Trombosis Vena

Definisi
            Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Trombosis merupakan proses pembentukan bekuan darah atau koagulum dalam sistem vaskular (yaitu, pembuluh darah atau jantung) selama manusia masih hidup. Koagulum darah dinamakan trombus. Akumulasi darah yang membeku diluar sistem vaskular, tidak disebut sebagai trombus. Namun demikian, bekuan darah yang terbentuk didalam sistem kardiovaskular setelah manusia meninggal tidak dinamakan trombus tetapi disebut bekuan postmortem. Trombosis jelas memiliki nilai adaptif yang berharga dalam kasus perdarahan, trombus bekerja efektif sebagai sumbatan hemostasis. Namun, trombosis dapat menjadi masalah jika mekanisme pengaturan normal terganggu dan keadaan ini terbukti sangat berbahaya.
          Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah (Virchow triat). Trombosis vena adalah terbentuknya bekuan darah di dalam vena, yang sebagian besar tersusun atas fibrin dan sel darah merah dengan sebagian kecil komponen leukosit dan trombosit. Trombosis vena paling banyak terjadi pada vena dalam dari tungkai (deep vein thrombosis / DVT ), dan dapat menjadi emboli paru.
            
         Trombosis vena dapat terjadi pada vena dalam maupun vena superfisial pada keempat ekstremitas. Pada 90% kasus, trombosis vena dalam dapat berkembang menjadi emboli paru, dan kondisi yang beresiko tinggi menyebabkan kematian. Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru dikelompokkan menjadi satu dan sering disebut sebagai tromboemboli vena / venous thromboembolism (VTE).
            Trombus dapat terjadi pada arteri atau pada vena, trombus arteri disebut trombus putih karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga berwarna merah. Trombosis vena dalam adalah suatu penyakit yang tidak jarang ditemukan dan dapat menimbulkan kematian jika tidak ditangani dan di obati secara efektif.
Vein Thrombosis Illustration
Ilustrasi trombosis
           Untuk lebih dapat memahami trombosis ada baiknya kita mengulas kembali mengenai sistem vena :

Anatomi Vena
            Vena merupakan pembuluh darah yang dilewati sirkulasi darah kembali menuju jantung sehingga disebut juga pembuluh darah balik. Dibandingkan dengan arteri, dinding vena lebih tipis dan mudah melebar. Sama seperti arteri, vena memiliki 3 lapis dinding yaitu tunika intima, tunika media dan tunika adventitia. Pada arteri lapisan yang tebal adalah tunika media sedangkan lapisan tebal pada vena adalah tunika adventitia , yang juga dikenal sebagai externa tunika. Ini adalah lapisan terluar dari pembuluh darah, yang menyediakan stabilitas struktural mirip lapisan tunika media di arteri. Sementara darah bergerak melalui arteri oleh aktivitas tunika media, pada vena menggunakan mekanisme yang berbeda yang disebut “pompa otot rangka”. Dalam pompa otot rangka, darah bergerak secara pasif melalui pembuluh darah oleh kontraksi otot rangka seluruh tubuh, yang memaksa darah untuk bergerak ke atas menuju jantung bukan penyatuan dalam tubuh extremeties rendah (tangan dan kaki). Kurang lebih 70% volume darah berada dalam sirkuit vena dengan tekanan yang relatif rendah. Kapasitas dan volume sirkuit vena ini merupakan faktor penentu penting dari curah jantung karena volume darah yang diejeksi oleh jantung tergantung pada alir balik vena.

Sistem vena khususnya pada ekstremitas bawah terbagi menjadi 3 subsistem:
  1. Subsistem vena permukaan
  2. Subsistem vena dalam
  3. Subsistem penghubung (saling berhubungan)
            Vena permukaan terletak di jaringan subkutan tungkai dan menerima aliran vena dari pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil di dalam kulit, jaringan subkutan dan kaki. Sistem permukaan terdiri dari: Vena Safena Magna dan Vena Safena Parva. Vena Safena Magna merupakan vena terpanjang di tubuh, berjalan dari maleolus naik ke bagian medial betis dan paha, bermuara ke Vena Femoralis tepat di bawah selangkangan. Vena Safena Magna mengalirkan darah dari bagian anteromedial betis dan paha. Vena Safena Parva berjalan di sepanjang sisi lateral dari mata kaki melalui betis menuju lutut, mendapatkan darah dari bagian posterolateral betis dan mengalirkan darah ke Vena Poplitea, titik pertemuan keduanya disebut Safenopoplitea. Diantara Vena Safena Magna dan Parva banyak didapat anastomosis, hal ini merupakan rute aliran kolateral yang memiliki peranan penting saat terjadi obstruksi vena.
Venous system
Gambar sistem vena (dari wikipedia.org) klik untuk memperbesar
            Sistem vena dalam membawa sebagian besar darah dari ekstremitas bawah yang terletak di dalam kompartemen otot. Vena-vena dalam menerima aliran darah dari venula kecil dan pembuluh intra muskuler. Sistem vena dalam atau profunda cenderung berjalan sejajar dengan pembuluh arteri tungkai bawah dan diberi nama yang sama dengan arteri tersebut. Sebagai akibatnya, termasuk dalam sistem vena ini adalah Vena Tibialis Anterior dan Posterior, Peroneus, Poplitea, Femoralis, Femoralis Profunda dan pembuluh-pembuluh darah betis yang tidak diberi nama. Vena Iliaka juga dimasukkan ke dalam sistem vena dalam ekstremitas bawah karena aliran vena dari tungkai ke vena cava tergantung pada patensi dan integritas dari pembuluh-pembuluh ini.
            Subsistem vena-vena dalam dan permukaan dihubungkan oleh saluran-saluran pembuluh darah yang disebut vena penghubung yang membentuk subsistem penghubung ekstremitas bawah.  Aliran biasanya dari vena permukaan ke vena dalam dan selanjutnya ke vena kava inferior.
            Pada struktur anatomi vena didapatkan katup-katup semilunaris satu arah yang tersebar di seluruh sistem vena. Katup-katup tersebut adalah lipatan dari lapisan intima yang terdiri dari endotel dan kolagen, berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik, mengarahkan aliran kearah proksimal dan dari sistem permukaan ke sistem dalam melalui penghubung. Kemampuan katup untuk menjalankan fungsinya merupakan faktor yang sangat penting sebab aliran darah dari ekstremitas menuju jantung berjalan melawan gravitasi.
Vein Valve, Gambar katup vena normal dan perbandingannya dengan yang mengalami kerusakan, arus alirah darah, pembuluh, varises
Gambar katup vena normal dan perbandingannya dengan yang mengalami kerusakan 
            Fisiologi pada aliran vena yang melawan gaya gravitasi tersebut dipengaruhi oleh faktor yang disebut pompa vena. Ada 2 komponen pompa vena yakni perifer dan sentral. Komponen pompa vena perifer adalah adanya kompresi saluran vena selama kontraksi otot yang mendorong aliran maju di dalam sistem vena dalam, katup-katup vena bekerja mencegah aliran retrograde atau refluks selama otot relaksasi dan adanya sinus-sinus vena kecil yang tak berkatup atau venula yang terletak di otot berperan sebagai reservoir darah selanjutnya akan mengosongkan darahnya ke vena-vena dalam selama terjadi kontraksi otot.
            Pada komponen pompa vena sentral yang berperan memudahkan arus balik vena adalah pengurangan tekanan intratoraks saat inspirasi, penurunan tekanan atrium kanan dan ventrikel kanan setelah fase ejeksi ventrikel.
            Penyumbatan sistem pembuluh darah vena biasanya menghasilkan trombosis. Faktor risiko sama dengan pada trombosis sistem pembuluh darah arteri. Trombus merupakan proses kompleks yang mengikutsertakan interaksi dinding pembuluh darah dengan trombosit dan protein antikoagulan. Pasien tanpa penyakit penyerta kadang-kadang dapat pula terkena kelainan ini.

Epidemiologi
            Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya. Pada satu pertiga kasus, bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT. Pada beberapa penelitian juga didapatkan bahwa kejadian VTE meningkat sesuai umur, dengan angka kejadian 1 per 10.000 – 20.000 populasi pada umur dibawah 15 tahun, dan meningkat secara eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000 kasus pada usia diatas 80 tahun.  Insidensi VTE pada ras Asia dan Hispanic dilaporkan  lebih rendah dibandingkan dengan ras Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin, dan Asia Pasifik. Angka insidensi yang lebih rendah ini masih belum dapat dijelaskan, namun diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor predisposisi genetik, seperti faktor V Leiden. Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita, walaupun penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause merupakan faktor resiko terjadinya VTE.

Etiologi
            Menurut virchow terdapat tiga kelompok faktor yang dapat mencegah pembentukan trombus yang tidak normal  antara lain :

Perubahan pada permukaan endotel
         Endotel normal merupakan permukaan yang rata dan halus. Dianggap bahwa pada endotel normal terdaat muatan listrik yang akan menolak tiap unsur darah yang mendekatApabila terjadi kerusakan endotel maka terjadi perubahan dalam potensial listriknya, sehingga trombosit dapat melekat pada endotel
         Suatu anggapan lain menyatakan bahwa jaringan endotel yang rusak mengeluarkan suatu zat sehingga terjadi koagulasi darah.

Perubahan pada aliran darah
         Bila aliran darah melambat; maka trombosit  akan menepi, sehingga mudah melekat pada dinding pembuluh.
         Normal dalam aliran darah terdapat suatu axial stream yang mengandung unsur darah yang berat seperti lekosit.Trombosit mengalir pada zone yang lebih perifer dan dibatasi dari dinding pembuluh oleh suatu zone plasma.
         Bila timbul keterlambatan dalam aliran maka trombosit masuk kedalam zone plasma sehingga kontak dengan endotel bertambah.Perubahan dalam aliran darah lebih sering terjadi dalam vena. Trombus juga sering terjadi dalam varices, yaitu vena-vena yang melebar.

Perubahan pada konstitusi darah
         Perubahan dalam jumlah dan sifat trombosit dapat mempermudah trombosis.Pada masalah setelah mengalami pembedahan dan masa nifas, jumlah trombosit dalam darah kira-kira 2-3 kali lipat daripada normal, serta bersifat lebih mudah melekat.
            Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor stimuli suatu tromboemboli yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Selain  faktor stimuli, terdapat juga faktor protektif yang berperan yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antithrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolisis. Terjadinya VTE merefleksikan ketidakseimbangan antara faktor stimuli dengan faktor protektif.
             Faktor risiko terjadinya VTE dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor risiko didapat (acquired) dan faktor risiko yang diturunkan (inherited), seperti pada tabel dibawah.
Tabel  Faktor Risiko Terjadinya VTE

Didapat (acquired)
Diturunkan (inherited)
Campuran Keduanya
Bertambahnya usia
Defisiensi antitrombin
Tingginya kadar PCI (PAI-3)
Tindakan pembedahan (ortopedi, bedah saraf, laparotomi,dll)
Defisiensi Protein C
Tingginya kadar salah satu faktor pembekuan darah dibawah ini: VIII, IX, XI
Trauma
Defisiensi Protein S
Tingginya kadar fibrinogen
Kateter vena sentral
Faktor V Leiden (FVL)
Tingginya kadar TAFI (Thrombin Activated Fibrinolysis Inhibitor)
Keganasan
Prothrombin G20210A
Menurunnya kadar TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor)
Sindrom antifosfolipid
Kelompok Golongan darah non-O
Resistensi protein C teraktivasi pada absennya FVL
Puerperium
Disfibrinogenemia
Hiperhomosisteinemia
Imobilisasi lama (tirah baring, paralisis ekstremitas)
Faktor XIII 34val

Kehamilan


Obesitas


Kontrasepsi oral


Terapi sulih hormon


Penyakit myeloproliferatif


Polisitemia vera


Infark miokard


Varises





            Pengaruh beberapa faktor risiko didapat (acquired) terhadap terjadinya trombosis vena dijelaskan sebagai berikut:

  1. Tindakan operatif
                        Faktor risiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
                        Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
  • Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di operasi.
  • Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif, operatif dan post operatif.
  • Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
  • Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah tersebut.

  1. Kehamilan dan persalinan
                        Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.
                        Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.

  1. Infark miokard
                        Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.

  1. Immobilisasi yang lama dan  paralisis ekstremitas.
                        Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah timbulnya trombosis vena.

5.      Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
            Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dinetralisir sehingga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

  1. Obat-obatan konstrasepsi oral
                        Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena, menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

  1. Obesitas dan varises
                        Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

  1. Proses keganasan
            Sel tumor dapat menyebabkan up regulasi banyak faktor koagulasi, down regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik (gambar bawah).

Malignancy of Vein Thrombosis
Gambar Efek protombotik sel tumor.


            Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena beberapa jenis sel tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor III) dan trombin (faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator pada peritoneum pasien dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-reseptor faktor II, faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin, heparin cofactor II dan reseptor endothelial protein-C.

Patofisiologi
            Trombosis adalah pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh darah, dalam hal DVT bekuan darah terjadi di pembuluh darah balik (vena) sebelah dalam, bisa terjadi terbatas pada sistem vena kecil saja namun juga bisa melibatkan pembuluh vena besar seperti Vena Iliaka atau Vena Kava.
            Seperti dibahas sebelumnya, mekanisme yang mengawali terjadinya trombosis berdasar “trias Vircow” ada 3 faktor pendukung yakni:
  1. Adanya stasis dari aliran darah
  2. Timbulnya cedera pada endotel pembuluh darah
  3. Pengaruh hiperkoagulabilitas darah
            Stasis atau lambatnya aliran darah merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis, yang menjadi faktor pendukung terjadinya stasis adalah adanya imobilisasi lama yakni kondisi anggota gerak yang tidak aktif digerakkan dalam jangka waktu yang lama.
            Imobilisasi lama seperti masa perioperasi atau akibat paralisis, dapat  menghilangkan pengaruh dari pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi hingga terjadi pengumpulan darah di ekstremitas bawah. Terjadinya stasis darah yang berada di belakang katup vena menjadi faktor predisposisi timbulnya deposisi trombosit dan fibrin sehingga mencetuskan terjadinya trombosis vena dalam.
            Cedera endotel meski diketahui dapat mengawali pembentukan trombus, namun tidak selalu dapat ditunjukkan adanya lesi yang nyata, pada kondisi semacam ini nampaknya disebabkan adanya perubahan endotel yang samar seperti akibat terjadinya perubahan kimiawi, iskemia atau anoksia, atau peradangan. Penyebab kerusakan endotel yang jelas adalah adanya trauma langsung pada pembuluh darah, seperti akibat fraktur dan cedera pada jaringan lunak, tindakan infus intra vena atau substansi yang mengiritasi seperti kalium klorida, kemoterapi ataupun antibiotik dosis tinggi.
            Hiperkoagulabilitas darah tergantung pada interaksi kompleks antara berbagai variabel termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposisi dan sifat-sifat aliran darah, sistem fibrininolitik intrinsik pada sistem pembekuan darah. Keadaan hiperkoagulasi bisa terjadi jika terjadi perubahan pada salah satu dari variabel-variabel tersebut.
            Trombosis vena, apapun rangsangan yang mendasarinya, akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena akan terganggu, menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Trombosis bisa melibatkan kantong katup hingga merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau yang inkompeten mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas.
            Dalam perjalanan waktu dengan semakin matangnya trombus akan menjadi semakin terorganisir dan melekat pada dinding pembuluh darah. Sebagai akibatnya, resiko embolisasi menjadi lebih besar pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan tetap dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu perluasan trombus dapat membentuk ujung yang panjang dan bebas selanjutnya dapat terlepas menjadi emboli yang menuju sirkulasi paru-paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan melibatkan daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin dapat distabilkan dalam derajat tertentu atau direkanalisasi dengan retraksi bekuan dan lisis melalui system fibrinolitik endogen. Tetapi beberapa kerusakan residual tetap bertahan.



Manifestasi Klinis

            Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena poplitea, vena femoralis dan vena iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang terjadi DVT .
            Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke proksimal.
            Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan kematian.
            Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homan’s sign yaitu nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif namun tidak spesifik.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
  • bendungan aliran vena.
  • peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
  • emboli pada sirkulasi pulmoner.


Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa

  1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

  1. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.

  1. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.

  1. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.
           
            Semua keadaan di atas akan mengakibatkan aliran darah vena dalam membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
            Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.
            Trombosis vena dalam (DVT) menyerang pada pembuluh-pembuluh darah sistem vena dalam . Serangan awalnya disebut trombosis vena dalam akut, adanya riwayat trombosis vena dalam akut merupakan predisposisi terjadinya trombosis vena dalam berulang. Episode DVT dapat menimbulkan kecacatan untuk waktu yang lama karena kerusakan katup-katup vena dalam. Emboli paru adalah resiko yang cukup bermakna pada trombosis vena dalam.
            Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstremitas bawah, banyak yang sembuh spontan dan sebagian lainnya menjadi parah dan luas hingga membentuk emboli. Penyakit ini dapat menyerang satu vena atau lebih, vena di daerah betis adalah vena-vena yang paling sering terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis dan segmen-segmen vena iliofemoralis juga sering terjadi.
            DVT secara khas merupakan masalah yang tidak terlihat karena biasanya tidak bergejala, terjadinya emboli paru dapat menjadi petunjuk klinis pertama dari trombosis. Pembentukan trombus pada sistem vena dalam dapat tidak terlihat secara klinis karena kapasitas system vena yang besar dan terbentuknya sirkulasi kolateral yang mengitari obstruksi. Diagnosisnya sulit karena tanda dan gejala klinis DVT tidak spesifik dan beratnya keadaan tidak berhubungan langsung dengan luasnya penyakit.
            Gejala-gejala dari DVT berhubungan dengan rintangan dari darah yang kembali ke jantung dan aliran balik pada kaki. Secara klasik, gejala-gejala termasuk:
  • nyeri,
  • bengkak,
  • hangat dan
  • kemerahan.

            Tanda yang paling dapat dipercaya adalah bengkak/edema dari ekstremitas yang bersangkutan. Pembengkakan disebabkan oleh peningkatan volume intravaskuler akibat bendungan darah vena, edema menunjukkan adanya perembesan darah disepanjang membrane kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik. Vena permukaan dapat pula berdilatasi karena obstruksi aliran ke sistem dalam atau sebaliknya aliran darah dari sistem dalam ke permukaan. Meski biasanya hanya unilateral, tetapi obstruksi pada iliofemoral dapat mengakibatkan pembengkakan bilateral.
            Seperti dibahas diatas, nyeri merupakan gejala yang paling umum, biasanya dikeluhkan sebagai rasa sakit atau berdenyut dan bisa terasa berat. Ketika berjalan bisa menimbulkan rasa nyeri yang bertambah. Nyeri tekan pada ekstremitas yang terserang bisa dijumpai saat pemeriksaan fisik. Ada dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan yakni dengan mendorsofleksikan kaki dan dengan mengembungkan manset udara di sekitar ekstremitas yang dimaksud. Tanda lain adalah adanya peningkatan turgor jaringan dengan pembengkakan, kenaikan suhu kulit dengan dilatasi vena superfisial, bintik-bintik dan sianosis karena stagnasi aliran, peningkatan ekstraksi oksigen dan penurunan hemoglobin. Gangguan sekunder pada arteri dapat terjadi pada trombosis vena luas akibat kompresi atau spasme vaskuler, denyut arteri menghilang dan timbul warna pucat.


Diagnosis
            Untuk mendiagnosa penderita  DVT dengan benar diperlukan pemeriksaan dan evaluasi pada penderita secara hati-hati dan seksama, meliputi keluhan dan gejala klinis serta adanya faktor resiko  terjadinya trombosis vena yang didapat pada penderita sebagaimana dijelaskan pada gambaran klinis di depan.
            Namun karena keluhan dan gejala klinis penyakit vena tidak spesifik dan sensitif untuk menegakkan diagnosis sebagai DVT maka perlu ditambah dengan metode-metode evaluasi noninvasif maupun invasif. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mendeteksi dan mengevaluasi obstruksi atau refluks vena melalui katup-katup yang tidak berfungsi baik.
            Scarvelis dan Wells tahun 2006 mengemukakan nilai probabilitas untuk penderita DVT yang dikenal dengan Wells score, guna menunjang arah diagnosa. Adapun skor yang dimaksud adalah sebagai berikut:

No
Jenis Kriteria
Nilai
1.
Menderita kanker aktif mendapat terapi 6 bl terakhir atau perawatan paliatif
1
2.
Edema tungkai bawah > 3cm (diukur 10 cm bawah tuberositas tibial, bandingkan dengan sisi sehat)
1
3.
Didapat kolateral vena permukaan (non varises)
1
4.
Pitting edema
1
5.
Bengkak seluruh tungkai bawah
1
6.
Nyeri disepanjang distribusi vena dalam
1
7.
Kelemahan, kelumpuhan atau penggunaan casting pada tungkai bawah
1
8.
Bedridden > 3hr, atau 4 minggu pasca operasi besar dengan anestesi general atau regional
1
9.
Penegakan  diagnosa alternative
2 point

Interpretasi skor dari Wells adalah jika didapat minimal 2 point maka mengarah DVT dan disarankan dengan pemeriksaan penunjang radiologis. Apabila skornya kurang dari 2 belum tentu DVT, dipertimbangkan dengan pemeriksaan D-dimer untuk meniadakan diagnosa DVT.
            Selanjutnya ada pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa trombosis vena dalam antara lain:
  1. Tes dari Homan (Homan’s test) yakni dengan melakukan dorsofleksi pada kaki maka akan didapatkan peningkatan rasa nyeri pada betis belakang. Nilai diagnostik pemeriksaan ini rendah dan harus hati-hati karena bisa menjadi pemicu terlepasnya trombus.
  2. Tanda dari Pratt (Pratt’s sign), dilakukan squeezing pada otot betis maka akan timbul peningkatan rasa nyeri.

Setelah penderita dilakukan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang mengarah terjadinya DVT selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya:

1.      Pemeriksaan D-Dimer
D-dimer merupakan tes darah yang digunakan sebagai tes penyaringan (screening) untuk menentukan apakah ada bekuan darah. D-dimer adalah kimia yang dihasilkan ketika bekuan darah dalam tubuh secara berangsur-angsur larut/terurai. Tes digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika hasilnya negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif, bukan berarti bahwa terjadi trombosis vena dalam, karena banyak kasus-kasus lain mempunyai hasil positif (kehamilan, infeksi, malignansi). Oleh sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan sebagai sarana skrening.

2.      Doppler ultrasound
Teknik Doppler dipakai untuk menentukan kecepatan aliran darah dan pola aliran dalam sistem vena dalam dan permukaan. Pola aliran vena normal ditandai dengan peningkatan aliran ekstremitas bawah selama ekspirasi dan menurun selama inspirasi. Pada obstruksi vena variasi pernafasan fasik tersebut tidak tampak. Terdapat sejumlah manuver yang dapat dipakai untuk membangkitkan pola aliran abnormal seperti manuver valsava dan kompresi vena. Bila didapat katup vena yang fungsinya tidak baik, saat dilakukan kompresi dengan manset pada tungkai akan meningkatkan tekanan di distal yang berakibat timbulnya refluks.
Pemakaian Doppler memungkinkan penilaian kualitatif katup pada vena dalam, vena permukaan dan vena penghubung, juga mendeteksi adanya obstruksi pada vena dalam maupun vena permukaan. Pemeriksaan ini sederhana, tidak invasif tetapi memerlukan teknik dan pengalaman yang baik untuk menjamin akurasinya.

3.      Duplex ultrasonic scanning
Pemakaian alat ini untuk mendapatkan gambaran vena dengan teknik penggabungan informasi aliran darah Doppler intravaskuler dengan gambaran ultrasonic morfologi vena. Dengan teknik ini obstruksi vena dan refluks katup dapat dideteksi dan dilokalisasi.

4.      Pletismografi vena
Teknik ini mendeteksi perubahan dalam volume darah vena di tungkai. Teknik pletismograf yang umum mencakup:
a.       Impedance plethysmography yakni arus listrik lemah ditransmisikan melalui ekstremitas dan tahanan atau resistensi dari arus diukur. Karena darah adalah penghantar listrik yang baik tahanan akan turun bila volume darah di ekstremitas meningkat sewaktu pengisian vena. Tahanan atau impedansi diukur melalui elektroda-elektroda pada suatu sabuk yang dipasang keliling pada anggota tubuh.
b.      Strain gauge plethysmography (SGP) yakni mendeteksi perubahan dalam ketegangan mekanik pada elektroda yang menunjukkan adanya perubahan volume darah.
c.       Air plethysmography adalah dengan mendeteksi perubahan volume melalui perubahan tekanan di dalam suatu manset berisi udara yang melingkari anggota gerak, saat volume vena bertambah maka tekanan di dalam manset akan bertambah pula.
d.      Photoplethysmography (PPG) adalah teknik baru yang bergantung pada deteksi pantulan cahaya dari sinar infra merah yang ditransmisikan ke sepanjang ekstremitas. Proporsi cahaya yang akan terpantulkembali ke transduser tergantung pada volume darah vena dalam jaringan pembuluh darah kulit.
5 .   Venografi
merupakan teknik yang dianggap paling dipercaya untuk evaluasi dan     perluasan penyakit vena. Tetapi ada kelemahan mengingat sebagai tes invasif dibanding noninvasif yakni lebih mahal, tidak nyaman bagi penderita, resiko lebih besar.


Diagnosis Banding
            Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai menderita DVT secara klinis antara lain : penegangan atau robeknya otot, kaki terkilir, limfangitis atau obstrunsi limfatik, refluks  vena, kista popliteal, selulitis, pembengkakan kaki pada paralisis ekstremitas, abnormalitas sendi lutut. Diagnosa DVT tidak dapat diekslusikan tanpa pemeriksaan objektif.


Penatalaksanaan

            Falsafah pengobatan trombosis adalah aman dan efektif, aman bermakna terapi yang diberikan tidak menimbulkan komplikasi misalnya pemberian antikoagulan harus diupayakan tidak sampai mengakibatkan perdarahan, efektif berarti tindakan yang diberikan berhasil mencegah perluasan trombosis.
            Secara umum penatalaksanaan penderita trombosis vena dalam meliputi upaya pencegahan, pengobatan non invasif dan tindakan pembedahan atau invasif.

A.  Pencegahan
            Pencegahan adalah upaya terapi terbaik pada kasus trombosis vena dalam, terutama pada penderita yang memiliki resiko tinggi. Peranan ahli rehabilitasi medik sangat dibutuhkan pada upaya ini agar mereka yang berpotensi mengalami trombosis vena tidak sampai mengalami DVT.
            Ada beberapa program rehabilitasi medik yang berfungsi untuk mencegah timbulnya trombosis vena pada populasi resiko tinggi. Program-program tersebut adalah:
  1. Mobilisasi dini, program ini diberikan pada penderita beresiko timbul DVT oleh karena keadaan yang mengakibatkan imobilisasi lama akibat kelumpuhan seperti penderita stroke, cedera spinal cord, cedera otak, peradangan otak. Dengan melakukan latihan pada tungkai secara aktif maupun pasif sedini mungkin aliran balik vena ke jantung bisa membaik.
  2. Elevasi, meninggikan bagian ekstremitas bawah di tempat tidur sehingga lebih tinggi dari jantung berguna untuk mengurangi tekanan hidrostatik vena dan juga memudahkan pengosongan vena karena pengaruh grafitasi.  
  3. Kompresi, pemberian tekanan dari luar seperti pemakaian stocking, pembalut elastik, ataupun kompresi pneumatik eksternal dapat mengurangi stasis vena. Tetapi pemakaian stocking dan pembalut elastik harus dikerjakan dengan hati-hati guna menghindari efek torniket oleh karena pemakaian yang ceroboh.
  4. Latihan, program latihan yang melibatkan otot-otot ekstremitas bawah akan sangat membantu perbaikan arus balik pada sistem vena sehingga mengurangi tekanan vena, dengan demikian dapat memperbaiki sirkulasi vena yang bermasalah dan beresiko timbulnya DVT. Berikut beberapa contoh sederhana latihan yang bisa diberikan pada kelompok resiko tinggi trombosis vena:
1.      Latihan dalam posisi berbaring:
laying down sideways exercise for vein thrombosis, Latihan berbaring menyamping untuk trombosis vena

1.a. Posisi berbaring miring dengan posisi tungkai satu di atas dengan yang lain selanjutnya tungkai yang berada di atas diangkat hingga 45 ° dipertahankan sesaat kemudian kembali keposisi awal, latihan dilakukan bergantian antara kanan dan kiri tungkai masing-masing 6 kali.
Upper leg while laying down exercise for vein thrombosis, Latihan Tungkai Berbaring pada trombosis vena

1.b. Posisi terlentang kedua tungkai bawah lurus selanjutnya salah satu tungkai ditekuk dan ditarik kearah dada perlahan, dipertahankan 15 detik sebelum kembali ke posisi awal. Latihan bergantian kanan dan kiri masing-masing 6 kali.
Ankle Laying on the back Exercise for Vein Thrombosis, Latihan sendi mata kaki posisi berbaring pada trombosis vena

1.c. Posisi terlentang dengan pergelangan kaki netral selanjutnya kaki diekstensikan/plantar fleksi dengan ujung jari ditekankan ke bawah, pertahankan beberapa detik. Gerakan tersebut diulangi 6 kali per latihan.
                        2. Latihan dalam posisi duduk:
                             
Knee and Upper Leg Excercise For Vein Thrombosis, Latihan Lutut dan Paha untuk Trombosis Vena

2.a. Lutut dipertahankan pada posisi fleksi selanjutnya diangkat keatas kearah dada dan kembali diturunkan, demikian gerakan dilakukan berulang secara bergantian antara sisi kiri dan kanan.
Knee Exercise for Vein Thrombosis, Latihan Lutut untuk Trombosis Vena

2.b. Posisi sambil duduk kemudian lutut diekstensikan dan kembali keposisi semula, dilakukan bergantian sisi kanan dan kiri.
                            
Lower Leg Exercise For Vein Thrombosis, Latihan Lutut untuk Trombosis Vena

2.c. Posisi duduk dengan lengan di samping, selanjutnya tungkai bawah diangkat lurus ke atas, pertahankan beberapa detik kemudian diturunkan. Gerakan diulang secsra bergantian masing-masing 6 kali.
Ankle Exercise For Vein Thrombosis, Latihan Tumit Untuk Trombosis Vena

2.d. Tumit diangkat keduanya selanjutnya dilakukan gerakan melingkar/rotasi pada kedua kaki dengan arah putaran berlawanan antara kiri dan kanan, gerakan dilakukan selama 15 detik dilanjutkan dengan arah putaran sebaliknya.

Foot Pumping Exercise For Vein Thrombosis, Gerakan pumping kaki latihan untuk trombosis vena

2.e. Melakukan gerakan pumping pada kedua kaki dengan menekan lantai pada ujung jati kaki sementara tumit diangkat, dipertahankan 3 detik dan dilanjutkan dengan tumit menekan lantai sementara ujung jari terangkat juga dipertahankan selama 3 detik, demikian dilakukan berulang.

B.  Pengobatan medikamentosa. (farmakologis)
            Pada kasus DVT pemberian terapi medikamentosa sangat bermanfaat untuk mencegah timbulnya komplikasi dan progresifitas penyakit. Terapi yang diberikan meliputi pemberian antikoagulan, trombolitik ataupun fibrinolitik dan anti agregasi trombosit.
            Antikoagulan diberikan sebagai terapi utama memiliki dua sasaran, pertama bertujuan mencegah terjadinya emboli paru, kedua berguna untuk membatasi area kerusakan dari venanya.
            Antikoagulan dalam jangka pendek sebaiknya diberikan pada semua penderita dengan trombosis vena dalam di tungkai. Pemakaian antikoagulan seperti heparin dalam jangka pendek yang efektif dan aman harus dipantau dengan pemeriksaan waktu pembekuan dan pemeriksaan waktu protrombin, pemeriksaan ini dilakukan tiap hari. Komplikasi perdarahan biasanya tidak akan terjadi bila efektif antikoagulan cepat tercapai dan dosis dapat segera ditentukan dengan cepat pula.
            Terapi trombolitik adalah pemberian secara intravena suatu bahan fibrinolitik dengan tujuan agar terjadi lisis pada trombus vena. Pemberian kinase akan menyebabkan plasminogen berubah menjadi suatu enzim proteolitik aktif yaitu plasmin yang dapat menghancurkan fibrin menjadi polipeptida yang dapat larut. Berbagai obat yang tersedia saat ini seperti Streptokinase, Reteplase, Tenecteplase, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan terapi ini harus hati-hati terhadap komplikasi perdarahn otak atau gastrointestinal terutama pada usia lanjut.
            Anti agregasi trombosit  merupakan salah satu pilihan terapi yang memiliki hasil terapi efektif dan aman. Karena adesi dan agregasi trombosit adalah dasar dari pembentukan trombus hemostatik primer dalam skema koagulasi, maka obat-obatan antitrombosit seperti aspirin dipakai oleh beberapa ahli untuk menahan perkembangan trombosis.

Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru
            Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin.
            Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
Pemberian Heparin standar
  • Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.

  1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
  2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
  3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

  • Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
  • Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan  pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
  • Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.


Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia (HIT).

Pemberian Oral Anti koagulan oral
Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg  (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0

Cara penyesuaian dosis
INR                            
Penyesuaian
1,1 – 1,4          hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 – 1,9          hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
 2,0 – 3,0         tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
 3,1 – 3,9         hari :    kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan
Kembali  : 2 minggu
4,0 – 5,0          hari 1:  tidak dapat obat
mingguan        : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
  • Stop pemberian warfarin.
  • Pantau sampai INR : 3,0
  • Mulai dengan dosis kurangi   20%-50%.
  • kembali tiap hari.


Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :

  1. Hipertensi : sistolik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
  2. Perdarahan yang baru di otak.
  3. Alkoholisme.
  4. Lesi perdarahan traktus digestif.


      Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).
         TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.

1.      Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.
            Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.
  • Latihan posisi fisik seperti yang dijabarkan di atas.
  • Pemberian heparin atau trombolitik.
  • Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
  • Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.


Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi.
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.

2.      Pencegahan Sindroma post-flebitis.
Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

3.      Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru. Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli paru, akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target  International Normalized Ratio (INR)  dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)   bekerja dengan cara menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

Weight Based and APTT Adjustment Based Heparin Therapy for Deep Vein Thrombosis
Tabel Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT (Ramzi, 2004)
         Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari  dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg),  atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan, satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).            Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver  serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).
  
Terapi Jangka Panjang
            Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor(faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
            Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal (Hirsh, 2002: Bates, 2004).
            Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).

Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat bekerja
  1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor lIa) seperti dabigatran etexilate (Pradaxa ®) dan AZD0837;
  2. Oral inhibitor faktor Xa meliputi Rivaroxaban (Xarelto ®), apixaban, betrixaban , edoxabandaneribaxaban, dan
  3. Inhibitor factorXa parenteral yang meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi, turunan dari fondaparinux) dan semuloparin.


Durasi Penggunaan Antikoagulan
            Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik (Zhu, 2009).
            Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)


Risk Category for recurrent Venous ThromboEmbolism for the duration of anticoagulant therapy
Tabel Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi antikoagulant (Hirsh, 2002)
Terapi Trombolitik
            Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
            Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
            CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis dapat dilihat pada tabel dibawah.
            Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik, penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004). Pemasangan stent endovaskular  pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson, 2010).

Table of Thrombolitic Protocol For Deep Vein Thrombosis
Tabel Protokol  trombolisik pada DVT (Patterson, 2010)

Heparin Thrombolitic Protocol fot Deep Vein Thrombosis
Tabel Protokol  Heparin pada DVT (Patterson, 2010)

C. Tindakan pembedahan.     
                Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan pengobatan medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi. Ada beberapa pilihan tindakan bedah yang bisa dipertimbangkan antara lain:
  1. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena Femoralis dapat diikat tanpa menyebabkan kegagalan vena menahun, tetapi tidak meniadakan kemungkinan emboli paru. Ligasi Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah terjadinya emboli paru, tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar dibanding dengan pemberian antikoagulan dan trombolitik.
  2. Trombektomi, vena yang mengalami trombosis  dilakukan trombektomi dapat memberikan hasil yang baik jika dilakukan segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan tindakan ini adalah: mengurangi gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup dan mencegah terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
  3. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma, tindakan ini dipilih untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang mengalami trombosis. Tekniknya vena safena diletakkan subkutan suprapubik kemudian disambungkan end-to-side dengan vena femoralis kontralateral.
  4. Saphenopopliteal bypass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis vena femoralis tidak terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan vena safena secara end-to-side dengan vena poplitea.


Prognosis

            Trombosis superfisial jika ditangani dengan tepat memiliki prognosis bonam atau baik, sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun, namun penyakit ini dapat kambuh. Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan  pada salah satu kakinya yang dikenal sebagai post phlebitic syndrome. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi kemungkinan terjadinya dengan penggunaan compression stocking saat dan sesudah episode DVT terjadi. Pada pasien dengan riwayat terjadi emboli paru, maka pengawasan harus dilakukan secara lebih ketat dan teratur.
            Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.



Daftar Pustaka/Referensi
  1. Kaushansky, K, MA Lichtman, E Beutler, TJ Kipps, U Seligsohn, JT. Prchal. 2010. Venous Thrombosis. Williams Hematology, 8th edition. China: The McGraw-Hill Companies, Inc. P. 2700 – 2720.
  2. Lopez, JA, C Kearon, dan AYY Lee. Deep Venous Thrombosis. Hematology. ASH Education Book  January 1, 2004 vol. 2004 no. 1 439-456
  3. Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol. 2007 April ; 44(2): 62–69.
  4. White, R. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation. 2003;107:I-4 – I-8. (dari http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4, diakses pada tanggal 7 Agustus 2015, pkl 20.00)
  5. Bates, SM, R Jaeschke, SM Stevens, S Goodoacre, PS Wells, MD Stevenson, C Kearon, HJ Schunemann, M Crowther, SG Pauker, R Makdissi, dan GH Guyatt. Diagnosis of DVT: Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST 2012; 141(2)(Suppl):e351S–e418S
  6. Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo. Venous Thrombosis. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. 2008. Chapter 111. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
  7. Hirsh, J dan J Hoak. Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. Circulation.1996; 93: 2212-2245 (dari: http://circ.ahajournals.org/ content/93/12/2212.full, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015, pkl 22.00)
  8. Hirsh, J, RD Hull, dan GE Raskob. Epidemiology and Pathogenesis of Venous Thrombosis. J Am Coll CardioI 1986;8:104B-113B. (dari: http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/22739/00122.pdf, diakses tanggal 5 Agustus 2015, pkl 22.05)
  9. Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duplex Scanning, The Am J of Surgery 160:120-206, 1990.
  10. Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.
  11. Thomas J.H et al. Pathogenesis Diagnosis, and Treatment of Thrombosis. The Am J of Surgery 160:547-551, 1990.
  12. Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J Med. 327:1128-1133, 1992.
  13. Brenner B et al. Quantiation of Venous Clot Lysis D – Dimer Immuboassay During Fibrinolytic Theraphy Requires Correction for Sluble Fibrin Dehidration. Circulation 81(6) : 1818-1825, 1990.
  14. Strandness D.E. et al : Long-term Sequelae of Acute Venous Thrombosis. JAMA 250:1289-1292, 1983.
  15. Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard Heparin for Prevention of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern Med. 119: 1105 – 1112.1993.
  16. Raju S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery 123:637-644, 1999.
  17. Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circulation 82:655-657, 1990.
  18. Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment of proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc Surg. 2000; 32:861-869
  19. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
  20. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
  21. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20
  22. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American College of Cardiology, 56:1-7
  23. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood, 99: 3102-3110
  24. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281
  25. Andrews KL, Gamble GL, et al. Vascular Diseases. In: Delisa JA, editor. Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice, 4th Edition. Phyladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 787-806.
  26. Kesteven P. Epidemiology of Venous Trombosis. In: Labropoulos N, Stansby G, editors. Venous and Lymphatic Diseases. New York, NY 1001: Taylor & Francis Group; 2006. p. 143-51.
  27. Bhatti A, Labropoulos N. The Pathophysiology of Deep Venous Trombosis. In: Labropoulos N, Stansby G, editors. Venous and lymphatic diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 131-6.
  28. Denekamp LJ, Folcarelli PH. Penyakit Pembuluh Darah. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2002. p. 656-83.
  29. Caggiati A. Venous and Lymphatic Anatomy. In: Labropoulos N, Stansby G, editors. 
  30. Venous and Lymphatic Diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 9-16.
  31. Smith PDC. Physiology of the Veins and Lymphatics. In: Labropoulos N, Stansby G, editors. Venous and
  32. Lymphatic Diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 23-9.
  33. Jusi D. Dasar-Dasar Bedah Vaskuler. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2004. p. 228-45.
  34. Malone PC, Agutter PS. The aetiology of deep venous trombosis. Q J Med. [Review article]. 2006;99:581–93.
  35. Rani AA, Soegondo, et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
  36. Leon L, Labropoulos N. Diagnosis of Deep Vein Trombosis. In: Labropoulos N, Stansby G, editors. Venous and lymphatic diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 113-6.
  37. Scarvelis D, Wells PS. Diagnosis and treatment of deep-vein trombosis. Canadian Medical Association Journal [Review article]. 2006 October 24, 2006:1087-92.
  38. Palareti G, Cosmi B, et al. d-Dimer Testing to Determine the Duration of Anticoagulation Therapy. The new england journal o f medicine. [original article]. Oct 2006:1780-90.
  39. Anonym. Simple Movements, Awareness and Safety. In: DVT TCtP, editor. www.preventdvt.org.
Kata Kunci Pencarian : Deep Vein Thrombosis, DVT, Trombosis Vena Dalam, Superfisial, Jurnal, Desertasi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Makalah, Referat, Ilmu Penyakit Dalam, Hematologi, Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan keperawatan

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.