Gagal Jantung (Heart Failure)

Definisi
            Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang ditandai oleh sesak napas (dispneu) dan mudah lelah (fatigue), baik pada saat istirahat atau saat aktivitas, yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dan mengganggu kemampuan ventrikel (bilik jantung) untuk mengisi dan mengeluarkan darah ke sirkulasi, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan / atau kemampuannya hanya ada jika disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Keadaan gagal jantung ini akan mengakibatkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (sistem saraf, hormonal, ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas (Fathoni, 2007).
            Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.6

Epidemiologi
            Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia.1 Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke tidak berdarah atau infark menduduki  urutan penyebab kematian utama, yaitu sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang  terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005.3
            Peningkatan insiden penyakit jantung koroner berkaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang turut berperan dalam meningkatkan faktor risiko penyakit ini seperti kadar kolesterol lebih dari 200 mg%, HDL kurang dari 35mg%, perokok aktif dan hipertensi.2
            Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal jantung dengan sebab yang tidak diketahui sebanyak 20 – 30% kasus.3
            Prevalensi gagal jantung kronik diprediksi akan makin meningkat seiring dengan meningkatnya penyakit hipertensi, diabetes mellitus dan iskemi terutama pada populasi usia lanjut. Insiden penyakit gagal jantung makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk.Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Kasus ini meningkat 11,6 pada manula dengan usia 85 tahun ke atas.4, 16, 17, 18
            Saat ini diperkirakan hampir 5 juta penduduk di AS menderita gagal jantung,dengan 550.000 jumlah kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya. Di samping itu gagal jantung kronis juga menjadi penyebab 300.000 kematian setiap tahunnya. Lebih dari 34 milyar USD dibutuhkan setiap tahunnya untuk perawatan medis penderita gagal jantung kronis ini. Bahkan di Eropa diperkirakan membutuhkan sekitar 1% dari seluruh anggaran belanja kesehatan masyarakat.Prevalensi penyakit ini meningkat sesuai dengan usia, berkisar dari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada usia 50-70 tahun dan 10% pada usia >70 tahun.4, 16, 17, 18

Klasifikasi Gagal Jantung
          Ada berbagai klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya berdasarkan abnormalitas struktur jantung yang di susun oleh American Heart Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fingsional yang diterbitkan oleh New York Heart Association (NYHA). Diagnosis gagal jantung berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, electrocardiography, foto thorax, echocardiography Doppler, dan kateterisasi.

Berdasarkan Tingkat Keparahan Gagal Jantung

Tabel  Tingkat Keparahan Gagal Jantung
Klasifikasi menurut ACC / AHA
Klasifikasi menurut NYHA
Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak  terdapat  gangguan struktural atau fungsional jantung.
Kelas I
Pasien  dengan  penyakit  jantung  tetapi tidak  ada  pembatasan  aktivitas  fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium B
Telah terbentuk   penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal  jantung,  tidak terdapat tanda dan gejala.
Kelas II
Pasien dengan penyakit jantung dengan sedikit pembatasan aktivitas fisik. Merasa  nyaman  saat  istirahat.  Hasil aktivitas normal fisik    kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium C
Gagal jantung yang simpatomatis berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
Kelas III
Pasien dengan penyakit jantung yang terdapat pembatasan aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium D
Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun telah mendapat terapi.
Kelas IV
Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik apapun tanpa ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung dapat muncul bahkan pada saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

Berdasarkan Curah Jantung
1) Gagal jantung curah-tinggi
            Pada  pasien  dengan  gagal  jantung  curah-tinggi,  curah  jantung  tidak melebihi batas atas normal, tetapi mungkin lebih   dekat   dengan   batas atas normal. Gagal jantung curah tinggi  terlihat  pada  pasien  hipertiroidisme,  anemia,kehamilan, fistula arteriovenosa, beri-beri, dan penyakit Paget.
2 ) Gagal Jantung curah rendah
          Pada  gagal  jantung  curah-rendah,  curah  jantung  berada  dalam  batas normal pada saat istirahat, tetapi tidak mampu meningkat secara normal selama aktivitas fisik

Berdasarkan Gangguan Fungsi
1) Gagal jantung Sistolik
Gagal jantung sistolik yang utama berkaitan dengan curah jantung yang tidak adekuat dengan kelemahan, kekelahan, berkurangnya toleransi terhadap exercise, dan gejala lain dari hipoperfusi.
2) Gagal Jantung Diastolik
Gagal jantung diastolik berhubungan dengan peningkatan tekanan pengisian. Pada banyak pasien yang mempunyai hipertrofi ventrikel dan dilatasi, abnormalitas kontraksi dan relaksasi terjadi secara bersamaan.

Tabel perbedaan Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik:

Karakteristik
Gagal jantung diastolik
Gagal jantung sistolik
Ciri-ciri klinis :
Gejala (e.g dyspnea)
Ya
Ya
Status kongesti ( e.g
edema)
Ya
Ya
Aktifitas
neurohormonal
(e.g brain natriuretic peptide)
Ya
Ya
Struktur dan fungsi :
ventrikel kiri
Fraksi ejeksi
Normal
Berkurang
Massa ventrikel kiri
Bertambah
Bertambah
Ketebalan dinding relatif
Bertambah
Berkurang
End diastolic volume
Normal
Bertambah
End diastolic pressure
Bertambah
Bertambah
Ukuran atrium kiri
Bertambah
Bertambah
Latihan fisik :
Kapasitas latihan
Berkurang
Berkurang
Penambahan cardiac
output
Berkurang
Berkurang
End diastolic pressure
Bertambah
Bertambah

Berdasarkan letak

1) Gagal jantung kanan
            Gagal jantung kanan terjadi Jika abnormalitas yang mendasari mengenai ventrikel kanan secara primer seperti stenosis katup paru atau hipertensi paru sekunder terhadap tromboembolisme paru sehingga terjadi kongesti vena sistemik

2) Gagal jantung kiri
            Pada gagal jantung kiri, ventrikel kiri secara mekanis mengalami kelebihan beban atau melemah, mengalami dispnea dan ortopnea akibat dari kongesti paru.

Pedoman Pengobatan Gagal Jantung
            Pedoman pengobatan gagal jantung di terbitkan sebagai acuan untuk para dokter dan tenaga kesehatan professional dalam memberikan terapi kepada pasien gagal jantung.
            ESC telah menyusun pedoman pengobatan gagal jantung dalam berbagai tingkat rekomendasi (class) dan tingkat kepercayaan (evidence) seperti yang ditunjukkan dalam 2 tabel di bawah ini

Tabel  : Tingkat Rekomendasi:
Tingkatan Rekomendasi
Definisi
Saran Penggunaan
Kelas I
Pengobatan/prosedur
memberikan manfaat dan
efektif
Direkomendasikan
Kelas II
Adanya bukti masih
kontroversial

Kelas IIa
Bukti cenderung bermanfaat
Seharusnya
dipertimbangkan
Kelas IIb
Khasiat kurang memberikan bukti
Dapat dipertimbangkan
Kelas III
Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya
Tidak
direkomendasikan
bahkan berbahaya

Tabel  : Tingkat Evidence:
Level A
Data berasal dari beberapa uji klinis acak, dan metaanalisis
Level B
Data berasal dari uji klinis acak atau studi nonrandomised
Level C
Konsensus, pendapat dari para ahli dan / atau penelitian kecil


            Obat-obatan  yang  digunakan  dalam  pengobatan  pasien  gagal  jantung adalah Diuretik, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor), Beta blocker, antagonis aldosteron, Angiotensin Receptor Blocker (ARB), dan digoksin, dapat pula dipikirkan pemberian nitrat untuk menurunkan preload jantung atau hydralazine untuk menurunkan afterload jantung. Selain terapi farmakologik,, dapat pula diberikan terapi dengan alat-alat seperti  Implantable  Cardioverter Defibrillator  (ICD)  pada  gagal  jantung simptomatis NYHA kelas II-III dengan EF ≤35%; dan Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) bila didapatkan pemanjangan gelombang QRS ≥150 ms.

Kriteria gagal jantung menurut  Framingham

Kriteria mayor
  1. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
  2. Peningkatan tekanan vena jugularis
  3. Ronki basah tidak nyaring
  4. Kardiomegali
  5. Edema paru akut
  6. Irama derap S3
  7. Peningkatan tekanan vena > 16 cm H20
  8. Refluks hepatojugular


Kriteria minor
  1. Edema pergelangan kaki
  2. Batuk malam hari
  3. Dyspneu d’effort
  4. Hepatomegali
  5. Efusi pleura
  6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
  7. Takikardi (> 120 x/menit)


Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi.

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan.

Etiologi 
            Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).7
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
  1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
  2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
  3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
  4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
  5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
  6. Kelainan kongenital jantung.


Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus


  • Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral, dan penyakit perikardial.
  • Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.



            Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.7
            Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka kejadiannya semakin meningkat.
            Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic, meningkatkan risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.7
            Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati peripartum menyebabkan gagal jantung akut.7,8
            Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung reumatik. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban akhir).9
            Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.9
            Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.9

Patofisiologi 
            Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab gagal jantung.
            Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi jantung yang tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau hanya menurun sedikit.
            Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada gambar di bawah.        Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin.
            Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.

Patofisiologi Gagal Jantung
Patofisiologi Gagal Jantung
Dikutip dari: Mann DL4



Mekanisme Neurohormonal
            Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi. 1,4,8
            Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung  dapat dilihat pada Gambar di bawah.
            Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

A.    Sistem Saraf Adrenergik
            Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1
Norepinefrin dapat  meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi maladaptasi.1
            Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama.1
Mekanisme Aktivasi Sistem Syarat simpatik parasimpatik pada gagal jantung
Keterangan: Ach=asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.

Gambar Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung.
                   Dikutip dari : Floras JS10



B.     Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
            Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar di bawah. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1
Renin Angiotensin Aldosterone System Heart Failure
Gambar Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Dikutip dari: Weber KT dkk.11



            Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron.1
            Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1

C.    Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO.1,5

D.    Bradikinin
            Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.1,5

Remodeling Ventrikel Kiri
            Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. 1,5 Proses remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3. Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik  yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik.1
            Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma dimana hal  ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung menurun.1,5
            Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran.1,5
            Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.1,5
            Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.1,5

 
Remodelling Jantung karena respon terhadap hemodinamik berlebih
Gambar Pola Remodelling Jantung yang terjadi karena respon terhadap hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ12


GAGAL JANTUNG KRONIS

            Pasien gagal jantung biasanya datang dalam keadaan sudah kronis, dengan keluhan yang dirasakan bertambah berat sehingga pasien datang ke dokter. Untuk menegakkan diagnosis pasien dengan gagal jantung kronis, perlu penggalian anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, juga didukung dengan pemeriksaan penunjang dari yang sederhana sampai pemeriksaan teknologi terkini, diharapkan dengan demikian akan  terwujud penatalaksanaan gagal jantung kronis yang optimal.
            Kemampuan fungsional penderita dengan gagal jantung didapat melalui anamnesa yang cermat, atau jika memungkinkan melalui test saat aktivitas. Analisis udara ekspirasi saat beraktivitas adalah pemeriksaan gold-standard untuk mengukur keterbatasan fisik seseorang. Test ini tidak umum dilakukan diluar senter-senter transplantasi jantung. Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional NYHA mengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa, klasifikasi ini dapat dilihat pada tabel dibawah.
            Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus meter tanpa gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal jantung kelas II, sementara pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan saat menaiki beberapa anak tangga dapat dimasukkan kedalam kelas III. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA tidak dapat dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA yang sebelumnya dibahas. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional, sementara stadium gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas dari status fungsionalnya.

Tabel Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural dan kerusakan otot jantung.
Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan aktivitas fisik.
Stage A
Memiliki risiko tinggi mengembangkan gagal jantung. Tidak ditemukan kelainan struktural atau fungsional, tidak terdapat tanda/gejala.
Kelas I
Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas yang umum dilakukan tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.
Stage B
Secara struktural terdapat kelainan jantung yang dihubungkan dengan gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala gagal jantung.
Kelas II
Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas fisik yang umum dilakukan mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Stage C
Gagal jantung bergejala dengan kelainan struktural jantung.
Kelas III
Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak nafas.
Stage D
Secara struktural jantung telah mengalami kelainan berat, gejala gagal jantung terasa saat istirahat walau telah mendapatkan pengobatan.
Kelas IV
Tidak dapat beraktivitas tanpa menimbulkan keluhan. Saat istirahat bergejala. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan bertambah berat.

Dikutip dari: Mann DL4

Diagnosis Gagal Jantung Kronis

Tanda Dan Gejala
            Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail.1

Anamnesa
            Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah.1,5 Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.1

Orthopnu Dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
            Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1 Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.1
            Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya.5

Edema Pulmoner Akut
            Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan.5

Respirasi Cheyne Stokes
            Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas sesaat.5

Gejala Lainnya
            Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat memperberat keluhan insomnia.5
            Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin berkurang dengan pengobatan jantung.1 Pada tabel dibawah ini menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut. Walau orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala tersebut tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung tidak memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat sangat spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.

Tabel   Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306 pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.

Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Sensitivitas (%)
Spesifitas (%)
(+) Predictive Value (%)
Anamnesa



  • Mudah sesak
66
52
23
  • Orthopnea
21
81
2
  • Nocturnal dyspnea
33
76
26
  • Riwayat bengkak
23
80
22
Pemeriksaan Fisik



  • Takikardi
7
99
6
  • Ronkhi
13
99
6
  • Edema
10
93
3
  • Ventricular gallop (S3)
31
95
61
  • Distensi Vena Jugularis
10
97
2
Thorax Foto (Chest X-Ray)



  • Cardiomegaly
62
67
32
Anamnesa
66
52
23
  • Mudah sesak
21
81
2
  • Orthopnea
33
76
26
  • Nocturnal dyspnea
23
80
22

Dikutip dari: Harlan WR dkk.13

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
            Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel di bawah.
Tabel Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Dikutip dari: Mann DL4

Pemeriksaan Fisik

            Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.4

Keadaan Umum Dan Tanda Vital
            Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.5

Pemeriksaan Vena Jugularis Dan Leher
            Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.4

Pemeriksaan Paru
            Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.4

Pemeriksaan Jantung
            Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.1
            Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.4

Pemeriksaan Abdomen Dan Ekstremitas
            Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.4
            Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.4
            Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi,  dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang bertambah.4

Kakeksia Kardiak
            Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk.4


Test Diagnostik Pada Gagal Jantung Kronis

            Seperti yang dapat dilihat pada tabel  sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan klinis baik pada anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam mendiagnosa gagal jantung relatif rendah. Karenanya pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam mendiagnosa gagal jantung. Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang antara lain : (1) menentukan apakah terdapat kelainan jantung baik struktural atau fungsional yang dapat menjelaskan gejala pasien, (2) mengidentifikasi kelainan yang dapat diatasi oleh intervensi spesifik, dan (3) menentukan berat dan prognosis gagal jantung.4

Pemeriksaan Laboratorium

            Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang, namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4
            Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung.  
            Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas fungsionalnya.1

Chronic Heart Failure and Brain Natriuretic Peptide
Gambar Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung menurut kelas fungsionalnya. Dikutip dari: Maisel AS dkk.1



            Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.4
            Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.4
            Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.4

Pemeriksaan Foto Toraks
            Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden. 4
                Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan.3  Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel di bawah.

Tabel  Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis
Kelainan
Penyebab
Implikasi Klinis
Kardiomegali
Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atria, efusi perikard
Ekhokardiografi, doppler
Hipertropi ventrikel
Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertropi
Ekhokardiografi, doppler
Kongesti vena paru
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
Edema interstisial
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
Efusi pleura
Gagal jantung dengan peningkatan pengisian tekanan jika ditemukan bilateral, infeksi paru, keganasan
Pikirkan diagnosis non kardiak
Garis Kerley B
Peningkatan tekanan limfatik
Mitral stenosis atau gagal jantung kronis
Dikutip dari : Mann DL dkk. 4

Elektrokardiogram
            Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien yang dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.1 Temuan EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24- atau 48- jam.4


Pemeriksaan Uji Latih Beban Jantung
            Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki keterbatasan dalam diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil yang normal pada pasien yang tidak mendapat terapi hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai pemeriksaan ini adalah dalam penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi prognosis. Kapasitas fungsional ditentukan melalui aktivitas yang secara progresif ditingkatkan hingga pasien tidak dapat meneruskan. Pada saat aktivitas maksimal, uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX) dapat dihitung. Parameter ini mencerminkan kemampuan aerobik pasien dan berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan gagal jantung.1, Pemeriksaan ini juga memungkinkan untuk menentukan ambang batas metabolisme anaerob, yaitu titik dimana metabolisme pasien beralih dari aerob ke anaerob, yang menghasilkan laktat berlebih. Secara praktis prinsip perhitungannya ULJB dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat lagi saat intensitas latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan karena timbulnya gejala berat seperti sesak atau letih. Hasil dari ULBJ memiliki arti prognostik yang penting. Puncak Vo2 <10 ml/kg/menit dikategorikan sebagai pasien berisiko tinggi, >18 ml/kg/menit adalah pasien berisiko ringan. Nilai diantaranya adalah zona abu-abu dengan risiko sedang. Data prognostik untuk puncak Vo2 pada wanita masih terbatas. Nilai Vo2 max digunakan sebagai batasan untuk menentukan kapan pasien dengan gagal jantung yang progresif harus dipertimbangkan untuk menjalani transplantasi jantung. Walau demikian harus tetap diingat bahwa puncak Vo2 max dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, dan status pelatihan aerobik. Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa pasien dengan Vo2 max yang rendah (<14 ml/kg/menit) masih tetap memiliki prognosis yang cukup baik.  Karena hal tersebut beberapa peneliti telah mengusulkan angka prediksi persentase Vo2 dibandingkan nilai absolut Vo2 max.1
            Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki kemampuan latihan yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak pasien, latihan submaksimal atau symptom-driven exercise test yang dikenal dengan 6-minutes walking test menjadi popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur jarak yang dapat ditempuh dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana pasien dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih pelan, lebih cepat, atau berhenti. Test ini memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan faktor independen yang berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Karena kemudahan-nya, test ini semakin sering digunakan pada uji klinis multisenter untuk menilai efektivitas suatu terapi.

Echocardiography
            Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiac motion analysis.4
            Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel di bawah mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal jantung.

Tabel  Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
TEMUAN UMUM
DISFUNGSI SISTOLIK
DISFUNGSI DIASTOLIK
  • Ukuran dan bentuk ventrikel
  • Ejeksi fraksi ventikel kiri (LVEF)
  • Gerakan regional dinding jantung, synchronisitas kontraksi ventrikular
  • Remodelling LV (konsentrik vs eksentrik)
  • Hipertrofi ventrikel kiri atau kanan (Disfunfsi Diastolik : hipertensi, COPD, kelainan katup)
  • Morfologi dan beratnya kelainan katup
  • Mitral inflow dan aortic outflow; gradien tekanan ventrikel kanan
  • Status cardiac output (rendah/tinggi)
  • Ejeksi fraksi ventrikel kiri berkurang <45%
  • Ventrikel kiri membesar
  • Dinding ventrikel kiri tipis
  • Remodelling eksentrik ventrikel kiri
  • Regurgitasi ringan-sedang katup mitral*
  • Hipertensi pulmonal*
  • Pengisian mitral berkurang*
  • Tanda-tanda meningkatnya tekanan pengisian ventrikel*
  • Ejeksi fraksi ventrikel kiri normal > 45-50%
  • Ukuran ventrikel kiri normal
  • Dinding ventrikel kiri tebal, atrium kiri berdilatasi
  • Remodelling eksentrik ventrikel kiri.
  • Tidak ada mitral regurgitasi, jika ada minimal.
  • Hipertensi pulmonal*
  • Pola pengisian mitral abnormal.*
  • Terdapat tanda-tanda tekanan pengisian meningkat.

Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
Dikutip dari:  Mann DL4


Penatalaksanaan Gagal Jantung Kronis

Tujuan Manajemen Terapi Gagal Jantung Kronis
            Tujuan dalam mendiagnosa gagal jantung dan memberi terapi dini tidak berbeda dengan kondisi kronis lainnya, yaitu menurunkan mortalitas dan morbiditas. Karena angka kematian tahunan gagal jantung sangatlah tinggi, penekanan pada end-point ini menjadi goal pada banyak tujuan uji klinis. Walau demikian pada kebanyakan pasien, terutama orang tua, kemampuan untuk hidup mandiri, terbebas dari gejala mengganggu yang tidak nyaman, dan menghindari perawatan adalah tujuan yang seringkali seiring dengan keinginan untuk meningkatkan usia harapan hidup. Upaya untuk mencegah timbulnya gagal jantung atau progresinya tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen terapi. Banyak uji klinis acak gagal jantung mengevaluasi pasien dengan disfungsi sistolik dengan LVEF 35-40%. Patokan LVEF <40% ini relatif arbitrary, dan terdapat bukti yang terbatas bahwa gagal jantung dapat simtomatik pada antara LVEF 40-50%. 15
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pengobatan gagal jantung antara lain :
a)      Menurunkan mortalitas
b)      Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
c)  Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard, remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi cairan, dan perawatan di rumah sakit.

Algoritma Tatalaksana Gagal Jantung Kronis
Penatalaksanaan gagal jantung kronis yang dapat dipakai dapat dilihat pada skema tata laksana gagal jantung kronik pada gambar di bawah.

Chronic Heart Failure Management Algorithm
Gambar Algoritma yang dapat dijadikan acuan pada penatalaksanaan gagal jantung kronis. Dikutip dari:Dickstein dkk15



Terapi NonFarmakologis

Perawatan Mandiri (Self Care)
            Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih. Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri yang perlu dibahas antara lain dapat dilihat pada Tabel di bawah.15

Tabel Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal Jantung.
Topik Edukasi
Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi gagal jantung
Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi farmakologik
Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko
Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet
Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga
Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan
mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis
Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan membuat keputusan realistik
Dikutip dari: Dickstein dkk15


Terapi Farmakologis
            Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan  meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik.1

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
            Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang rawat. Dosis awal ACEI dengan target pada tdosis dapat dilihat pada Tabel di bawah.  KELAS REKOMENDASI I, TINGKAT BUKTI A.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
  • LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
  • Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
  • Riwayat adanya angioedema
  • Stenosis bilateral arteri renalis
  • Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
  • Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
  • Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :
  • Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
  • Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
  • Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
  • Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.


Heart Failure Drugs Initial and Target Dosage
Tabel Obat -obat  Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis yang diinginkan
Dikutip dari: Dickstein dkk.15



Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :
  • Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan. Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.
  • Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L, turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.
  • Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-blocker/antagonis aldosteron). Hipotensi asimtomatik tidak memerlukan intervensi.

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
            Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,  ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
            Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14
            Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung. Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI.14

Pasien yang harus mendapatkan ARB :
  • Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
  • Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
  • Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan beta blocker.

Memulai pemberian ARB:
  • Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
  • Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
  • Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.

β-blocker / Penghambat Sekat-β
            Alasan penggunaan beta blocker (BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi gagal jantung.
            Beta blocker dapat mengurangi angka kematian (mortality rate) dikarenakan pada pasien gagal jantung, transduksi sinyal beta-adrenergik akan mengalami penurunan, potensinya hilang hingga 50-60%. Terapi penyekat beta (beta blocker) membantu mengembalikan sebagian efikasi pengiriman sinyal adrenergik tersebut. Sehingga, terapi penyekat beta jangka panjang memberikan perbaikan pada parameter selular, hemodinamika dan klinis (menurunkan mortalitas dan morbiditas).
        Pasien dapat dengan kontraindikasi atau tidak dapat ditoleransi, sehingga beta blocker (BB) harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB meningkatkan fungsi ventrikel dan memperbaiki keadaan pasien, serta mengurangi kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.

Manfaat beta blocker dalam gagal jantung melalui:
  • Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga memperbaiki perfusi miokard.
  • Meningkatkan LVEF
  • Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal


Pasien yang harus mendapat BB:
  • LVEF < 40%
  • Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
  • Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika diindikasikan).
  • Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis). Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada pasien yang baru saja masuk rawat karena GAGAL JANTUNG AKUT, selama pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.

Kontraindikasi :
  • Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
  • AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :
  • Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg, metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.
  • Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :
  • Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB (peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih (<50x/menit).
  • Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

Dosis beta blocker pasien gagal jantung luar negeri terkadang tidak cocok dengan pasien Indonesia, prinsip terapi penyekat beta sebaiknya diawali dengan dosis paling rendah dan dilakukan up titration setiap dua hingga empat minggu sesuai dengan toleransi pasien (mulai rendah dan mulai perlahan)
Jadi mulai dulu dengan dosis awal (rendah), kemudian ditingkatkan terus sampai batas dosis yang dapat ditoleransi pasien. Targetnya adalah dosis sesuai uji klinis di jurnal luar (dosis target), tapi jika baru setengah dosis target efek samping yang tidak menyenangkan sudah muncul, turunkan dosisnya ke dosis sebelumnya saat efek samping belum muncul.

Penyekat Beta
Dosis Awal
Dosis Target
Bisoprolol
1,25 OD
10 OD
Carvedilol
3,125 BID
25 BID
Metoprolol Suksinat (CR/XL)
12,5-25 OD
200 OD
Nebivolol
1,25 OD
10 OD


Diuretik
            Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai tanda dan gejala kongesti. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
            Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung. Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat. Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipanantau secara berkala.14
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
           
  • Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.
  • Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.
  • Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
  • Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
  • Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
  • Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat dilihat pada tabel di bawah.
  • Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin. Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada tabel kedua di bawah.
  • Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien.

Diuretics given to Heart Failure
Tabel  Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya
Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas.
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diuretic
Dikutip dari: Dickstein dkk.15




Long term Diuretic therapy on Chronic Heart Failure

Tabel Keadaan yang mungkin terjadi pada pemberian diuretik jangka panjang, dan tindakan yang disarankan. Dikutip dari: Dickstein dkk.15


Antagonis Aldosteron
            Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk  dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
  • LVEF < 35%
  • Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
  • Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
  • Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
  • Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide Dinitrat
            Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron Antagonis. Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat :
·         Mengurangi risiko kematian.9
·         Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.
·         Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis adalah :
  • Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
  • Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi.
  • Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-amerika.
Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :
  • Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.
  • Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan bila terdapat hipotensi simtomatik.
  • Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.
Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :
  • Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu, pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi (kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak membutuhkan intervensi.
  • Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam – pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA), jangan teruskan H-ISDN.

Glikosida Jantung (Digoxin)
            Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan darah. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
            Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%, terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka mortalitas. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.
            Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
  • Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi ventrikel kiri.
  • Menstimulasi baroreseptor jantung
  • Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
  • Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal tone.
  • Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
  • Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta blocker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.

Antikoagulan (Antagonis Vitamin K)
            Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A
            Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme  sistemik. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Temuan yang perlu diingat :
  • Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
  • Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
  • Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada mereka yang memiliki katup prostetik.
  • Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.

Tatalaksana Gagal Jantung Kronis Dengan Fungsi Sistolik Baik
            Pada pasien dengan fungsi sistolik baik (heart failure with preserved ejection fraction) hingga kini masih belum terdapat terapi yang secara meyakinkan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Diuretik dapat digunakan untuk mengontraol retensi natrium dan cairan dan mengurangi keluhan mudah sesak dan edema. Terapi yang adekuat untuk mengontrol tekanan darah dan respon ventrikel pada atrial fibrilasi juga dianggap penting.  Pada dua uji klinis skala kecil (melibatakan 30 orang), telah ditunjukkan bahwa pasien dengan kontrol heart rate dengan CCB Verapamil dapat memperbaiki kemampuan saat latihan dan gejala pada banyak pasien dengan disfungsi diastolik.

Tindakan Operatif  / Prosedur Pada Gagal Jantung Kronis
Pada gagal jantung kronis simtomatik, kondisi yang dapat dikoreksi melalui tindakan operatif harus dideteksi dan dikoreksi jika diindikasikan.

Revaskularisasi Koroner Pada Pasien Gagal Jantung
            Penyakit jantung koroner (PJK) adalah menyebab paling umum gagal jantung dan kondisi ini terdapat pada 60-70% pasien dengan gagal jantung dan penurunan LVEF. Pada disfungsi diastolik, penyakit jantung koroner lebih sedikit menjadi penyebab gagal jantung, namun masih tetap dapat terdeteksi pada setengah pasien dengan disfungsi diastolik. Etiologi iskemia dihubungkan dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.
            Baik coronary artery bypass grafting (CABG) dan percutaneus coronary intervention (PCI) harus dipertimbangkan pada pasein gagal jantung tertentu dengan PJK. Pilihan mengenai metode revaskularisasi harus didasarkan pada evaluasi cermat komorbiditas, risiko tindakan, anatomi koroner, bukti mengenai seberapa besar miokardium yang masih viable pada area yang akan di revaskularisasi, fungsi ventrikel kiri dan keberadaan penyakit valvular yang secara hemodinamik signifikan haruslah diperhatikan.
            Saat ini tidak terdapat data dari uji klinis multisenter yang mempelajari nilai dari tindakan revaskularisasi untuk mengurangi gejala gagal jantung. Walau demikian, penelitian observasional dari suatu senter mengenai gagal jantung dengan penyebab iskemik menemukan bahwa revaskularisasi dapat mengarah pada perbaikan gejala dan berpotensi memperbaiki fungsi jantung. Saat ini terdapat beberapa uji klinis yang mencoba mencari tahu dampak intervensi secara klinis.
Evaluasi Penyakit Jantung Koroner pada Gagal Jantung Kronis
            Angiografi koroner tidak direkomendasikan pada pasien dengan risiko rendah PJK. Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan berdasar pada hasil pemeriksaan non-invasif sebelumnya (Treadmill Test, Stress Echo, Stress Perfusi Nuklir).

Angiografi Koroner
            Direkomendasikan pada pasien dengan risiko tinggi PJK tanpa kontraindikasi untuk memastikan diagnosis dan merencanakan strategi terapi. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
            Direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan bukti temuan kelainan valvular yang signifikan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
            Harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung yang mengalami gejala angina walau sudah diberikan terapi farmakologis yang optimal. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C

Deteksi Viabilitas Miokardium
            Karena miokardium viable dapat menjadi target revaskularisasi, deteksinya harus dipikirkan pada work-up diagnostik pasien gagal jantung dengan PJK. Beberapa modalitas dengan akurasi diagnostik yang tak jauh berbeda dapat digunakan untuk mendeteksi miokardium yang fungsinya terganggu namun masih dapat diselamatkan (viable). Karenanya pemeriksaan dengan menggunakan dobutamine stress echo, pencitraan nuklir dengan Single Positron Emission Computed Tomography (SPECT) dan/atau dengan Positron Emission Tomography (PET), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan dobutamin dan/atau kontrast, Computed Tomography (CT) dengan kontras dapat digunakan untuk mendeteksi miokardium yang viable. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C

Operasi Katup
            Penyakit katup jantung atau valvular heart disesase (VHD) dapat menjadi penyebab yang mendasari gagal jantung, atau menjadi faktor yang memperburuk gagal jantung yang membutuhkan mangemen terapi spesifik.
            Guideline ESC mengenai VHD dapat diterapkan pada hampir semua pasien dengan gagal jantung. Walau penurunanLVEF merupkan faktor risiko yang penting untuk kematian peri- dan post- operatif yang penting, tindakan operatif tetap dapat dipertimbangkan .9
            Manajemen optimal gagal jantung dan kondisi ko-morbid sebelum operasi sangatlah penting. Operasi darurat harus dihindari sebisa mungkin.
            Rekomendasi spesifik mengenai operasi untuk pasien VHD dengan gagal jantung sulit untuk disediakan, sehingga keputusan harus didasarkan pada penilaian klinis dan echocardiografi yang seksama dengan memperhatikan komorbidatas kardivaskular dan non-kardiovaskular yang ada.
            Keputusan untuk melakukan operasi untuk kelainan katup dengan hemodinamik yang signifikan seperti stenosis aorta, regurgitasi aorta, atau regurgitasi mitral membutuhkan pertimbangan dari segi motivasi pasien, usai pasien, dan profil risiko.

Stenosis Aorta (AS)
            Terapi medis pada stenosis katup aorta dalam hal ini yang berkaitan dengan gagal jantung harus dioptimalkan, namun tidak boleh menunda keputusan mengenai operasi katup. Vasodilator seperti ACEI, ARB, dan nitrat dapat mengakibatkan hipotensi yang substansial pada pasien dengan stenosis aorta berat, dan karenanya harus digunakan secara berhati-hati.
            Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien yang memenuhi syarat dengan gagal jantung yang bergejala dan stenosis aorta berat. Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C
            Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien asimtomatik dengan stenosis aorta berat dan penurunan fungsi LVED (<50%). Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C
            Tindakan operatif dapat dipertimbangkan pada pasien dengan area katup aorta yang jauh berkurang dan disfungsi ventrikel kiri. Rekomendasi Kelas IIa, Tingkat Bukti C

Regurgitasi Aorta (AR)
            Tindakan operatif direkomendasikan pada semua pasien dengan regirgutasi aorta berat yang memiliki gejala gagal jantung. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
            Tindakan operatif direkomendasikan pada pasein dengan regurgitasi aorta berat dan LVEF yang menurun. (LVEF < 50%) Kelas Rekomendasi IIa, Bukti tingkat C.
            Fungsi ventrikel kiri biasanya membaik setelah operasi, dan pada suatu studi ditunjukan bawah pada group yang menjalani operasi memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan yang tidak menjalani operasi. Disisi yang lain risiko operatif semakin tinggi seiring semakin beratnya disfungsi ventrikel kiri.15

Operasi Katup Mitral

Regurgitasi Mitral (MR)

            Tindakan operatif pada pasien gagal jantung dengan regurgitasi mitral berat, telah dilaporkan memperbaiki gejala pada kelompok pasien tertentu. Tindakan operatif yang harus selalu dipertimbangkan pada pasien dengan regurgitasi mitral berat ketika revaskularisasi koroner menjadi pilihan. Terapi operatif menjadi pilihan yang menarik pada pasien dengan risiko operatif yang rendah.
Regurgitasi Mitral Organik
            Pada pasien dengan mitral regurgitasi organik  yang berat karena adanya kelainan struktural atau kerusakan katup mitral, bertambah buruknya gejala gagal jantung adalah indikasi yang kuat untuk operasi.
            Tindakan operasi direkomendasikan pada pasien dengan LVEF < 30% (jika memungkinkan dilakukan perbaikan katup). Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Tindakan operatif dapat dipertimbangkan pada pasien dengan regurgitasi mitral berat dan LVEF < 30%, terapi farmakologis tetap menjadi pilihan pertama. Hanya jika pasien tetap refrakter terhadap terapi farmakologis dan memiliki profil risiko operasi yang rendah operasi dapat dipertimbangkan. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C
Regurgitasi Mitral Fungsional
            Tindakan operatif dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu dengan  regurgitasi mitral fungsional berat dan fungsi ventrikel kiri yang sangat menurun, yang tetap bergejala walau terapi farmakologis telah optimal. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C
            Terapi Resingkronisasi Jantung atau Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) harus dipertimbangkan pada pasien yang memenuhi syarat karena dapat memperbaiki geometri ventrikel kiri, disingkroni muskulus papilaris dan dapat mengurangi regurgitasi mitral yang terjadi. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Regurgitasi Mitral Iskemik
            Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien dengan MR yang berat dan LVEF < 30% jika direncanakan CABG. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
            Tindakan operatif juga harus dipikirkan pada pasien dengan MR moderate yang akan CABG jika perbaikan katup memungkinkan . Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C

Regurgitasi Trikuspid (TR)
            Regurgitasi Trikuspid fungsional sangat umum ditemukan pada pasien gagal jantung dengan dilatasi biventrikel, disfungsi sistolik dan hipertensi pulmonal. Gejala yang menyertai terutama gejala gagal jantung kanan dengan kongesti sistemik dan respon yang buruk terhadap terapi agresif diuretik yang dapat memperburuk gejala seperti lelah dan intoleransi saat latihan. Tidak terdapat indikasi operatif untuk TR fungsional.14

Aneurismektomi  Ventrikel Kiri
            Tindakan aneurysmectomy (reseksi aneurisma) dapat dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan aneurisme ventrikel kiri yang besar dan jelas. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C

Kardiomioplasty
Kardiomioplasty dan ventrikulotomy ventrikel kiri parsial (operasi Batista) tidak direkomendasikan untuk terapi gagal jantung atau sebagai terapi alternatif gagal jantung. Kelas Rekomendasi III, Tingkat Bukti C.

Restorasi Ventrikel Eksternal
Restorasi ventrikel eksternal tidak direkomendasikan untuk terapi gagal jantung. Kelas Rekomendasi III, Tingkat Bukti C.

Alat Pacu Jantung
            Indikasi konvensional untuk pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang normal juga dapat diterapkan pada pasien dengan gagal jantung. Pada pasien dengan gagal jantung dan irama sinus, upaya untuk memperthankan respon kronotropik normal dan koordinasi atrial dan ventrikel  yang normal dengan pacu jantung DDD dapat menjadi sesuatu yang penting.15
            Pada pasien gagal jantung dengan indikasi pemasangan alat pacu jantung permanen (implant pertama atau mengganti pacemaker konvensional) dan NYHA kelas II-IV, ejeksi fraksi yang rendah (<35%), atau dilatasi ventrikel kiri. Pemasangan CRT harus dipertimbangkan untuk memilih CRT yang memiliki fungsi pacu jantung (CRT-P). Pada pasien–pasien ini penggunaan alat pacu jantung ventrikel kanan dapat membawa akibat buruk dan dapat menjadi penyebab atau memperburuk disingkroni yang terjadi. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C.
            Terapi resinkronisasi jantung dengan pacu jantung (CRT-P) direkomendasikan  untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien NYHA kelas III-IV yang tetap simtomatik meski telah diberikan terapi medikal optimal, dan mereka yang memiliki LVEF rendah (<35%) dan pemanjangan QRS komplek (lebar QRS >120 ms). Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
            Terapi resinkronisasi jantung dengan defibrilator (CRT-D) direkomendasikan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien NYHA kelas III-IV yang tetap simtomatik meski telah mendapat terapi farmakologis yang optimal, dan yang memiliki LVEF rendah (<35%) dan pemanjangan QRS komplek (lebar QRS >120 ms). Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
            Keuntungan CRT-D vs CRT-P dari segi keberhasilan menurunkan mortalitas masih belum diteliti secara mendalam. Karena efektivitas yang berhasil didokumentasikan pada pemasangan implantable cardioverter defibrilator (ICD) dalam mencegah kematian jantung mendadak, penggunaan CRT-D umumnya lebih dipilih pada pasien yang dapat memenuhi kriteria pemasangan CRT, termasuk harapan bertahan hidup dengan status fungsional baik untuk >1 tahun.

Implantable Cardioverter Defibrilator (ICD)
            Setengah angka kematian yang diamati pada pasein dengan gagal jantung berhubungan dengan kematian jantung mendadak (SDC). Upaya untuk mengurangi kematian pasien akibat even aritmia karenanya menjadi penting dilakukan untuk mengurangi angka kematian total pada populasi ini. 15
            Terapi ICD untuk prevensi sekunder direkomendasikan untuk pasien yang berhasil selamat dari episode fibrilasi ventrikel (VF) dan juga untuk pasien dengan riwayat VT dengan hemodinamik tidak stabil dan/atau VT dengan sinkope, LVEF <40%, yang sudah mendapat terapi farmakologis optimal, dan dengan harapan hidup dengan status fungsional yang baik >1 tahun. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
            Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dikarenakan infark miokard yang dalam 40 hari setelahnya memiliki LVEF < 35%, berada di NYHA kelas fungsional II atau III, telah mendapat terapi farmakologis optimal dan yang memiliki harapan hidup dengan status fungsional baik >1 tahun. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A
            Terapi ICD untuk prevensi primer direkomendasikan untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan cardiomiopati non-iskemik dengan LVEF < 35%, berada pada NYHA kelas fungsional II atau III, mendapat terapi farmakologis optimal, dan memiliki harapan hidup dengan status fungsional baik >1 tahun. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.

Transplantasi Jantung
            Pasien dengan gejala gagal jantung yang berat, memiliki prognosis buruk, dan yang tidak memiliki kemungkinan terapi lain harus dipikirkan untuk menjalani transplantasi jantung. Pasien yang direncanakan sebagai kandidat harus diberi informasi secara jelas, bermotivasi kuat, memiliki emosi yang stabil, dan mampu mematuhi terapi intensif yang harus dijalani.15
            Selain keterbatasan jantung donor, tantangan utama dalam transplantasi jantung adalah prevensi rejeksi allograft yang bertanggung jawab untuk kematian pada sebagian besar kasus pada tahun pertama setelah transplantasi. Outcome jangka panjang telah terbatasi terutama akibat konsekuensi immunosupresi jangka panjang (infeksi, hipertensi, gagal ginjal, keganasan, dan CAD). Transplantasi harus dipikirkan pada pasien yang memiliki motivasi kuat dengan gagal jantung terminal, gejala yang berat, tidak memiliki ko-morbiditas yang serius dan tidak memiliki terapi alternatif lain.
            Kontraindikasi transplantasi jantung antara lain : penggunaan alkohol dan/atau penyalahgunaan obat, kurangnya kerjasama pasien, status mental yang tidak terkontrol, riwayat kanker dengan remisi dan <5 tahun follow-up, penyakit sistemik yang melibatkan multiple organ, infeksi aktif, gagal ginjal yang signifikan (CrCl <50 mL/menit), resistensi vaskuler paru irreversible (6-8 wood unit dengan gradien transpulmoner >15 mmHg), riwayat komplikasi tromboembolik baru, peptic ulser yang belum sembuh, dan komorbiditas serius lain yang memiliki prognosis buruk.
            Transplantasi jantung adalah terapi yang telah diterima untuk gagal jantung terminal. Walau uji klinis terkonrol belum pernah dilakukan, terdapat konsesus bahwa transplantasi, dengan seleksi kandidat yang ketat, secara signifikan menurunkan mortalitas, meningkatkan kapasitas latihan, pasien dapat kembali bekerja, dan meningkatkan kualitas hidup dibandingkant terapi konvensional. Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C.

Ventricular Assist Device, Dan Jantung Buatan
            Saat ini terdapat kemajuan yang cepat dalam pengembangan teknologi alat bantu ventrikel kiri atau Left Ventricular Assist Device (LVAD) dan jantung buatan. Karena terbatasnya populasi dari uji klinis acak, rekomendasi yang ada saat ini masih terbatas. Masih belum terdapat konsensus mengenai indikasi LVAD atau populasi pasien yang paling tepat menjadi sasaran. Karena teknogi LVAD kemungkinan besar akan terus mengalami pengambangan cepat dimasa yang akan datang maka rekomendasi mengenai hal ini akan terus direvisi.
            Indikasi saat ini untuk pemasangan LVAD dan jantung buatan antara lain sebagai jembatan untuk transplantasi dan pada manajemen pasien dengan miokarditis akut yang berat. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C.
            Walau pengalaman di bidang ini masih terbatas, alat ini dapat dipertimbangakan untuk penggunaan jangka panjang jika prosedur definitif tidak direncanakan. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C.
            Support hemodinamik dengan menggunakan LVAD dapat mencegah atau mengurangi perburukan klinis dan dapat meningkatkan kondisi klinis pasien sebelum transplantasi, atau mengurangi mortalitas pada miokarditis akut yang berat. Semakin lama support ini digunakan, risiko komplikasi, termasuk infeksi dan emboli meningkat.

Ultrafiltrasi
            Ultrafiltrasi harus dipertimbangkan untuk mengurangi overload cairan (edema paru atau perifer) pada pasien tertentu dan memperbaiki hiponatremi pada pasien simtomatik yang refrakter terhadap diuretik. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B

Prognosis Gagal Jantung Kronis
            Gagal jantung modern menggunakan ACE-inhibitor (ACEi) dan Beta-blocker(BB) saat ini dapat memperpanjang usia harapan hidup pasien dengan gagal jantung, diagnosis gagal jantung memiliki tingkat mortalitas yang tinggi, tidak jauh berbeda dengan keganasan saluran cerna.15
            Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah mendadak atau progresif akibat gagal jantung). Dampak pengobatan spesifik gagal jantung terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan. Variabel yang paling sering ditemukan konsisesten sebagai faktor prediktor independen pada prognosis gagal jantung dapat dilihat pada tabel  dibawah.

Tabel kondisi yang ditemukan berhubungan erat dengan prognosis buruk pada gagal jantung
Demografik
Klinis
EKG
Fungsional
Laboratorik
Imaging
Usia Lanjut*
Hipotensi
Takikardia, Gelombang Q
Penurunaan kapasitas fungsional, puncak VO2 yang rendah*
Elevasi BNP / NT pro-BNP*
Ejeksi fraksi yang rendah*
Penyebab iskemia*
NYHA FC III-IV*
QRS lebar

Hiponatremi*

Riwayat Resusitasi*





Riwayat perawatan karena gagal jantung*
Hipertrofi ventrikel kiri
Aritmia ventrikular kompleks

Peningkatan Troponin
Peningkatan aktivasi biomarker humoral

Komplians buruk
Takikardia
Toleransi latihan yang rendah
Atrial Fibrilasi
Hasil yang buruk pada tes jalan 6 menit
Peningkatan kreatinin / BUN
Peningkatan volume LV
Disfungsi Ginjal
Rales pada paru
Body Mass Index yang rendah

Tingginya slope VF/VCO2
Peningkatan anemia bilirubin
Cardiac Index rendah
Stenosis Aorta

Nafas Periodik (Chayne Stokes)
Peningkatan asam urat
Tekanan pengisian ventrikel kiri tinggi
Anemia




Pola pengisian mitral restriktif, hipertensi pulmonal
COPD
Kelainan nafas saat tidur



Fungsi ventrikel kanan yang terganggu
Depresi





Dikutip dari : Mann DL dkk. 4



GAGAL JANTUNG AKUT

                Gagal Jantung akut (GJA) yaitu suatu keadaan kegagalan jantung untuk menjalankan fungsinya yang terjadi secara cepat atau timbul tiba-tiba yang memerlukan penanganan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan pertama gagal jantung, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya Pasien yang mengalami gagal jantung akut dapat memperlihatkan kedaruratan medic (medical emergency)   seperti edema paru akut   (acute pulmonary oedema). 15
                Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau diakibatkan ischemia jantung, gangguan irama jantung, disfungsi katup jantung, penyakit perikard, peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik.15

Klasifikasi
            Presentasi klinis pada GJA mencerminkan suatu spektrum keadaan yang sangat bervariasi, dan klasifikasi apapun akan memiliki keterbatasan. Pasien dengan GJA biasanya datang dengan satu dari enam kategori klinis. Keberadaan edema paru dapat mempersulit menentukan GJA masuk kategori klinis yang mana. Overlap antara berbagai kondisi ini dapat dilihat pada gambar dibawah.15

Presentasi Klinis Gagal Jantung Akut
Gambar Presentasi Klinis Gagal Jantung Akut
Dikutip dari: Dickstein dkk.15


Presentasi klinis pasien dengan gagal jantung akut dapat dibagi kedalam 6 kategori :

1.        Gagal Jantung Akut Dekompensasi / Acute Decompensated Heart Failure
     Keadaan gagal jantung akut dekompensasi,  dapat berupa keadaan dekompensasi yang baru pertama kali ( de novo ) dan dapat juga merupakan perburukan dari gagal jantung yang kronis (acute on chronic). Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok kardiogenik, edema paru, atau krisis hipertensi.
2.        Gagal Jantung Akut Hipertensif/ Hypertensive Acute Heart Failure
     Gagal jantung akut hipertensif yaitu tanda dan gejala gagal jantung disertai dengan tekanan darah yang tinggi dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang relatif baik. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan tonus simpatik yaitu didapatkan tachycardia dan vasokontriksi. Keadaan pasien dapat berupa  euvolemik atau sedikit hipervolemik, dan seringkali disertai kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik. Dengan respon yang cepat dan terapi yang tepat, mortalitas selama perawatan akan menjadi lebih rendah.
3.        Edema paru
       Pasien dengan presentasi klinis sesak nafas yang  heba t/ severe respiratory distress, takipneu dan ortopnu dengan ronki basah di hampir semua lapangan paru. Saturasi oksigen di arteri < 90% pada udara ruangan, sebelum diberikan terapi oksigen.
4.        Syok Kardiogenik
     Syok kardiogenik yaitu ditemukan bukti adanya hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung walau sudah terdapat koreksi preload dan adanya aritmia berat. Syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik (SBP) <90 mmHg, atau penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) <30 mmHg, dan/atau urine output yang rendah atau tidak keluar (<0.5 mL/kg/jam). Gangguan irama sangat sering ditemukan. Berdasarkan penelitian,  hipoperfusi organ dan kongesti paru dapat  terjadi dengan cepat.
5.        Gagal jantung kanan terisolasi
     Gagal jantung kanan ditandai dengan sindroma berkurangnya output tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP) dengan atau tanpa pembesaran hati, dan disertai dengan rendahnya tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure) yang rendah.

            Berbagai klasifikasi GJA digunakan pada Intensive Cardiac Care Unit (ICCU). Klasifikasi Killip didasarkan pada temuan klinis GJA setelah Infark Miokard Akut (IMA). Klasifikasi Forrester yang juga didasarkan pada tanda klinis dan karakteristik hemodinamik gagal jantung setelah IMA. Klasifikasi Killip, dapat dilihat pada Tabel 10. Klasifikasi Kilip didesain untuk memberikan estimasi klinis mengenai beratnya gangguan sirkulasi pada terapi infark miokard akut. Gambar dibawah menunjukkan klasifikasi klinis dari modifikasi Klasifikasi Forrester.


Tabel Klasifikasi beratnya gagal jantung pada kontek Infark Miokard Akut
Klasifikasi Killip
Stage I
Tidak terdapat gagal jantung. Tidak terdapat tanda dekompensasi jantung. Prognosis kematian sebanyak 6%
Stage II
Gagal jantung. Terdapat : ronkhi, S3 gallop, dan hipertensi vena pulmonalis, kongesti paru dengan ronkhi basah halus pada lapang bawah paru. Prognosis kematian sebanyak 17%
Stage III
Gagal jantung berat, dengan edema paru berat dan ronkhi pada seluruh lapang paru. Kilip P rognosis kematian sebanyak 38%
Stage IV
Shock Kardiogenik. Pasien hipotensi dengan SBP <90mmHg, dan bukti adanya vasokontriksi perifer seperti oliguria, sianosis, dan berkeringat. Prognosis kematian sebanyak 67%
Dikutip dari: Dickstein dkk. 15

 
Klasifikasi klinis modifikasi Forrester Gagal Jantung Akut
Gambar Klasifikasi klinis modifikasi Forrester Dikutip dari: Dickstein dkk.15



Faktor kardiovaskular dapat merupakan etiologi dari gagal jantung akut ini, dan juga bisa beberapa kondisi( comorbid) ikut berinteraksi, yang merupakan pencetus terjadinya gagal jantung akut.9 Penyebab gagal jantung akut dan pencetus terjadinya gagal jantung akut dapat dilihat pada tabel dibawah.  Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan gagal jantung akut. Contoh yang paling sering antara lain peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi pulmonal, peningkatan preload dimana adanya peningkatan volume atau retensi cairan, atau adanya kegagalan sirkulasi dengan peninggian output pada keadaan seperti infeksi, anemia atau tirotoksikosis.9

Tabel Penyebab dan faktor pencetus gagal jantung akut
Penyakit Jantung Iskemik
  • Sindroma Koroner Akut
  • Komplikasi mekanik pada miokard infark akut
  • Infark ventrikel kanan
Penyakit katup Jantung
  • Stenosis katup
  • Regurgitasi katup
  • Endokarditis
  • Diseksi aorta
Miopati
  • Post-partum kardiomiopari
  • Aritmia akut
Gagal sirkulasi
  • Septikemia
  • Tirotoksikosis
  • Anemia
  • Shunts
  • Tamponade
  • Emboli paru
Dekompensasi pada awal gagal jantung kronik
  • Ketidakpatuhan meminum obat
  • Kelebihan cairan masuk  / volume overload
  • Infeksi terutama pneumonia
  • Operasi
  • Disfungsi renal
  • Asma/PPOK
  • Penyalahgunaan obat
  • Penyalahgunaan alkohol
Dikutip dari:  Dickstein A dkk. 15

Diagnosis
      Diagnosis gagal jantung akut didapatkan dari gejala dan tanda klinis yang didapat, yang dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan didukung dengan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, Rontgen Thoraks,  Ekokardiografi, maupun biomarker yang spesifik. Skema penatalaksanaan gagal jantung akut dapat dilihat pada gambar di bawah.

Algoritma Diagnostik Gagal Jantung Akut
Gambar Algoritma Diagnostik Gagal Jantung Akut
Dikutip dari: Dickstein dkk.15

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
            Evaluasi sistematik saat pasien datang dengan presentasi GJA sangatlah penting, dengan fokus pada anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesa alasan paling umum pada pasien GJA untuk mencari bantuan medis adalah gejala berhubungan dengan kongesti, dan pada sebagian kecil kasus hipoperfusi. Berdasarkan Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) dari 187.565 perawatan, 89% pasien datang dengan sesak, 34% dengan sesak saat istirahat, dan 31% dengan keluhan lelah. Pada registry Initiation Management Predischarge Assessment of Carvedilol Heart Failure (IMPACT-HF), banyak gejala secara spesifik ditanyakan, dan ditemukan bahwa banyak gejala berhubungan dengan sesak dan tanda kelebihan cairan saat datang. Pada penelitian single-center yang kecil, dilakukan wawancara secara cermat terhadap pasien yang dirawat karena GJA (63% pasien terdokumentasi memiliki LVEF < 40%), ditemukan bahwa gejala secara gradual bertambah berat seiring waktu dari hitungan hari hingga mingguan sebelum perawatan, pada 62% pasien gejala dialami lebih dari 1 minggu sebelum masuk rawat. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa perawatan sebetulnya memungkinkan untuk dicegah bila dilakukan intervensi dini.15

Pemeriksaan  Penunjang

Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
                        Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, system konduksi dan kadang etiologi  dari Gagal jantung akut. Kelainan segmen ST, berupa ST segmen elevasi  infark miokard (STEMI) atau Non STEMI. Gelombang Q pertana infark transmural sebelumnya. Adanya hipertrofi, bundle branch block, disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan.

Pemeriksaan Foto Thoraks
                        Foto thoraks harus diperiksa secepat mungkin saat masuk pada semua pasien yang diduga gagal jantung akut, untuk menilai derajat kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru dan jantung yang lain seperti efusi pleura, infiltrat atau kardiomegali.

Pemeriksaan Laboratorium

  1. Pemeriksaan Darah Rutin
                Lebih dari setengah pasien yang masuk karena GJA memiliki anemia (Hb <12 gr/dl) dan 8-16% memilik Hb <10 gr/dl. Prevalensi ini ditemukan lebih banyak pada pasien dengan gagal jantung kronis, sehingga dapat dipikirkan bahwa hemodilusi akibat meningkatnya volume plasma menjadi mekanisme penyebab anemia pada pasien GJA. Supresi sumsum tulang akibat peningkatan sitokin pro-inflamasi dan memburuknya fungsi ginjal dapat pula mengakibatkan penurunan massa sel darah merah.

  1. Elektrolit
            Perubahan elektrolit pada GJA mirip dengan temuan pada GJK. Hiponatremi umum ditemukan, 25-30% pasien memiliki kandungan natrium <135 mEq/L, hiponatremi berat (<130 mEq/L) jarang (5%). Kalium umumnya normal pada GJA (mean sekitar 4.3-4.6 mEq/L), hipokalemia (3% <3.6 mEq/L) dan hiperkalemia (8% >5.5% mEq/L) jarang.

  1. Fungsi  Ginjal
Blood urea nitrogen (BUN) lebih berhubungan langsung dengan beratnya GJA dibandingkan kreatinin dan biasanya ditemukan meningkat pada saat masuk. Nilainya meningkat pada GJA karena penurunan pada Glomerular Filtration Rate (GFR) dan meningkatnya reabsorpsi natrium. Konsentrasi serum BUN meningkat seiring dengan meningkatnya vasokontriksi perifer akibat gangguan hemodinamik dan aktivasi neurohormonal pada GJA. Nilainya meningkat dari sedang (30 mg/dl) hingga berat (81 mg/dl), tergantung pada populasi pasien yang dipelajari. Peningkatan ini biasanya disertai dengan meningkatnya kreatinine, yang merupakan akibat langsung dari penurunan GFR. Nilai kreatinine saat masuk pada kebanyakan kasus sekitar 1.7 mg/dl dan pada 20% pasien nilainya meningkat >2.0 mg/dl. Estimasi GFR harus dilakukan karena peningkatan serum kreatinine tidak mencerminkan beratnya disfungsi renal.

  1. Fungsi Hati
Pada penelitian yang melibatkan pasien GJA yang dirawat pada unit intensif, 61% memiliki temuan laboratorium disfungsi hati, yang mempengaruhi dosis obat-obat tertentu.


Ekokardiografi
            Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling bermanfaat dalam membantu menilai struktur dan fungsi jantung. Pemeriksaan ini merupakan baku utama (gold standard) untuk menilai gangguan fungsi sistol ventrikel kiri dan membantu memperkirakan hasil dan kemampuan bertahan kasus gagal jantung. Penilaian ekokardiografi/doppler dapat mengevaluasi dan memonitor regional dan global dari fungsi sistolik dan diastolik  baik jantung kiri maupun yang kanan, struktur dan fungsi katup, patologi perikardium, komplikasi mekanik akibat miokard infark akut. Semua pasien dengan gagal jantung akut sebaiknya dengan segera dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Temuan kelainan yang didapat dapat membantu strategi penatalaksanaan. 15

Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut

Tujuan Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut 
      Tujuan dalam penanganan gagal jantung akut adalah untuk memperbaiki keluhan dan menstabilkan hemodinamik. Terapi perawatan pasien dengan GJA harus memiliki objektif yang realistik dan rencana untuk follow up harus dimulai sebelum pasien dipulangkan. Banyak pasien dengan GJA akan membutuhkan penanganan jangka pajang jika episode akut mengarah pada timbulnya gagal jantung kronis. Terapi GJA harus diikuti dengan program manajemen gagal jantung kronis jika tersedia.15

Algoritma Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut
            Banyak agen digunakan untuk menangani gagal jantung, namun data dari uji klinis yang masih sedikit, dan penggunaannya banyak didasarkan alasan empirik. Data jangka panjang mengenai penggunaannya pada keadaan akut dan outcome terapi belum tersedia. Pada banyak uji klinis yang telah dipublikasikan kebanyakan agen memperbaiki hemodinamik, tapi belum terdapat agen yang mampu mengurangi mortalitas.  Rekomendasi yang ada mengenai tatalaksana GJA sebagian besar berupa konsensus para ahli tanpa didukung oleh uji klinis acak yang kuat. Algoritma gagal jantung akut dapat dilihat pada gambar di bawah.  Pada gagal jantung penatalaksanaan yang utama yaitu penanganan simptomatik yang segera sehingga teratasi.15

Acute Heart Failure Management Algorithm
Gambar Algoritma Tatalaksana Gagal Jantung Akut
Dikutip dari: Dickstein dkk.15



Terapi Inisial pada Gagal Jantung Akut
Terapi Oksigen
Direkomendasikan untuk memberikan oksigen sedini mungkin pada pasien hipoksemia untuk mencapai saturasi oksigen > 95% (90% pada pasien dengan COPD). Harus hati-hati pada pasien COPD agar jangan sampai terjadi hiperkapnia. Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C

Ventilasi Non-Invasif
            Ventilasi non infasif (VNI) adalah semua modalitas yang membantu ventilasi tanpa menggunakan tube endotrakeal, hal ini misalnya dapat dicapai dengan masker yang menutupi seluruh wajah. Pada tiga meta-analisis dilaporkan bahwa aplikasi dini VNI pada edema pulmoner akut kardiogenik mengurangi kemungkinan perlunya intubasi dan menurunkan mortalitas jangka pendek. Walau demikian pada, 3CPO, sebuah uji klinis acak yang besar VNI ditemukan memperbaiki parameter klinis saja, dan tidak menurunkan mortalitas.
            Ventilasi dengan tekanan akhir respirasi positif (PEEP) harus dipikirkan sedini mungkin pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut dan semua pasien dengan GJA hipertensif karena dapat memperbaiki parameter klinis termasuk keluhan sesak. Harus digunakan secara berhati-hati pada shock kardiogenik dan gagal jantung kanan. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Kontraindikasi :
  • Pasien yang tidak dapat bekerjasama (pasien yang tidak sadar, gangguan kognitif berat, atau cemas)
  • Pasien yang membutuhkan intubasi endotraheal karena hipoksia progresif yang mengancam jiwa.
  • Harus hati-hati pada pasien dengan obstruksi jalan nafas kronis.
Bagaimana memberikan NVI :
  • Inisiasi : berikan PEEP 5-7.5 cmH2O harus diberikan pada mulanya dan dititrasi hingga didapat respon klinis hingga 10cmH2O, pengiriman FiO2 harus > 0.40.
  • Durasi : biasanya tiap 30 menit/jam hingga sesak pasien dan saturasi oksigen meningkat tanpa tekanan airway positif kontinyu (CPAP)
Potensi Efek Samping :
  • Perburukan gagal jantung kanan
  • Mengeringnya membran mukosa pada penggunaan jangka panjang.
  • Hiperkapnia
  • Timbulnya rasa cemas atau klausrofobia
  • Pneumothorax
  • Aspirasi

Morfin
Morfin dan analognya pada GJA harus dipertimbangkan pada stadium awal terapi pasien yang masuk dengan gagal jantung berat, terutama bila disertai dengan gelisah, sesak, cemas, atau nyeri dada.
Morfin mengurangi keluhan sesak dan gejala lain pada pasien dengan GHA dan dapat membuat pasien lebih mau bekerjasama jika diberikan ventilasi non invasif. Bukti yang menyokong penggunaan morfin pada GJA masih terbatas.
Dosis bolus intravena sebesar 2,5 – 5 dapat diberikan secepat mungkin setelah dipasang akses intravena pada pasien dengan GJA. Dosis ini dapat diulang sesuai kebutuhan.
  • Respirasi harus selalu dimonitor.
  • Keluhan mual umum ditemukan, terapi antiemetik mungkin dipertlukan.
  • Hati-hati pada pasien dengan hipotensi, bradikardi, blok Atrio-ventrikular derajat tinggi, atau retensi CO2.


Diuretik
Pemberian diuretik secara intravena pada pasien dengan GJA direkomendasikan bila terdapat gejala akibat kongesti dan overload cairan. Terpi dan dosis penggunaan diuretik pada gagal jantung dapat dilihat pada tabel dibawah. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.

Tabel  Indikasi dan dosis penggunaan diuretik pada gagal jantung akut
Retensi Cairan
Diuretik
Dosis Harian (mg)
Catatan
Sedang
Furosemide Bumetanide Torasemide
20-40
0.5-1
10-20
Oral atau IV tergantung dari gejala klinis
Titrasi dosis tergantung renspon klinis
Monitor K, Na, Kreatinin, Tekanan Darah
Berat
Furosemide
Furosemide drip
Bumetanide
Torasemide
40-100
5-40 mg/jam
1-4
20-100
I.V. tingkatkan dosis
Lebih baik efeknya dibandingkan IV dosis tinggi
Oral atau IV
Oral
Refrakter terhadap loop diuretic
Tambahkan HCT

Metolazone
Spironolakton
50-100

2.5-10
25-50
Kombinasi ini lebih baik dibandingkan dosis loop diuretik yang sangat tinggi
Tebih poten jika Klirens Kreatinin <30 ml/menit
Spironolactone adalah pilihan terbaik jika tidak terdapat gagal ginkal dan kadar Kalium normal atau rendah
Disertai alkalosis yang refrakter terhadap loop diuretik dan thiazid
Acetazolamide
Tambahkan Dobutamine (vasodilatasi renal) atau dobutamine.
0.5


I.V.
Pertimbangkan ultrafiltasi atau hemodialisis jika disertai gagal ginjal
Hiponatremi
Dikutip dari:Dickstein dkk.15

Kombinasi dengan diuretik lain seperti thiazid dapat berguna pada kasus dengan resistensi diuretik. Pada kasus dengan gagal jantung akut dengan volume overload, thiazid (hidroclorotiazid 25mg p.o.) dan antagonis aldosterone (spironolactone, eplerenon 25-50 mg po) dapat diberikan bersamaan dengan loop diuretik. Kombinasi beberapa macam obat seringkali lebih efektif dan mililiki efek samping yang lebih rendah jika diberikan satu dosis obat dengan dosis yang tinggi.

Vasodilator
Vasodilator direkomendasikan saat fase awal gagal jantung akut tanpa adanya gejala hipotensi. Vasodilator akan mengurangi gejala kongesti pulmonal tanpa mengganggu isi sekuncup atau peningkatan kebutuhan oksigen, terutama pada pasien sindroma koroner akut. Indikasi vasodilator parenteral pada gagal jantung akut sangat bermanfaat.  Indikasi dan dosis pemberian vasodilator parenteral pada gagal jantung akut dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel Indikasi dan dosis pemberian vasodilator pada gagal jantung akut
Vasodilator
Indikasi
Dosis
Efek-samping utama
Lainnya
Nitrogliserin
Kongesti paru/edema, TD>90 mmHg
Dimulai 10-20 mcg/menit, dinaikkan hingga 200 mcg/menit
Hipotensi, nyeri kepala
Toleransi jika digunakan terus-menerus
Isosorbide Dinitrat
Kongesti paru/edema, TD>90 mmHg
Dimulai dengan 1 mg/jam, naikkan hingga 10 mg/jam
Hipotensi, nyeri kepala
Toleransi jika digunakan terus-menerus
Nitroprusside
Kongesti pada pasien Gagal Jantung Hipertensif
Dimuali dengan 0.3 mcg/kg/menit, naikkan hingga 5 mch/kg/menit
Hipotensi, toksisitas isosianat
Sensitif terhadap cahaya
Nesiritide
(banyak tidak tersedia)
Kongesti paru / edema dengan TD>90 mmHg
Bolus 2 mcg/kg + infusan 0.015-0.03 mcg/kg/menit
Hipotensi

Dikutip dari: Dickstein dkk.15

Pemberian obat-obatan inotropik atau vasokontrikor menjadi pilihan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Nitrogliserin
Terapi nitrogliserin merupakan terapi kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afteroload. Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan gagal jantung dekompensasi berat dengan edema paru yang besar.

Inotropik
Obat- obatan inotropik dipertimbangkan pada gagal jantung akut dengan lowoutput states, adanya gejala dan tanda hipoperfusi dan kongesti disamping pemberian vasodilator dan atau diuretik. Penggunaan obat inotropik dapat menyebabkan peningkatan aritmia atrial dan ventrikular. Oleh karena itu pemantauan irama jantung melalui EKG harus dilakukan. Dobutamin merupakan positif obat inotropik yang bekerja melalui perangsangan receptor β1 untuk menghasilkan efek inotropik dan kronotropik positif. Dopamin juga dapat merangsang reseptor β adrenergic. Dopamin dosis rendah dapat merangsang stimulasi reseptor dopaminergik dan mempunyai efek diuresis yang terbatas. Dosis tinggi dopamin dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dengan menimbulkan efek takikardi, aritmia dan stimulasi reseptor α adrenergic yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi. Dopamin dosis rendah sering dikombinasikan dengan dobutamin dosis tinggi. Penggunaan vasopresor (noradrenalin) tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertamapada gagal jantung. Dan hanya diindikasikan pada syok kardiogenik ketika kombinasi dari inotropik dan fluid challenge test gagal dalam mengembalikan tekanan darah yang adekuat. Pasien dengan sepsis dengan komplikasi gagal jantung akut dapat menggunakan vasopressor. Dosis obat obat inotropik dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel Dosis obat- obatan inotropik pada gagal jantung akut.
Nama Obat
Bolus
Kecepatan Infusan
Dobutamine
Tidak diberikan
2-20 mcg/kg/menit (β+)
Dopamine
Tidak diberikan
<3 mcg/kg/menit : efek renal (δ+)
Milrinone
25-75 mcg/kg dalam 10-20 menit
0.375-0.75 mcg/kg/menit
Enoximone
0.25-0.75 mg/kg
1.25-7.5 mcg/kg/menit
Levosimendan*
12 mcg/kg dalam 10 menit (dapat dipilih**)
0.1 mcg/kg/menit, dapat diturunkan hingga 0.05 atau ditingkatkan hingga 0.2 mcg/kg/menit
Norepinephrine
Tidak diberikan
0.2-1.0 mcg/kg/menit
Epinephrine
1 mcg dapat diberikan IV saat resusitasi, dapat diulang tiap 3-5 menit
0.05-0.5 mcg/kg/menit
Keterangan : * agen ini memiliki efek vasodilator juga **pada pasien hipotensif (SBP <100 mmHg) inisiasi terapi tanpa bolus direkomendasikan
Dikutip dari: Dickstein dkk. 15

Vasopressor
            Penggunaan vasopressor (norepinephrine) tidak direkomendasikan sebagai pilihan terapi pertama dan hanya diindikasikan pada shock kardiogenik ketika kombinasi dari agen inotropik dan tes penambahan cairan gagal mengembalikan tekanan darah ke tekanan darah sistolik > 90 mmHg, dengan perfusi organ yang cukup, walau telah terdapat perbaikan dari kardiak output. Pasien gagal jantung akut dengan penyulit sepsis kemungkinan besar membutuhkan vasopressor. Karena syok kardiogenik biasanya dihubungkan dengan tingginya resistensi vaskular sistemik, semua vasopressor harus digunakan secara berhati-hati dan dihentikan pemberiannya secepat mungkin. Nor-adrenaline dapat digunakan bersamaan  dengan inotropik yang dibahas diatas, idealnya melalui akses vena sentral.

            Epinephrine tidak direkomendasikan sebagai inotropik atau vasopressor pada shock kardiogenik, kecuali terbatas pada terapi darurat pada henti jantung. Kelas rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C.

Glikosida Jantung
            Pada Gagal Jantung Akut, glikosida jantung menghasilkan peningkatan yang bermakna pada kardiak output dan mengurangi tekanan pengisian. Dan dapat bermanfaat untuk mengurangi respon ventrikel pada AF rapid. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C.

Prognosis Gagal Jantung Akut
            Prognosis gagal jantung akut pada sindroma koroner akut dapat menggunakan klasifikasi Killip. Persentase kematian pada kilip I sebanyak 6% , kilip II sebanyak 17%, Kilip III sebanyak 38%, dan kilip IV sebanyak 67%.
            Gagal jantung akut ditemukan berbagai prediktor mortalitas univariate dan multivariate. Meningkatnya kadar BNP atau peningkatan kecil marker nekrosis miokard seperti troponin telah ditunjukan memiliki kemampuan baik untuk memperkirakan outcome selama perawatan dan mortalitas setelah dipulangkan. Anemia juga merupakan faktor prediktor yang hingga kini kurang dihargai, dan saat ini telah menjadi target terapi intervensi pada banyak uji klinis. Neurohormon seperti endothelin, dan marker inflamasi (seperti C-reactive protein, IL-6), juga merupakan prediktor kuat mortalitas.1


Pertanyaan yang sering ditanyakan / Frequently Asked Questions mengenai Atrial Fibrilasi dan Gagal Jantung

Pertanyaan : Apa tindakan pertama yang dapat dilakukan dokter jaga Puskesmas jika menemukan kasus Aritmia sebelum merujuk pasien? Dan terapi pertama apa yang dapat diberikan?
Jawaban : Sebelum merujuk harus dipastikan BLS (Basic Life Support) – ACLS (Advance Cardiac Life Support) survey dan management, bila  pasien stabil baru bisa dirujuk. Terapi pertama yang bisa diberikan oksigen dan pasang iv line, cairan tidak perlu cepat yang penting ada akses, bila suatu saat diperlukan akses cepat misalnya saat tiba-tiba syok. Terapi lainnya sesuai dengan aritmianya, yang mungkin akan sulit bila tidak ada EKG, tetapi khusus untuk BLS tidak memerlukan pembacaan EKG.


Pertanyaan : Sampai kapan obat anti aritmia diberikan? Apakah dihentikan  secara  bertahap?
Jawaban : Tergantung jenis aritmia dan target terapinya. Bila atrial fibrilasi dan control rhythm, dapat diberikan jangka lama. Bila paroksismal SVT (supraventricular tachycardia) misalnya, mungkin terapi hanya diberikan    saat    kambuh    juga bisa. Penentuan kapan dihentikan atau diturunkan mempertimbangkan banyak hal salah satunya preferensi pasien, ketersediaan modalitas terapi lainnya, efek samping obat, komorbiditas, dan lain-lain. Penatalaksanaan holistik pasien aritmia perlu mempertimbangkan kualitas hidup pasien dan juga lifestyle modification pada beberapa jenis aritmia (seperti menghindarkan merokok, alcohol, mengurangi berat badan, dan lain-lain).


Pertanyaan : Bagaimana cara cepat kita membedakan ini suatu SVT aberrant dgn VT (ventricular tachycardia) ?
Jawaban : Yang paling popular dapat  digunakan  adalah  Brugada  criteria  untuk  SVT  aberansi versus VT. Secara umum bila kita mempunyai informasi morfologi QRS di saat sinus akan sangat membantu. Initial deflection dari QRS (septal activation) yang serupa saat  sinus dengan saat wide complex tachycardia lebih menjurus kepada SVT dengan abberansi. Concordance negative (semua QRS defleksi sama-sama negative) di lead precordial V1-V6 lebih mengarah kepada VT. Semakin lebar suatu kompleks QRS semakin menjurus ke arah VT. Pada prakteknya masih bisa salah mendiagnosa VT dengan SVT + abberansi, sehingga pada saat tidak yakin, semua wide complex tachycardia sebaiknya dianggap VT sampai terbukti bukan VT.


Pertanyaan : Kapan  pasien  aritmia  boleh  rawat  jalan  dan  mendapatkan  terapi  oral  anti- aritmia? Apakah semua pasien aritmia perlu mendapat antitrombotik?
Jawaban : Hampir semua pasien aritmia bisa dilakukan terapi rawat jalan. Hanya beberapa  jenis aritmia yang perlu dilakukan rawat inap, yaitu aritmia yang berpotensi lethal atau  memburuk. (misal sinus arrest, PEA/Pulseless electrical activity, VT/Ventricular tachycardia, VF/ventricular fibrillation tentu tidak mungkin rawat jalan). Aritmia lainnya tergantung dari tanda – tanda vital apakah ada gejala gagal jantung atau gangguan hemodinamik. Kemudian, tidak semua aritmia perlu mendapatkan terapi antikoagulan (perhatian : bukan antitrombotik, melainkan antikoagulant yang disarankan pada pasien atrial fibrilasi). Hanya yang berisiko stroke.


Pertanyaan :  Pada  pasien  dengan  atrial fibrilasi  rapid  dan  PPOK  berat,  bagaimana tatalaksana  akut  di  IGD? Apakah beta blocker tetap memungkinkan?
Jawaban : Secara umum beta bloker dikuatirkan efek samping bronchospasmenya pada pasien PPOK. Rate control pada atrial fibrillasi dapat menggunakan obat lain seperti digoxin, dan CCB (verapamil atau diltiazem).
Namun demikian, tidak semua pasien yang mendapatkan beta bloker mengalami eksaserbasi bronchospasme, sehingga sebenarnya kalau menurut saya tidak kontraindikasi mutlak. Cardioselective (beta-1 selective) seperti atenolol, bisoprolol dan metoprolol mempengaruhi beta-2 kalau pada dosis tinggi, sehingga cocok untuk pasien dengan PPOK dan misalnya pasien DM dengan insulin. Bisoprolol paling cardioselective setahu saya. Generasi ketiga betablocker seperti yang lagi in saat ini nebivolol punya efek vasodilatasi juga.


Pertanyaan : Dapat sering kali ditemukan pasien dengan kondisi aritmia yang membahayakan, contoh nya atrial fibrilasi dengan respon ventrikel cepat yang banyak di masyarakat dan di rumah sakit. Bagaimana menangani pasien dengan kondisi tersebut yang ternyata diiringi dengan HT krisis atau malah Syok kardiogenik? Bagaimana jika kondisi nya sedang Stroke emboli akut apakah ada tempat untuk dilakukan pemberian alteplase? Lalu Bagaimana membedakan apakah pasien dengan ATRIAL FIBRILASI RAPID dengan IMA atau tanpa IMA? Pernah dapat kasus dengan atrial fibrilasi rapid troponin di cek positif tapi ternyata di stent hasil nya tidak ada plak sama sekali. Apakah itu mungkin?
Jawaban : Stroke akut pada center yang dapat mengeksklusi perdarahan alteplase sebaiknya menjadi standard terapi, tentunya setelah dilakukan assessment risiko perdarahan dan check list kontraindikasi sudah clear. Penanganan pasien secara menyeluruh tentunya dianjurkan tidak sepotong-sepotong, atrial fibrilasi rapid response dengan HT crisis (krisis hipertensi) yang menjadi diagnosis kerja utama tentunya HT crisis karena perlu penurunan dalam waktu cepat, karena disertai kondisi Afib rapir ventricular pemilihan obat dapat dipertimbangkan CCB (calcium channel blocker) yang memiliki efek AV nodal slowing juga.
Troponin diketahui dapat meningkat pada kondisi Afib rapid response, dan dapat diturunkan dengan menurunkan heart rate di bawah 100. Troponin pada kondisi ini dapat membantu memprediksi perburukan / prognosis dari Afib, namun bukan merupakan IMA. Penegakkan diagnosis IMA bukan dari hasil pemeriksaan laboratorium saja, melainkan mulai dari identifikasi faktor risiko, anamnesis, pemeriksaan fisik, baru pemeriksaan penunjang. Pada kondisi yang meragukan diperkenankan untuk dianggap / diagnosa kerja sebagai IMA sampai terbukti bukan.


Pertanyaaan : Mengenai manajemen aritmia pada thyroid heart disease. Bagaimana menerapi pasien dgn CHF e.c. AF Persisten pada thyroid heart disease? Beberapa kali dapat ditemukan adanya run VT/occasional VT pada pemberian ATRIAL FIBRILASI yang sudah diberikan digoxin dan betablocker (baik propranolol/bisoprolol).  apakah tetap diberikan amiodaron? Kalau tidak apakah terapi alternatif yang bisa diberikan?
Jawaban : Amiodarone memang bisa diberikan pada VT tapi onset of actionnya lambat, sehingga perlu dilakukan loading, namun di sisi lain perlu diingat pula bahwa amiodarone juga bisa menginduce thyrotoxicosis, sehingga sulit untuk dibenarkan. Secara patofisiologi karena pada thyroid storm (bukan thyroid heart disease) adalah karena hormone tiroid yang tinggi, maka lugol, beta bloker (propanolol, jangan yang cardioselective) yang paling tepat, dan beberapa menganjurkan pemberian dexamethasone. sedangkan digoxin, sepertinya tidak rutin diberikan.


Pertanyaan: Pada kasus aritmia VES (Venticular extra systole), yang seperti apakah yang tidak perlu di terapi ? Dan pada kasus yang bagimana kita harus aware dan bila perlu merujuk pasien dengan VES?
Jawaban : Hampir kebanyakan kasus VES (Sekarang lebih baik menggunakan PVC = Premature Ventricular Complexes, karena Ventricular Extrasystole bisa berarti premature beat atau escape beat) tidak ada yang perlu diperhatikan. Pada beberapa kasus memang perlu penanganan lebih lanjut seperti : PVC yang frequent (misal > 6 x / menit), simptomatik mengganggu kualitas hidup, PVC yang berturutan (couplet atau bahkan run VT), PVC yang multiform (karena ada kemungkinan muncul berturutan lalu bikin VT/VF), dan R on T phenomenon (PVC jatuh di gelombang T). Beberapa kasus PVC menunjukkan underlying disease yang lain seperti gangguan elektrolit, bahkan bisa karena ischemic heart. Beberapa PVC bisa merupakan manifestasi dari cardiomyopathy, seperti ARVD (arryhtmogenic right ventricle), sehingga anamnesa dan pemeriksaan fisik sangat diperlukan.


Pertanyaan : Apakah benar pasien yang rutin minum digoxin tdk boleh dilakukan cardioversi? Pada pasien aritmia yang unstable setelah kita lakukan kardioversi masi gagal convert apakah ada batasan dalam melakukan cardioversi ulang?
Bagaimana pengelolaan pasien dgn ATRIAL FIBRILASI SVR (slow ventricular response/rhythm) di ppk 1 (pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama) ?
Jawaban : Harusnya tidak masalah, tidak ada dosis maksimal, cardioversi dapat terus dilakukan, tapi sesuai ACLS AHA guideline, setiap habis cardioversi tidak cek rhythm / pulse, melainkan lanjut 2 minute CPR, setelah itu at the end of 2 minutes atau after 5 cycle CPR baru pulse check, rhythm check, bila perlu DC lagi. jangan lupa pemberian amiodarone di sela-sela dan adrenaline selang seling (dapat dicari di internet algoritma nya banyak beredar).
Pengelolaan slow ventricular rhythm : hindari obat-obatan yang membuat av node slow, kalau bukan karena obat, sebaiknya dirujuk, mungkin memerlukan PPM (permanent pace maker), daripada terlanjur terkena berbagai komplikasi. Jika slow asymptomatic sebenernya tidak usah diberikan apa-apa, namun jika terlalu slow harus diperhatikan karena juga berisiko .


Pertanyaaan :  Contoh kasus,  pasien  mengeluhkan  sesak.  Profesi  penjual  makanan kecil gorengan. Sampai pasien mengatakan untuk mengangkat gorengan yang sudah matang dari wajan saja sesak. Kemudian ketika ekg dilakukan gelombang ekg atrial fibrilasi. Nadi sekitar 140 an dan kemudian dirujuk. Pasien dengan kesadaran compos mentis dan datang sendiri ke puskesmas tdk ada yang mengantar. Bagaimana penanganan awal di PKM (puskesmas) sebelum dirujuk?
Jawaban  : Sebelum dirujuk pastikan stabil, kalau belum  stabil usahakan stabilisasi dan bahkan kalau perlu dipasang iv line dulu. Tanda gagal jantung, tentunya diuretik bisa diberikan, tapi efeknya juga tidak dapat langsung. Digoxin bisa membantu rate control sekaligus membantu inotropik positif. beta bloker kalau pada acute decompensated heart failure mungkin ditunda dulu.


Pertanyaan : Sering kali di IGD menemukan EKG pasien dengan LBBB, namun tidak diketahui apakah LBBB nya new onset/sudah lama. Kapan kita waspada adanya LBBB sebagai salah satu manifestasi suatu serangan infark miokard akut?
Jawaban : Dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, karena kita klinisi bukan "EKG-isi", jadi kembali lagi ke klinis, dimulai dari identifikasi factor risiko, kemudian pretest probability CAD berdasarkan simptom, baru masuk ke EKG. bahkan kalau klinis jelas mengarah ke IMA, meskipun EKG normal pun masuk ke unstable angina pectoris / NSTEMI.


Pertanyaan : Bila kita menemukan kasus atrial fibrilasi, baik itu new onset atau paroysmal tindakan apa yang perlu kita lakukan pertama kali? rate control atai rhythm control dan obat pilihannya apa?
Bila kita menemui kasus atrial fibrilasi tapi pasien tidak ada keluhan (kemungkinan  atrial fibrilasi persistent) tetap perlu kah diberi anti aritmia seperti digoxin?
Contoh kasus ADHF (acute decompensated heart failure), wanita 50 tahun datang dengan sesak nafas, desaturasi, rales dan wheezing positif, dan tak lama pasien menjadi koma, ternyata gambaran ekg menunjukkan afrvr, pada waktu itu diberikan furosemid 3 amp, sedangkan obat anti aritmia belum diberikan, dalam kasus tersebut terapi apa saja yang perlu kita berikan? dan perlu kah pasien dilakukan kardioversi?
Jawaban : Karena tidak ada perbedaan signifikan pada rhythm vs rate control, rate control cukup pada kebanyakan kasus, namun perlu diingat bahwa pada beberapa selected case rhythm control lebih dipertimbangkan, karena membantu cardiac output, mengurangi simptom, mengurangi risiko stroke, dan bila modalitas yang dipilih ablasi (ini masuk BPJS, silahkan dirujuk). mengurangi konsumsi obat.
Rate control, bukan anti aritmia, digoxin tidak termasuk rhythm control, boleh saja diberikan tapi bisa juga beta bloker cardioselective atau CCB.
Furosemide perlu diberikan kalau adhf, afib rapid response yang perlu diberikan bukan rhythm control yang pertama kali, tapi rate control. cardioversi dipertimbangkan kalau kita yakin Afib nya new onset dan baru, misal dalam 24 jam, kalau sudah agak lama, takutnya sudah ada trombus di LAA, sehingga perlu dilakukan echocardiografi dulu, atau pemberian antikoagulant dulu sebelum dilakukan rhythm control baik melalui farmakologis atau elektrik.


Pertanyaan : Contoh kasus di IGD sebuah RSUD tipe C, suatu saat mendapat pasien perempuan, 17 tahun dengan riwayat MS Berat dan CHF datang dengan keluhan berdebar, sesak sekali, keringat dingin. Tensinya 60 Palpasi, HR 148 x/m ireguler, RR 40x, Rhonki penuh di kedua lapang paru, akral dingin basah, EKG : ATRIAL FIBRILASI Rapid. Karena konsulen belum bisa dihubungi diputuskan pemberian dopamin, dan digoxin IV untuk Atrial fibrilasinya. Lalu saat digoxin masuk ternyata pasiennya muntah-muntah. pertanyaannya: 1. Mengingat modalitas  terapi atrial fibrilasi terbatas untuk  digoxin. Apakah muntah merupakan salah satu tanda toksisitas  digoxin? Jika ya bagaimana penanganan yang tepat? 2. Manakah yang harus saya tangani terlebih dahulu ? syoknya atau ATRIAL FIBRILASInya?
Jawaban : Seharusnya toksisitas digoxin tidak secepat itu, tapi bukannya tidak mungkin.  Heart failure / syok nya yang harus ditangani lebih dahulu karena lebih emergensi, Atrial fibrilasi bisa rawat jalan soalnya. Gejala yang dialami pasien kemungkinan karena MS beratnya, sehingga pemberian inotropik mungkin kurang bermanfaat karena pre load yang masuk ke ventrikel sedikit. diastolic time perlu diperpanjang untuk menaikkan diastolic filling time, sehingga rate control mungkin baik, dobutamin biasanya lebih less naikin heart rate dibandingkan  dopamin dok seandainya mau dipilih diberikan inotropik. Tentunya sebenarnya baik sekali kalau bisa diintip sebentar menggunakan probe usg di UGD, melihat kontraktilitas dari ventrikel kiri, kalau kontraktilitas baik, inotropik mungkin tidak diperlukan. (dokter umum pun boleh belajar USG / echocardiografi).


Pertanyaan : Pada pasien dengan kondisi tertentu semisal atrial fibrilasi dengan stroke, bagaimana batasan pemberian antikoagulannya? Dok saya pernah ketemu pasien atrial fibrilasi dengan pvc frequent pada orang tua, mengeluh nyeri perut dan malaise. Setelah diterapi inj omeprazole jadi sinus iramanya. apa ada ya efeknya seperti itu? Kebanyakan pasien yang dating di rs diberi cocktail kalau tidak antrain ya omz. 5. Dok izin bertanya, pada geriatri saya kadang sukar membedakan antara multifokal  atrial takikardi dengan atrial fibrilasi bgaimana ya dok bedanya? Kemudian apa perbedaan manifestasi klinis antara mat dan atrial fibrilasi?
Jawaban : Naiknya asam lambung bisa memicu aritmia pada beberapa pasien, di lain sisi  aritmia seperti atrial fibrilasi paroksismal dan PVC (premature ventricular contraction) juga bisa hanya paroksismal, sehingga bisa saja "kebetulan" berhenti saat diberikan omeprazole. pemberian antikoagulan pada Atrial fibrilasi berdasarkan risk and benefit, benefit mencegah stroke dihitung berdasarkan CHADSVASC score dan risk of bleeding dapat menggunakan HASBLED score. Pada HASBLED yang tinggi dan pasien juga risk stroke tinggi, dapat dipertimbangkan LAA (left atrial appendage) closure baik secara surgical atau transcatheter karena kebanyakan sumber emboli berasal dari LA appendage.
MAT = takikardia supraventricular dengan p wave morphology lebih dari 3, atrial fibrilasi di lain pihak p wave harusnya chaotic dan lebih cepat, tidak bisa dibedakan p wave satu dengan yang lainnya. kebanyakan kelihatan fibrillatory wave nya. Namun tidak perlu terlalu merasa bersalah tidak dapat membedakan MAT dengan atrial fibrilasi kalau EKG nya memang kurang spesifik.


Pertanyaan : Bagaimana  tatalaksana  yang dapat diberikan pada pasien dgn sindroma preeksitasi yang mengalami atrial fibrilasi mengingat bahwa pemberian obat-obatan penghambat nodus AV kurang efektif dlm memperlambat laju ventrikel?
Jawaban : pada pasien  atrial  fibrilasi  dengan  accessory  pathway,  jangan  diberikan  AV nodal blocking agent, karena takutnya nanti preferential conduction dari AV node + AP berubah menjadi dominan AP. Kita tahu bahwa AV node ada mekanisme memperlambat laju afib yang dihantarkan ke ventrikel, sedangkan AP bisa conduction 1 : 1, pada afib yang atrial nya bisa 300 x, kalau ventrikel juga 3-- x = VT / VF. amiodarone, atau DC shock jadi pilihan. oh amiodarone juga hati2, afibnya kalau jadi flutter, bisa av node conduction lebih banyak. tadinya afib 300 x, conduct hanya mungkin 70 x, begitu berubah ke atrial flutter 200 x tapi 2 : 1 conduction malah jadi 100 x /menit?


Pertanyaan : Contoh kasus pasien  datang  dengan  stroke  infark  dan  transformasi hemmoragic, perdarahan kecil 3cc, pasien kemudian timbul atrial fibrilasi NVR dengan skor CHAD2DS2- VASc 5 , apakah ada tempat untuk pemberian anticoagulan sebagai prevention untuk stroke emboli pada pasein di atas?
Jawaban : Kalau ada perdarahan  akut, tentunya anticoagulant lebih baik dihindari, namun  pada selected case dan di tangan experienced center bukan tidak mungkin anticoagulant tetap diberikan. Untuk jangka lama, bila memang dikuatirkan perdarahannya sedangkan risiko stroke emboli juga tinggi, ini kandidat terbaik untuk dilakukan LAA closure (masuk kedalam  BPJS).


Pertanyaan: Bagaimana  membedakan  gejala  ATRIAL FIBRILASI  rapid  respon  dan  slow  respon? Apakah terdapat perbedaan dari segi pengobatannya?
Jawaban : Gejala dapat serupa, dizzines, syncope, palpitasi, heart failure, dan lain-lain, yang beda adalah respons ventrikelnya ; slow ventricle response = di bawah 60 x/menit, rapid ventricular response  di atas 100 x/menit, dan normo ventricular response 60 - 100 x/menit. Biasanya dihitung dalam 6 detik ada berapa denyut kemudian dikalikan 10 (karena biasanya irreguler ireguler). Pengobatannya beda, pada rapid ventricular response kita berikan av nodal slowing agent, pada slow ventricular response justru sebaiknya dihindari. Lainnya seperti stroke prevention sama.


Daftar Pustaka / Referensi

  1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
  2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h. 262-264
  3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.
  4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
  5. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In:  Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
  6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.
  7. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG.  ABC of heart failure:  aetiology.  BMJ 2000; 320:104-7.
  8. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.
  9. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007. P.85-93.
  10. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
  11. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689
  12. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276
  13. Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart failure in coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med. 1977;86:133–138.
  14. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002; 347:161-167.
  15. Dickstein A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
  16. Fox KF, Cowie MR, Wood PA, et al (2001). Coronary Artery Disease as the cause of incident heart failure in the population (edisi ke-1th ed. page: 228-236). Eur Heart J.
  17. Bundkirchen A, Schwinger RHG. Epidemiology and economic burden of chronic heart failure. Eur Heart J.2004; 57-60.
  18. Cowie MR, Dar O. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster V, Walsh RA, O»Rourke RA,Poole-Wilson P. Hurst»s The Heart. 12th ed. Vol 1. 2008. China: McGraw Hill. pp: 713-723.
  19. Sudoyo Aru.W , Setiyohadi Bambang , Alwi Idrus , et al . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . edisi ke V Jilid II . Jakarta : Internal Publishing 2009 . pp: 1596-1601.
  20. Prince SA, Wilson LM. Patofisiologi. Vol. 1. Jakarta: EGC.2006. h 634-636.
  21. Mansjoer Arif, et al. 2001. Kapita selekta kedokteran Edisi ke 3. Media Aesculapius: FK UI
  22. Pemeriksaan Laboratorium Gagal Jantung. Diunduh dari http://www.revolutionhealth.com/conditions/heart/heart-failure/diagnose-overview/laboratory-tests 02 September 2015.
  23. Pemeriksaan Radiologi Gagal Jantung.  http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/radiologi-jantung/. 02 September 2015.
  24. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Departeman Radiologi FKUI. Jakarta. 2005. h 165-173.
  25. Santoso M, Nah YK, Sumadikarya IK. 2010. Pemeriksaan fisik jantung patologis dan elektrokardiografi. Dalam: Buku Panduan Keterampilan Medik: FK UKRIDA. H 4-20.
  26. Chronic Kidney Disease http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/article_em.htm . 06 September 2015
Kata Kunci Pencarian : Gagal Jantung, Sudden Death, Makalah, Kardiologi, Tesis, Ilmu Penyakit Dalam, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Desertasi, Skripsi, Referat, Karya Tulis Ilmiah, Jurnal, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan keperawatan

2 komentar:

  1. adakah versi PDF nya ? sangat membantu

    BalasHapus
  2. mohon ijin siapakah penulis artikel diatas, artikelnya sangat membantu..
    terimakasih...

    BalasHapus

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.