCT. Setelah training, operator yang tidak berpengalaman diminta untuk melakukan pemeriksaan sendiri dan mendapatkan hasil yang tidak begitu berbeda dengan operator yang sudah berpengalaman.
Hasil preeliminasi memperlihatkan planimetri lubang katup mitral menggunakan MRI merupakan prosedur yang feasible dan realible, di samping adanya estimasi yang berlebihan dari MVA.


parasternal views of mitral valve orifice by MSCT Mitral Stenosis


Pressure Half Time (PHT)
            PHT adalah interval waktu antara gradien maksimal awal diastole dan menunjukkan gradien yang merupakan setengah dari angka maksimal. Sejak penelitian original dari Hatle, dkk dari 32 pasien, metode PHT memberikan ekspektasi yang besar, namun memiliki validasi klinis skala besar yang terbatas. Keuntungan utama PHT adalah kesederhanaannya (MVA = 220/PHT), sehingga banyak digunakan pada praktek klinis daripada planimetri.
            Metode PHT harus dilakukan dengan perhatian, terutama pada pasien dengan usia tua atau dengan atrial fibrilasi dimana PHT dapat menjadi meningkat dari detak ke detak berikutnya. Kelemahan ini sangat penting pada negara-negara barat dimana  umur
rata-rata pasien dengan MS 2 x lebih banyak dari negara-negara berkembang dan dimana 1/3 sampai ½ pasien MS menderita atrial fibrilasi. Lebih jauh, oleh karena perubahan compliance atrioventrikular yang akut, metode PHT bereputasi invalid  setelah PMC.

CONTINUITY EQUATION

Continuity equation/persamaan berkelanjutan berdasarkan konservasi aliran darah disepanjang LVOT dan katup mitral (gambar figure 5). MVA diukur dari rasio volume aortic stroke ke TVI mitral dengan menggunakan continuous-wave doppler. Persamaan berkelanjutan lebih sederhana dalam menghitung tapi tidak valid pada AI atau MI, dimana sering berhubungan dengan MS. Sebagai tambahan, oleh karena volume  mitral dan aortic stroke dihitung dari detak yang berbeda, continuity equation haruslah hati-hati  dilakukan  pada  AF,  hasil  5-10  kali  detakan  harus  berhati-hati.  Continuity equation memberikan pengukuran yang lebih kecil dibandingkan planimetri setelah PMC.

Calculation of the Mitral Valve Area using continuity equation

PISA

            Metode PISA berdasarkan prinsip berkelanjutan dan menganggap bahwa alirandarah menuju lubang yang datar membentuk lapisan isovelocity hemisperik. Metode PISA digunakan secara rutin pada banyak laboratorium echocardiography sebagai evaluasi kuantitatif dari regurgitasi katup. Banyak penelitian telah membatasi metode PISA pada pengukuran MVA pada pasien dengan MS, pada beberapa kondisi klinis (termasuk perbedaan irama jantung dan keparahan lesi anatomis dan berhubungan dengan regurgitasi aortik atau mitral), tetapi masih digunakan sesekali pada praktek klinik.
            Sebagai hasil doming daun katup pada MS, hanyalah fraksi hemisfer yang melewati lubang dan sebuah sudut koreksi (α) yang harus dipertimbangkan (gambar figure 6). Sudut ini tidak dapat dilihat menggunakan mesin dengan built-in software dan harus diukur secara manual menggunakan protractor. Hal ini dapat dijelaskan, setidaknya sedikit, mengapa penggunaan metode PISA terbatas pada MS. Namun, sudutnya berubah hanya sedikit diantara pasien-pasien dan penggunaan sudut yang sudah tetap 1000dapat memperoleh  nilai     MVA   yang akurat pada     pasien-pasien   MS. Kesederhanaan ini harus difasilitasi dan penggunaan PISA secara luas sebagai metode alternatif dalam menilai keparahan MS pada praktek klinis.


Calculation of the Mitral Valve Area using PISA method on Mitral Stenosis

PISA colour M-mode memberikan pengukuran cepat MVA dari  diastole (gambar figure 7) dan diperlihatkan juga bahwa walaupun aliran dan kecepatan yang ditandai berubah selama diastole, MVA tidak berubah, meskipun terdapat gangguan anatomi mitral yang parah atau regurgitasi mitral.


measurement of the mitral orifice area in Mitral Stenosis by the colour M-mode flow convergence method


Indikasi PMC
Morfologi Katup Mitral
Echocardiography 2-D memperlihatkan evaluasi yang detail dari morfologi katup, termasuk ketebalan dinding dan mobilitasnya, derajat dan lokalisasi kalsifikasi dan adanya keterlibatan subvalvular (gambar figure 1). Beberapa sistem skoring telah  diajukan. Metode yang digunakan kebanyakan berkembang di massachusetts general hospital:   empat   kriteria   (pergerakan   dinding,   ketebalan   dinding,  ketebalan suvvalvular dan kalsifikasi) adalah skor pada skala 1-4 dan total skor didapatkan dari penjumlahan dari setiap komponen skor (tabel 1). Anatomi yang tidak memenuhi kriteria, didefinisikan dengan skor > 8 yang berhubungan dengan rendahnya angka keberhasilan PMC dan rendahnya survival rate. Namun, sistem skoring ini kompleks dan subjektif. Pada centre lain menggunakan metode cormier, dimana merupakan sistem skoring yang paling sederhana (tabel 2). Namun semua sistem skoring yang diajukan memiliki nilai prediksi yang rendah dan tidak ada perbandingan secara langsung diantara sistem skoring yang ada.

anatomic classification of the mitral valve wilkin's score
Anatomical classification of the mitral valve cormier's score

Timbul dan luasnya kalsifikasi merupakan prognostik yang penting dalam outcome jangka panjang, walaupun sejumlah faktor lain (seperti umur, irama jantung, kelas NYHA dan area katup) harus diambil untuk dipertimbangkan. Pasien tidak boleh tidak dilakukan PMC semata-mata berdasarkan kerusakan anatomis, sebab hasil segera dan jangka menengah yang baik dapat diperoleh dari pasien dengan anatomis yang baik walaupun mereka dengan kalsifikasi valvular.

Restenosis Setelah Commissurotomy  Sebelumnya

Restenosis dapat terjadi setelah commissurotomy akibat refusi kommisura atau rigiditas katup dengan pembukaan kommisura yang persisten (gambar figure 1). PMC tidak diperimbangkan pada kasus akhir, tapi dapat memberi hasil yang memuaskan pada pasien-pasien dengan refusi kommisura dan anatomi yang rusak – terutama pada pasien muda  dengan  atau  tanpa  kalsifikasi.  Echocardiography  3-D  dapat    memberikan penilaian yang lebih akurat dari derajat pembukaan kommisura (gambar figure 8) .

Assessment of commissural opening using echocardiography in mitral stenosis

Mitral Regurgitasi
Deteksi dan kuantifikasi derajat Mitral Regurgitasi (MR) memiliki implikasi yang penting dalam pemilihan intervensi. Derajat MR 2 dipertimbangkan kontraindikasi PMC (tabel 3). Namun, pada pasien-pasien dengan MR yang borderline, PMC lebih sering dilakukan jika anatomi katup memungkinkan.
Contraindications to percutaneus valve commissurotomy

Trombus Atrium Kiri
          Trombus atrium kiri biasanya terletak pada appendage atrium kiri. Diagnosis berdasarkan echocardiography transesofageal, dimana memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi trombus atrium kiri. Hal ini merupakan indikasi utama penggunaan echocardiography transesofageal, dimana hampir semua variabel dapat dinilai dengan echocardiography transesofageal. Echocardiography transesofageal hanya dapat dilakukan segera sebelum PMC (atau pembedahan). Walaupun faktor resiko tromboemboli penting, atrium kiri dense kontras (tidak seperti trombus atrium kiri) tidak kontraindikasi untuk PMC dan merupakan indikasi IIa pada pasien asimptomatik.

Penilaian komplikasi kasus stenosis mitral
          Stenosis mitral yang berlangsung kronis berpotensi menimbulkan hal lain seperti terbentuknya trombus dan peningkatan tekanan arterial pulmonal. Akibat peningkatan tekanan atrium kiri yang berlangsung lama, terjadi dilatasi atrium kiri dan fibrosis miokardium atrial. Kombinasi dilatasi atrial dan dilatasi apendiks atrium kiri menimbulkan stasis darah yang mengakibatkan mudahnya terbentuk trombus dai daerah tersebut. Meski tidak menutup kemungkinan timbulnya trombus di bagian lain dari atrium kiri. Stasis aliran darah tersebut akan nampak sebagai gambaran seperti kabut atau dinamakan left atrial spontaneous echo contrast (LASEC). Penilaian trombus di atrium kiri akan lebih sensitif dengan menggunakan ekokardiografi transefogeal (TEE).
          Fibrosis miokardium atrium kiri akan menjadi substrat terjadinya atrial fibrilasi. Peningkatan tekanan atrium kiri semakin lama akan menimbulkan hipertensi pulmonal sekunder . Hal ini pada kasus yang masih awal biasanya masih bisa kembali ke normal, namun pada keadaan peningkatan tekanan pulmonal yang lama dan berat akan menimbulkan kondisi yang ireversibel. Pada kasus dengan tekanan pumonal yang tinggi tidak jarang diikuti dengan regurgitasi trikuspid biasanya akibat dilatasi ventrikel kanan.

Prognosis

 Apabila timbul atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25% angka harapan hidup 10 tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46% angka harapan hidup 10 tahun). Hal ini dikarenakan angka resiko terjadinya emboli arterial secara bermakna meningkat pada atrium fibrilasi.


Daftar Pustaka/Referensi
  1. Alkatiri, Hakim dr. Bahan Kuliah Penyakit Katup Jantung. Makassar
  2. Andrus, Bruce W, MD. DHMC Cardiology Smposium.December 2002
  3. Arsyad, Aryadi dr. Bahan Kuliah Fisiologi Jantung. Makassar
  4. Departemen Cardiology and Vascular Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
  5. Dorland Dictionary
  6. Guidelines on the management of valvular heart diseases
  7. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi.Jakarta: EGC
  8. Indra Jaya, Taufik dan Ali Ghanie.2007.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:   Fakultas Kedokteran Indonesia.
  9. Lectures Notes Cardiology. Erlangga Medical Series
  10. Leman, Saharman.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia
  11. Mansyur, Arif.2003.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta
  12. Manurung Daulat.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia 
  13. Mappahya, Ali Aspar dr. Bahan Kuliah Kardiologi. Makassar
  14. Panggabean, Marulam M. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia
  15. Price, Sylvia Anderson and Lorraine Mc Carty Wilson.1995.Petofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: Penerbit EGC
  16. Utoro, Totok dr. Bahan Kuliah Kardiologi. 23 November 2007
  17. Thomas Levin, MD. West Suburban Cardiologist and The Chicagolan Heart Foundation
  18. Universitas Indonesia. Buku Ajar Kardiologi.Jakarta
  19. www.ipch.org/.../healthlibrary/cardiac/as.html
  20. www.pjnhk.go.id
  21. Feigenbaum, Harvey; Armstrong,William; Ryan,Thomas. Evaluation of systolic and diastolic function of left ventricle.In: Feigenbaum’s Echocardiography, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins 2005.
  22. Oh, Jae K; Seward, James B; Tajik AJ. Assessment of diastolic function and diastolic heart failure. In: Echo manual, The, 3rd edition,  Lippincott Williams and Wilkins 2006
  23. Iung B, Baron G, Butchart EG, et al. A prospective survey of patients with valvular heart disease in Europe: the euro heart survey on valvular heart disease. Eur Heart J 2003;24(13):1231—43.
  24. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York, 2001;  p. 1657 – 65.
  25. Madiyono B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir Milenium Kedua. In Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M et al. Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta 2001.p.3-16.
  26. Ben-Farhat M, Betbout F, Gamra H, et al. Predictors of long-term event-free survival and of freedom from restenosis after percutaneous balloon mitral commissurotomy. Am Heart J 2001;142(6):1072—9.
  27. Fawzy ME, Hegazy H, Shoukri M, et al. Long-term clinical and echocardiographycardiographic results after successful mitral balloon valvotomy and predictors of long-term outcome. Eur Heart J 2005;26(16):1647—52.
  28. Hernandez R, Banuelos C, Alfonso F, et al. Long-term clinical and echocardiographycardiographic follow-up after percutaneous mitral valvuloplasty with the Inoue balloon. Circulation 1999;99(12):1580—6.
  29. Iung B, Garbarz E, Michaud P, et al. Late results of percutaneous mitral commissurotomy in a series of 1024 patients. Analysis of late clinical deterioration: frequency, anatomic findings, and predictive factors. Circulation 1999;99(25):3272—8.
  30. Palacios IF, Sanchez PL, Harrell LC, et al.Which patients benefit from  percutaneous mitral balloon valvuloplasty? Prevalvuloplasty and postvalvuloplasty variables that predict long-term outcome. Circulation 2002;105(12):1465—71.
  31. Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, et al. ACC/AHA 2006 guidelines for the management of patients with valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (writing committee to revise the 1998 guidelines for the management of patients with valvular heart disease) developed in collaboration with the Society of Cardiovascular Anesthesiologists endorsed by the Society for Cardiovascular Angiography and Interventions and the Society of Thoracic Surgeons. J Am Coll Cardiol 2006;48(3):e1—148.
  32. Vahanian A, Baumgartner H, Bax J, et al. Guidelines on the management of valvular heart disease: the Task Force on the Management of Valvular Heart Disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2007;28(2):230—68.
  33. Faletra F, Pezzano Jr A, Fusco R, et al. Measurement of mitral valve area in mitral stenosis: four echocardiographycardiographic methods compared with direct measurement of anatomic orifices. J Am Coll Cardiol 1996;28(5):1190—7.
  34. Binder TM, Rosenhek R, Porenta G, et al. Improved assessment of mitral valve stenosis by volumetric real-time three-dimensional echocardiographycardiography. J Am Coll Cardiol 2000;36(4):1355—61.
  35. Zamorano J, Cordeiro P, Sugeng L, et al. Real-time three-dimensional echocardiographycardiography for rheumatic mitral valve stenosis evaluation: an accurate and novel approach. J Am Coll Cardiol 2004;43(11):2091—6.
  36. Messika-Zeitoun D, Brochet E, Holmin C, et al. Three-dimensional evaluation of the mitral valve area and commissural opening before and after percutaneous mitral commissurotomy in patients with mitral stenosis. Eur Heart J 2007;28(1):72—9.
  37. Messika-Zeitoun D, Serfaty JM, Laissy JP, et al. Assessment of the mitral valve area in patients with mitral stenosis by multislice computed tomography. J Am Coll Cardiol 2006;48(2):411—3.
  38. Djavidani B, Debl K, Lenhart M, et al. Planimetry of mitral valve stenosis by magnetic resonance imaging. J Am Coll Cardiol 2005;45(12):2048—53.
  39. Hatle L, Angelsen B, Tromsdal A. Noninvasive assessment of atrioventricular pressure half-time by Doppler ultrasound. Circulation 1979;60(5):1096—104.
  40. Nakatani S, Masuyama T, Kodama K, et al. Value and limitations of Doppler echocardiographycardiography in the quantification of stenotic mitral valve area: comparison of the pressure half-time and the continuity equation methods. Circulation 1988;77(1): 78—85.
  41. Thomas JD, Wilkins GT, Choong CY, et al. Inaccuracy of mitral pressure half-time immediately after percutaneous mitral valvotomy. Dependence on transmitral gradien and left atrial and ventricular compliance. Circulation 1988;78(4):980—93.
  42. Ostfeld RJ. Mitral Stenosis. In: Solomon SD. Essential Echocardiographycardiography. Humana Press: Toowa, New Jersey, 2007; p. 249 – 84.
  43. Oh JK, Seward JB, Tajik AJ. Echocardiography Manual. Second Edition. Lippincott-Raven: Philadelphia-New York, 1999; p. 113 – 19.
  44. Rodriguez L, Thomas JD, Monterroso V, et al. Validation of the proximal flow convergence method. Calculation of orifice area in patients with mitral stenosis. Circulation 1993;88(3):1157—65.
  45. Messika-Zeitoun D, Fung Yiu S, Cormier B, et al. Sequential assessment of mitral valve area during diastole using colour M-mode flow convergence analysis: new insights into mitral stenosis physiology. Eur Heart J 2003;24(13):1244—53.
  46. Vahanian A. VALVE DISEASE: Balloon valvuloplasty. Heart 2001;85;223-228.
  47. Iung B, Garbarz E, Doutrelant L, et al. Late results of percutaneous mitral commissurotomy for calcific mitral stenosis. Am J Cardiol 2000;85(11):1308—14.
  48. Shaw TR, Sutaria N, Prendergast B. Clinical and haemodynamic profiles of young, middle aged, and elderly patients with mitral stenosis undergoing mitral balloon valvotomy. Heart 2003;89(12):1430—6.
  49. Fawzy ME, HassanW, Shoukri M, et al. Immediate and long-term results of mitral balloon valvotomy for restenosis following previous surgical or balloon mitral commissurotomy. Am J Cardiol 2005;96(7):971—5.
  50. Iung B, Garbarz E, Michaud P, et al. Immediate and midterm results of repeat percutaneous mitral commissurotomy for restenosis following earlier percutaneous mitral commissurotomy. Eur Heart J 2000;21(20):1683—9.
  51. Messika-Zeitoun D, Nicoud A, Vahanian A. Images in cardiology: multiple  thrombi in the left atrium. Heart 2005;91(9): 1175.
Kata Kunci Pencarian : Stenosis Katup Mitral, Penyakit Katup Jantung, Kardiologi, Ilmu Penyakit Jantung, Referat, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Desertasi, Tesis, Jurnal, Karya Tulis Ilmiah, Makalah, Skripsi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep, asuhan keperawatan

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.