Struma Nodosa Nontoksik (SNNT)

DEFINISI
       Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda adanya hipertiroidisme. Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa.

       Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda adanya hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Pada keadaan ini biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
        Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium karena asupan makanan. Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
        Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin. Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan.

goitre, goiter, struma, gondok, hipertiroidisme, hipotiroidisme, garam yodium, iodine, iodium, visible, palpable, kelas 2, class 2, inspeksi, pemeriksaan fisik, anamnesis, anamnese, situs colli, leher, jakun, adams apple, blonde girl patient, pasien berambut pirang
Contoh penampakan goitre struma yang palpable dan dapat terlihat (kelas II). Foto oleh  Drahreg01 dengan izin CC BY-SA 3.0

KLASIFIKASI
        Kelainan kelenjar tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Struma atau goiter adalah setiap pembesaran dari kelenjar tiroid.
        Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka bisa dibagi menjadi:
  1. Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan.
  2. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
  3. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
  4. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), menurut American society for Study of Goiter terbagi menjadi :
  1. Struma Non Toxic Diffusa 
  2. Struma Non Toxic Nodosa
  3. Struma Toxic Diffusa
  4. Struma Toxic Nodosa
       Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodosa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
       Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa disertai dengan gejala-gejala hipertiroid.
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :
  1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
  2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif: nodul dingin (cold nodule), nodul hangat (warm nodule), dan nodul panas (hot nodule).
  3. Berdasarkan konsistensinya: nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada struma gondok (goiter) endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:
  • Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaaan
  • Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
  • Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
  • Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
  • Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
  • Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala ditegakkan.
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
  1. Nontoxic diffuse goiter
  2. Endemic
  3. Iodine deficiency
  4. Iodine excess
  5. Dietary goitrogenic
  6. Sporadic
  7. Conngenital defect in thyroid hormone biosynthesis
  8. Chemichal agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid
  9. Iodine deficiency
  10. Compensatory following thyroidectomy
  11. Nontoxic nodular goiter due to causes listed above
  12. Uninodular or multinodular
  13. Functional, nonfunctional, or both.

ETIOLOGI
       Penyebab kelainan ini bermacam-macam. Pada setiap orang dapat dijumpai masa dimana kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa pertumbuhan, pubertas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi, atau stres lain. Pada masa-masa tersebut dapat ditemui hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia.
       Penyebab terbanyak dari struma non toksik adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.

Struma non toksik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1.  Kekurangan (defisiensi) yodium (iodine): Pembentukan struma terjadi pada defisiensi sedang iodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hipotiroidisme dan kreatinisme.
2.  Kelebihan iodium: jarang terjadi dan pada umumnya terjadi pada penyakit tiroid autoimun yang ada sebelumnya
3.  Goitrogen : 
  • Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, amino-glutethimide, expectorants, thiocarbamide, sulfonilurea yang mengandung iodium (Penghambatan sintesa hormon)
  • Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara. 
  • Makanan, Sayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar. (Menghambat sintesis hormon)
4.  Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosintesis hormon kelejar tiroid
5.  Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan struktural yang dapat berkelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut. 
6.  Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar tiroid timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat dijumpai adalah:
  1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidak adekuat.
  2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi menjadi iodium.
  3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul tiroglobulin, sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak terbentuk.
  4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari tirosin teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk membentuk hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi iodium.
Untuk lebih membantu pemahaman ada baiknya kita mengulas kembali secara singkat ilmu pre-klinik yang berkaitan dengan topik ini

Embriologi
       Glandula thyroidea mula-mula berkembang dari penonjolan endodermal pada garis tengah dasar pharynx, diantara tuberculum impar dan copula. Nantinya penebalan ini berubah menjadi divertikulum yang disebut ductus thyroglossalis. Dengan berlanjutnya perkembangan, duktus ini memanjang dan ujung distalnya menjadi berlobus dua. Duktus ini merubah menjadi tali padat dan bermigrasi menuruni leher, berjalan di sebelah anterior, atau posterior terhadap os hyoideum yang sedang berkembang. 
       Pada minggu ke tujuh, tiba pada posisi akhirnya di dekat larynx dan trachea. Sementara itu tali padat yang menghubungkan glandula thyroidea dengan lidah, terputus dan lenyap. Tempat asal ductus tyroglossalis pada lidah menetap sebagai suatu sumur yang disebut foramen caecum linquae. Kemudian, dua lobus pada ujung terminal ductus thyroglossalis akan membesar sebagai akibat proliferasi epitel dan membentuk glandula thyroidea.

Anatomi 
      Glandula thyroidea terdiri atas lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus yang sempit. Setiap lobus berbentuk buah avokad, dengan puncaknya ke atas sampai linea oblique cartilaginis thyroidea dan basisnya terdapat dibawah, setinggi cincin trachea ke-4 atau ke-5. Glandula thyroidea merupakan organ yang sangat vascular, dibungkus oleh selubung yang berasal dari lamina pretrachealis. Selubung ini melekatkan kelenjar ini ke larynx dan trachea. Juga sering didapatkan lobus piramidalis, yang menjalar ke atas dari isthmus, biasanya ke kiri garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke bagian anterior di hipofaring. Bagian atas dari lobus ini dikenal sebagai pole atas dari kelenjar tiroid, dan bagian bawah disebut sebagai pole bawah. Suatu pita fibrosa atau muscular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os hyoideum; jika ia muscular disebut sebagai muskulus levator glandulae thyroidea.
       Berat tiroid pada orang dewasa normal adalah 10-30 gram tergantung kepada ukuran tubuh dan suplai Iodium. Lebar dan panjang dari isthmus sekitar 20 mm, dan ketebalannya 2-6 mm. Ukuran lobus lateral dari pole superior ke inferior sekitar 4 cm. Lebarnya 15-20 mm, dan ketebalan 20-39 mm. Kelenjar tiroid terletak antara fascia colli media dan fascia prevertebralis. Di dalam ruangan yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis dan melingkari 2/3 bahkan sampai 3/4 lingkaran.
       Arteri carotis communis, vena jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama di dalam suatu ruang tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus recurrens terletak di dorsal sebelum masuk ke laring. Nervus phrenicus dan truncus symphaticus tidak masuk ke dalam ruang antara fascia media dan prevertebralis. 
       Limfe dari kelenjar tiroid terutama dicurahkan ke lateral, ke dalam nodi limfatici cervicales profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan turun ke nl. paratracheales. Seluruh cincin tiroid dibungkus oleh suatu lapisan jaringan yang dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari lapisan tengah fascia servicalis profundus yang mengelilingi tiroid dinamakan false capsule atau surgical capsule. Seluruh arteri dan vena, plexus limphaticus dan kelenjar paratiroid terletak antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua lobus tiroid. Aa. carotis superior dextra et sinistra, dan kedua aa. thyroidea inferior dextra et sinistra memberikan vaskularisasi untuk tiroid. Kadang kala dijumpai a. ima, cabang truncus brachiocephalica. Sistem vena berjalan bersama arterinya, persarafan diatur oleh nervus recurrens dan cabang dari nervus laryngeus superior, sedangkan sistem limfatik yang penting menerima aliran limfe tiroid terdiri dari pembuluh limfe superior yang menerima cairan limfe dari pinggir atas isthmus, sebagian besar permukaan medial lobus lateral, dan permukaan ventral dan dorsal bagian atas lobus lateral dan pembuluh limfe inferior yang menerima cairan limfe dari sebagian besar isthmus dan bagian bawah lobus lateral.
       Pada pembedahan tiroid penting memperhatikan jalan arteri pada pool atas kanan dan kiri, karena ligasi tinggi pada arteri tersebut dapat mencederai n. laryngeus superior, kerusakan nervus ini dapat mengakibatkan perubahan suara menjadi parau yang bersifat sementara namun dapat pula permanen.

Histologi
Kelenjar tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan jaringan ikat. Folikel-folikel tiroid dibatasi oleh epitel kubus dan lumennya terisi oleh koloid.
Kelenjar tiroid mengandung 2 tipe sel utama yaitu thyroid follicular cells dan C cells (parafollicular cells). Sel folikular menggunakan iodine dari darah untuk membuat hormone, yang membantu meregulasi metabolisme tubuh. Sel parafolikular membuat calcitonin (kalsitonin), suatu hormone yang membantu meregulasikan bagaimana tubuh menggunakan kalsium.

Fisiologi
      Sel tiroid adalah satu-satunya sel dalam tubuh manusia yang dapat menyerap iodin atau yodium yang diambil melalui pencernaan makanan. Iodin ini akan bergabung dengan asam amino tirosin yang kemudian akan diubah menjadi T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Dalam keadaan normal pengeluaran T4 sekitar 80% dan T3 15%. Sedangkan yang 5% adalah hormon-hormon lain seperti T2.
      T3 dan T4 membantu sel mengubah oksigen dan kalori menjadi tenaga (ATP = adenosin tri fosfat). T3 bersifat lebih aktif daripada T4. T4 yang tidak aktif itu diubah menjadi T3 oleh enzim 5-deiodinase yang ada di dalam hati dan ginjal. Proses ini juga berlaku di organ-organ lain seperti hipotalamus yang berada di otak tengah.
       Hormon-hormon lain yang berkaitan dengan fungsi tiroid ialah TRH (thyroid releasing hormon) dan TSH (thyroid stimulating hormon). Hormon-hormon ini membentuk satu sistem aksis otak (hipotalamus dan pituitari)- kelenjar tiroid. TRH dikeluarkan oleh hipotalamus yang kemudian merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan TSH. TSH yang dihasilkan akan merangasang tiroid untuk mengeluarkan T3 dan T4. Oleh kerena itu hal yang mengganggu jalur di atas akan menyebabkan produksi T3 dan T4.
       Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganic yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormone tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormone tiroid akan terikat dengan protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA). Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan penting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. 
       Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam pengeluaran hormone tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolism kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.

Metabolisme T3 dan T4
       Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler
Pengaturan faal tiroid : Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
  1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone). Tripeptida yang disintesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
  2. TSH (thyroid stimulating hormone). Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
  3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). T4 ini mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
  4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Fungsi kelenjar tiroid adalah menghasilkan hormon tiroid (T3 dan T4), selain itu juga menghasilkan kalsitonin yang berfungsi mengatur kalsium dalam darah. Fungsi tiroid ini diatur dan dikontrol oleh glikoprotein hipofisis TSH (tirotropin) yang diatur pula oleh hormon dari hipotalamus yaitu TRH. Tiroksin (T4) menunjukkan umpan balik negatif dari sekresi TSH dengan bekerja langsung pada tirotropin hipofisis.
       Biosintesis hormon tiroid merupakan suatu urutan proses yang diatur oleh enzim-enzim tertentu. Prosesnya sebagai berikut :
  • Penangkapan iodide. Penangkapan iodide oleh sel-sel folikel tiroid merupakan suatu proses aktif yang membutuhkan energi, yang didapatkan dari metabolisme aktif dalam kelenjar. Iodide yang tersedia sebagai bahan baku berasal dari makanan, air, iodide yang dilepaskan pada de-iodinasi hormon tiroid. Tiroid mengambil dan mengkonsentrasikannya hingga 30-40 kali kadarnya dalam plasma.
  • Oksidasi iodide menjadi iodium. Proses ini dikatalisir oleh enzim iodide peroksidase.
  • Organifikasi iodium menjadi mono-iodotirosin dan di-iodotirosin. Pada proses ini iodium digabungkan dengan molekul tirosin sehingga menjadi MIT dan DIT. Proses ini terjadi pada interfase sel koloid.
  • Proses penggabungan prekursor yang teriodinasi, dan
  • Penyimpanan.

Efek metabolik dan fisiologik hormon tiroid
Hormon tiroid diperlukan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hipertiroidisme atau hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai proses.2
Efek metabolik, sebagai berikut :
  • Termoregulasi dan kalorigenik
  • Metabolisme protein, dalam dosis fisiologik kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik.
  • Metabolisme karbohidrat, bersifat diabetogenik karena resopsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi insulin meningkat.
  • Metabolisme lemak, pada hiperfungsi tiroid maka kolesterol rendah, dan sebaliknya pada hipotiroidisme.
  • Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati.
  • Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati dan tonus traktus intestinal meningkat.
Efek fisiologik, sebagai berikut :
  • Pertumbuhan fetus, tidak cukupnya hormon tiroid menyebabkan lahirnya bayi kreatin.
  • Efek konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas, dirangsang oleh T3 melalui Na+K+ATPase disemua jaringan kecuali otak, testis dan limpa.
  • Efek kardiovaskular, secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardia.
  • Efek simpatik, sensitifitas terhadap katekolamin amat tinggi pada hipertiroidisme dan sebaliknya pada hipotiroidisme.
  • Efek Hematopoetik, kebutuhan akan oksigen meningkat pada hipertiroidisme menyebabkan eritropoisis dan produksi eritropoitin meningkat
  • Efek gastrointestinal, metabolisme usus meningkat pada hipertiroidisme dan terjadi sebaliknya pada hipotiroidisme.


PATOFISIOLOGI
      Iodium (Iodine) merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimulasi oleh Thyroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.
       Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul triyoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Thyroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihipofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Pembesaran pada kelenjar tiroid biasanya terjadi ketika folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun lamanya sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler.

MANIFESTASI KLINIS
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Pasien dapat tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme. Adanya benjolan yang dapat diraba di leher. Peningkatan metabolisme karena klien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi. Peningkatan aktivitas simpatis seperti ; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal :
  1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
  2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras
  3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
  4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
  5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
          Akibat berulangnya episode hiperplasia dan involusi dapat terjadi berbagai bentuk degenerasi seperti fibrosis, nekrosis, kalsifikasi, pembentukan kista, dan perdarahan ke dalam kista tersebut. Pada umumnya kelainan-kelainan yang dapat menampakkan diri sebagai struma nodosa nontoksik ialah adenoma, kista, perdarahan, tiroditis, dan karsinoma.


DIAGNOSIS
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.

Anamnesis 

1.  Informasi pasien
Anamnese sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis/macam kelainan dari struma nodosa non toksik tersebut. Perlu ditanyakan :
  • Umur, jenis kelamin, asal. Penting sekali menanyakan asal penderita, apakah penderita tinggal di daerah pegunungan atau dataran rendah, bertujuan apakah berasal dari daerah endemik struma.
  • Pembengkakan : mulainya kapan (jangka waktu) dan kecepatan tumbuh.
  • Keluhan penekanan : adakah dysphagia, dyspnea dan suara serak.
  • Keluhan toksik seperti : tremor, banyak keringat, BB turun, nafsu makan, palpitasi, nervous/gelisah tidak tenang.
  • Apakah ada keluarganya yang menderita penyakit yang sama dan meninggal.

2.  Riwayat penyakit
  • Keluhan yang ada dapat berupa rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
  • Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik).
  • Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis).
  • Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler)
  • Sejak kapan benjolan timbul
  • Rasa nyeri spontan atau tidak spontan ,berpindah atau tetap
  • Cara pembesarannya : cepat atau lambat
  • Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
  • Apakah banyak berkeringat dan sering berdebar-debar
  • Adakah pasien cepat lelah dan sesak bila bekerja
  • Apakah ada gangguan penglihatan seperti kabur dan penglihatan ganda
  • Apakah leher terasa membesar dan menonjol
  • Apakah ada gemetar pada badan atau ekstremitas
  • Penurunan berat badan dan pola serta nafsu makan
  • Gangguan tidur
  • Ketahanan terhadap udara panas atau dingin

3. Riwayat keluarga
  • Riwayat paparan penyinaran daerah pada waktu kecil/muda


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di mediall di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
  1. lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
  2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
  3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
  4. konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
  5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
  6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
  7. sternokleidomastoideus
  8. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.

Inspeksi situs colli : leher dibatasi di cranial oleh tepi rahang bawah, di kaudal oleh kedua tulang selangka dan tepi cranial sternum, di lateral oleh pinggir depan m. trapezius kiri dan kanan. Kedua muskulus sternocleidomastoideus selalu jelas terlihat, dan pada garis tengah dari cranial ke kaudal terdapat tulang hyoid serta kartilago tiroid, krikoid, dan trakea.

Palpasi situs colli : palpasi dapat dilakukan pada pasien dalam sikap duduk atau berbaring, dengan kepala dalam sikap fleksi ringan supaya regangan otot pita leher tidak mengganggu palpasi. Pada sikap duduk dilakukan pemeriksaan dari belakang penderita maupun dari depan. Sedangkan pada sikap berbaring digunakan bantal tipis di bawah kepala. Tulang hyoid, kartilago tiroid dan krikoid sampai cincin kedua trakaea biasanya mudah diraba di garis tengah. Cincin trakea yang lebih kaudal makin sukar diraba karena trakea mengarah ke dorsal. Pada gerakan menelan, seluruh trakea bergerak naik turun. Satu-satunya struktur lain yang turut dengan gerakan ini adalah kelenjar tiroid atau sesuatu yang berasal dari kelenjar tiroid.

Pemeriksaan Fisik bila dirunut
1.  Umum
2.  Lokal
  • Nodul tunggal atau majemuk,atau difus
  • Nyeri tekan
  • Konsistensi keras, kenyal atau lembik
  • Permukaan rata atau tidak
  • Perlekatan pada jaringan sekitarnya
  • Pendesakan atau pendorongan trakea
  • Pembesaran kelenjar getah bening regional
  • Pemberton’s sign yaitu adalah tanda dimana terjadi kongesti dan sianosis pada wajah ketika kedua lengan diangkat lurus keatas di samping kepala, hal ini disebabkan kongesti vena dikarenakan desakan goiter substernal

3.  Inspeksi dari depan penderita dilihat pembesaran nodul atau difus

4.  Palpasi dilakukan dari depan (anterior approach) dan dari belakang (posterior approach) dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.

5.  Pada palpasi harus diperhatikan :
  • Lokasi posisi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
  • ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
  • konsistensi
  • mobilitas
  • infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
  • apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)

6.  Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.

7. Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.

8.  Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik:
  • Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodull dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalamii degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak.
  • Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
  • Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan, walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar.
  • 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
  • Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif.
  • Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
  • Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berry’s sign)

9.  Pemeriksaan oftalmopati harus dilakukan. Antara lain pemeriksaannnya adalah seperti :
  • Jofroy Sign (tanda) : meminta pasien mengerutkan dahi.
  • Von Stelwag Sign : pasien yang mengalami kelainan tiroid akan sering mengedipkan mata
  • Von Grave Sign : meminta pasien melihat ke bawah dan dilihat palpebra superiornya.jika ada kelainan palpebra superior tidak akan tertutup dan bulbus okuli akan kelihatan.
  • Rosenbach Sign : meminta pasien menutup mata dan dilihat apakah palpebranya menagalami tremor dan bergetar
  • Moebius Sign : melakukan tes konvergensi mata.

10.  Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan juga adalah Pemberton Sign dan tes tremor.


Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dikategorikan:

1. Sangat mencurigakan
  • Adanya riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare
  • cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin
  • nodul padat atau keras
  • sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar
  • paralisis pita suara
  • metastasis jauh

2.  Kecurigaan sedang
  • umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
  • pria
  • riwayat iradiasi pada leher dan kepala
  • nodul > 4cm atau sebagian kistik
  • keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.

3.  Nodul jinak
  • riwayat keluarga: nodul jinak
  • struma difusa atau multinodosa
  • besarnya tetap
  • FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy/ Biopsi Aspirasi Jarum Halus): jinak
  • kista simpleks
  • nodul hangat atau panas
  • mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.


Index Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami eutiroid, hipotiroid atau hipertiroid
Gejala subjektif
Angka
Gejala objektif
Ada
Tidak
Dispneu d’ effort
+1
Tiroid teraba
+3
-3
Palpitasi
+2
Bruit diatas systole
+2
-2
Capai/lelah
+2
Eksoftalmus
+2
-
Suka panas
-5
Lid retraksi
+2
-
Suka dingin
+5
Lid lag
+1
-
Keringat banyak
+3
Hiperkinesis
+4
-2
Nervous
+2
Tangan panas
+2
-2
Tangan basah
+1
Nadi


Tangan panas
-1
<80x/m
-
-3
Nafsu makan
+3
80-90x/m
-

Nafsu makan
-3
>90x/m
+3

BB
-3
< 11 = eutiroid
11-18 = normal
> 19 = hipertiroid
BB
+3
Fibrilasi atrium
+3
Jumlah


Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid terbagi atas:

1.  Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
  Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.

2.  Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
  • antibodi tiroglobulin
  • antibodi mikrosomal
  • antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
  • antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
  • thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher [posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan leher.
radiologi, penyinaran, foto rontgen, x-ray, posisi anatomi, ismus tiroid, isthmus tiroid, hipotiroidisme, struma nodosa nontoksik, struma noduler nontoksik, pemeriksaan penunjang, hipertiroidisme, CT scan, MRI, catscan, magnetic resonance imaging, antero posterior, costa, costa vera, scapula, clavicula, skapula, klavikula, tulang belikat, deltoid, sternokleidomastoideus, sternocleidomastoidea, muskulus, ligamen, ligamentum, situs colli, pendorongan trakea, lobus tiroid, trakhea
contoh foto rontgen cervical antero posterior (AP) SNNT
radiologi, penyinaran, foto rontgen, x-ray, posisi anatomi, ismus tiroid, isthmus tiroid, hipotiroidisme, struma nodosa nontoksik, struma noduler nontoksik, pemeriksaan penunjang, hipertiroidisme, CT scan, MRI, catscan, magnetic resonance imaging, pendorongan trakea, lobus tiroid, trakhea
contoh foto rontgen cervical lateral SNNT

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
  • Kista
  • Adenoma
  • kemungkinan karsinoma
  • tiroiditis

USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
  1. Dapat menentukan jumlah nodul
  2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
  3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
  4. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
  5. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran tiroid.
  6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi terarah
  7. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan kinerja tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya. Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang menangkap iodida dan anion lain. Iodida selain mengalami proses trapping juga ikut dalam proses organifikasi, sedangkan ion pertechnetate hanya ikut dalam proses trapping. Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan sekaligus membedakan berbagaii penyebab hipertiroidisme dan juga menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan hipertiroidisme.
Pemeriksaan sidik tiroid : Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium (iodine) radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
  • Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
  • Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
  • Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan kadar hormon tiroid. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji angkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi.

Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy /FNAB)
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan dengan cara ini adalah dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
Metode ini mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. 
Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid.

1.  Jinak (negatif)
  • Tiroid normal
  • Nodul koloid
  • Kista
  • Tiroiditis subakut
  • Tiroiditis Hashimoto

2.  Curiga (indeterminate)
  • Neoplasma sel folikuler
  • Neoplasma Hurthle
  • Temuan kecurigaan keganasan tapi tidak pasti

3.  Ganas (positif)
  • Karsinoma tiroid papiler
  • Karsinoma tiroid meduler
  • Karsinoma tiroid anaplastik

Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe)/Frozen section pada operasi tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

Termografi
Termografi adalah metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarya > 0,9oC dan dingin apabila < 0,9oC. Pada penelitian Alves dkk. didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.

Petanda tumor (tumor marker)
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-30 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

Diagnosis struma nodosa nontoksik, sidik tiroid, aspirasi, observasi, nodul hangat, nodul panas, nodul dingin, L-thyroxin, USG, kista, padat, lobus, ismus, isthmus, Vries coupe, frozen section, potong beku, vries nodul tiroid, isthmolobektomi, jinak, ganas, maligna, benigna, papilare, folikulare, medulare, anaplastik, supresi TSH, Thyroid stimulating hormone, levotiroksin, Fine needle aspiration biopsy, Biopsi aspirasi jarum halus, BAJAH, FNAB, tiroidekstomi, kemoterapi, khemotherapi, chemotherapy,
Diagram diagnosis struma nodosa non toksik. *FNA=Fine Needle Aspiration

Komplikasi
  1. Gangguan menelan atau bernafas
  2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
  3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.


DIAGNOSIS DIFFERENSIAL

1. Hipertiroid
  • Merupakan penyakit yang menyebabkan peningkatan dari hormon tiroid dalam darah.
  • Gejala yang dirasakan adalah rasa gemetar pada jari tangan, lemas, jantung berdebar cepat, berkeringat banyak walau berada dalam suhu yang dingin, badan semakin kurus walaupun makan masih dalam jumlah yang banyak, pada keadaan yang lebih lanjut lagi disetai dengan diare yang banyak sehingga menyebabkan dehidrasi.
  • Pada penampakan di daerah leher terkadang disertai dengan pembesaran kelenjar gondok.

2. Hipotiroid
  • Gejalanya antara lain kelelahan, tidak toleran terhadap dingin, sembelit, dan kulit yang kering dan mengeripik

3. Ca tiroid
  • Suatu kanker pada kelenjar tiroid. Ada empat macam yaitu : papiler, folikuler, meduler, dan anaplastik
  • Nodul tiroid dengan konsistensi condong keras, tidak terasa adanya kapsul
  • Radiasi merupakan merupakan salah satu faktor resiko yang bermakna. Kurang lebih 25% orang yang mengalami radiasi pada usia muda kemudian timbul struma nodosa dan kurang lebih 25% dari struma ini akan menjadi adenokarsinoma tiroid


PENATALAKSANAAN

Pilihan terapi nodul tiroid:
  1. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
  2. Pembedahan
  3. Iodium radioaktif
  4. Suntikan etanol
  5. US (ultrasound) Guided Laser Therapy
  6. Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.

       Program pemberian kapsul minyak beriodium terutama dapat diberikan bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat. Edukasi dilakukan untuk merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
      Penyuntikan lipidol dapat diberikan untuk penduduk yang tinggal di daerah endemik dengan diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
       Pemberian preparat L-tiroksin selama 4-5 bulan dapat diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan sidik tiroid ulang. Apabila nodul mengecil maka terapi diteruskan namun apabila tidak mengecil atau bahkan membesar, dilakukan biopsi aspirasi atau operasi.
       Pemeriksaan klinis dilakukan untuk menentukan apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. 
       Bila nodul tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok parafin.   Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau khemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (Vries coupe).  

Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :

1. Lesi jinak. Maka tindakan operasi dapat menjadi pilihan setelah selesai dilanjutkan dengan   observasi

2. Karsinoma papilare. Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES.

  • Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi.
  • Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total. 

3. Karsinoma folikulare. Dilakukan tindakan tiroidektomi total

4. Karsinoma medulare. Dilakukan tindakan tiroidektomi total 

5. Karsinoma anaplastik.

  • Bila memungkinkan dilakukan tindakan    tiroidektomi total.  
  • Bila tidak memungkinkan,   cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan dengan  radiasi eksterna atau kemoradioterapi.

Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB ( Biopsi Jarum Halus ).  Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu :

  1. Hasil FNAB suspek maligna, “foliculare Pattern” dan “Hurthle Cell”. Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.
  2. Hasil FNAB benigna. FNA dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10 mm. Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan tindakan observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku (Frozen section) seperti diatas.


Diagnosis struma nodosa nontoksik, debulking, lobus, ismus, isthmus, radiasi eksterna, medikamentosa, farmakoterapi, terapi, pengobatan, penatalaksanaan, assessment, management, manajemen, Vries coupe, frozen section, potong beku, vries nodul tiroid, isthmolobektomi, jinak, ganas, maligna, benigna, papilare, folikulare, medulare, anaplastik, supresi TSH, Thyroid stimulating hormone, levotiroksin, Fine needle aspiration biopsy, Biopsi aspirasi jarum halus, BAJAH, FNAB, tiroidekstomi, kemoterapi, khemotherapi, chemotherapy,
Diagram penatalaksanaan struma nodosa nontoksik

Sesuai hasil biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH / FNAB), maka terapi :

1. Ganas  :  operasi tiroidektomi near total

2. Curiga ganas  : operasi dengan lebih dulu melakukan potong beku (VC)

  • Bila hasil ganas -> operasi tiroidektomi near total
  • Bila hasil jinak -> operasi lobektomi,atau tiroidektomi near Total.

*alternatif :  sidik tiroid, bila hasil = cold nodule -> operasi


3. Tak cukup / sediaan tak representatif Jika nodul solid ( saat FNAB ); ulang FNAB.

  • Bila klinis curiga ganas tinggi -> operasi lobektomi
  • Bila klinis curiga ganas rendah -> observasi
  • Jika nodul kistik (saat FNAB ) ; aspirasi
  • Bila kista regresi -> observasi
  • Bila kista rekurens,klinis curiga ganas rendah -> observasi
  • Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi -> operasi lobektomi


4. Jinak

  • Terapi dengan levo-tiroksin ( LT4) dosis subtoksis .
  • Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug ( 3 hari )
  • Dilanjutkan 3 x 25 ug ( 3 – 4 hari )
  • Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis ; dosis - menjadi 2 x 100 ug sampai 4 - 6 minggu, kemudian evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 ulU /L)
  • Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
  • Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak ( berhasil bila mengecil > 50 % dari volume awal )
  • Bila nodul mengecil atau tetap -> L–tiroksin dihentikan dan diobservasi;
  • Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi ( target TSH 0,1 – 0,3 ul U/L )
  • Bila setelah L-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi saja.
  • Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi -> obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi -> hasil PA :

          a. Jinak terapi dengan L_tiroksin : target TSH 0,5 – 3,0 uI U/L
          b. Ganas terapi L-tiroksin :
                • Individu dengan risiko ganas tinggi : target TSH < 0,01 – 0,05 uI U/L
                • Individu dengan risiko ganas rendah : target TSH 0,05 – 0,1 uI U / L

Strumektomi
      Strumektomi dilakukan pada struma yang besar dan menyebabkan keluhan mekanis. Strumektomi juga diindikasikan terhadap kista tiroid yang tidak mengecil setelah dilakukan biopsi aspirasi jarum halus. Nodul panas dengan diameter > 2,5 mm dilakukan operasi karena dikhawatirkan mudah timbul hipertiroidisme.
       Indikasi operasi (pembedahan) pada struma adalah:

  • struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
  • struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
  • struma dengan gangguan tekanan
  • kosmetik.

Kontraindikasi operasi pada struma:

  • struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
  • struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum terkontrol
  • struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
  • struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.


PROGNOSIS

  • Prognosisnya adalah baik (ad bonam).
  • Biasanya, struma (goiter) nontoksik tumbuh (membesar) dengan sangat perlahan dalam jangka waktu lama sampai bertahun-tahun. Jika ditemukan pertumbuhan yang cepat harus dievaluasi akan adanya degenerasi atau perdarahan dari nodul atau suatu pertumbuhan neoplasma. 
  • Seringkali, pasien dengan pembesaran struma progresif disertai disfagi atau dispneau harus dievaluasi untuk pertimbangan tiroidektomi subtotal. 
  • Pada beberapa pasien, terapi iodium radoaktif dapat dipertimbangkan terutama untuk pasien yang berusia tua.
  • Sebuah studi oleh Cramon et al menemukan bahwa perbedaan kualitas hidup baik yang spesifik terkait penyakit maupun kesehatan umum akan tetap ada sampai dengan enam bulan setelah penanganan pada pasien goitre nontoksik benigna.


Daftar Pustaka / Referensi
  • Mitchell, Richard Sheppard; Kumar, Vinay; Abbas, Abul K.; Fausto, Nelson. Robbins Basic Pathology (8th ed.). Philadelphia: Saunders.
  • Porth, C. M., Gaspard, K. J., & Noble, K. A. (2011). Essentials of pathophysiology: Concepts of altered health states (3rd ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.
  • Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol Metab. 2011 May. 96(5):1202-12.
  • Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al. Revised American Thyroid Association management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. 2009 Nov. 19(11):1167-214.
  • Knobel M. Etiopathology, clinical features, and treatment of diffuse and multinodular nontoxic goiters. J Endocrinol Invest. 2015 Sep 21.
  • Baloch ZW, LiVolsi VA. Fine-needle aspiration of the thyroid: today and tomorrow. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 2008 Dec. 22(6):929-39.
  • Lang BH, Zhi H, Cowling BJ. Assessing perioperative body weight changes in patients thyroidectomized for a benign nontoxic nodular goitre. Clin Endocrinol (Oxf). 2015 Sep 19.
  • Agarwal G, Aggarwal V. Is total thyroidectomy the surgical procedure of choice for benign multinodular goiter? An evidence-based review. World J Surg. 2008 Jul. 32(7):1313-24.
  • Weetman AP. Radioiodine treatment for benign thyroid diseases. Clin Endocrinol (Oxf). 2007 Jun. 66(6):757-64.
  • Baczyk M, Pisarek M, Czepczynski R, Ziemnicka K, Gryczynska M, Pietz L, et al. Therapy of large multinodular goitre using repeated doses of radioiodine. Nucl Med Commun. 2009 Mar. 30(3):226-31.
  • Bonnema SJ, Hegedus L. A 30-year perspective on radioiodine therapy of benign nontoxic multinodular goiter. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes. 2009 Oct. 16(5):379-84.
  • Duntas LH, Cooper DS. Review on the occasion of a decade of recombinant human TSH: prospects and novel uses. Thyroid. 2008 May. 18(5):509-16.
  • Medeiros-Neto G, Marui S, Knobel M. An outline concerning the potential use of recombinant human thyrotropin for improving radioiodine therapy of multinodular goiter. Endocrine. 2008 Apr. 33(2):109-17.
  • Braverman L, Kloos RT, Law B Jr, Kipnes M, Dionne M, Magner J. Evaluation of various doses of recombinant human thyrotropin in patients with multinodular goiters. Endocr Pract. 2008 Oct. 14(7):832-9.
  • Fast S, Nielsen VE, Grupe P, et al. Optimizing 131I uptake after rhTSH stimulation in patients with nontoxic multinodular goiter: evidence from a prospective, randomized, double-blind study. J Nucl Med. 2009 May. 50(5):732-7.
  • Bahn Chair RS, Burch HB, Cooper DS, et al. Hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis: management guidelines of the American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists. Thyroid. 2011 Jun. 21(6):593-646.
  • Yetkin G, Uludag M, Onceken O, et al. Does unilateral lobectomy suffice to manage unilateral nontoxic goiter?. Endocr Pract. 2010 Jan-Feb. 16(1):36-41.
  • Phitayakorn R, McHenry CR. Follow-up after surgery for benign nodular thyroid disease: evidence-based approach. World J Surg. 2008 Jul. 32(7):1374-84.
  • Barczynski M, Konturek A, Hubalewska-Dydejczyk A, et al. Five-year Follow-up of a Randomized Clinical Trial of Total Thyroidectomy versus Dunhill Operation versus Bilateral Subtotal Thyroidectomy for Multinodular Nontoxic Goiter. World J Surg. 2010 Feb 20.
  • Worni M, Schudel HH, Seifert E, et al. Randomized controlled trial on single dose steroid before thyroidectomy for benign disease to improve postoperative nausea, pain, and vocal function. Ann Surg. 2008 Dec. 248(6):1060-6.
  • Erbil Y, Barbaros U, Temel B, et al. The impact of age, vitamin D(3) level, and incidental parathyroidectomy on postoperative hypocalcemia after total or near total thyroidectomy. Am J Surg. 2009 Apr. 197(4):439-46.
  • Cramon P, Bonnema SJ, Bjorner JB, Ekholm O, Feldt-Rasmussen U, Frendl DM, et al. Quality of life in patients with benign nontoxic goiter: impact of disease and treatment response, and comparison with the general population. Thyroid. 2015 Mar. 25 (3):284-91.
  • Berghout A, Wiersinga WM, Drexhage HA, et al. Comparison of placebo with L-thyroxine alone or with carbimazole for treatment of sporadic non-toxic goitre. Lancet. 1990 Jul 28. 336(8709):193-7.
  • Bonnema SJ, Bertelsen H, Mortensen J, et al. The feasibility of high dose iodine 131 treatment as an alternative to surgery in patients with a very large goiter: effect on thyroid function and size and pulmonary function. J Clin Endocrinol Metab. 1999 Oct. 84(10):3636-41.
  • Braverman LE, Utiger RD, Hermus AR, Huysmans DA:. Clinical manifestations and treatment of nontoxic diffuse and nodular goiter. In: Werner & Ingbar's The Thyroid. Baltimore, Md: Lippincott Williams & Wilkins;. 2000. 866-871.
  • Hegedus L, Gerber H. Multinodular goiter. In: DeGroot LJ, Jameson JL, eds. Endocrinology. 2001. 2:1517-1528.
  • Hermus AR, Huysmans DA. Treatment of benign nodular thyroid disease. N Engl J Med. 1998 May 14. 338(20):1438-47.
  • Hollowell JG, Staehling NW, Hannon WH, et al. Iodine nutrition in the United States. Trends and public health implications: iodine excretion data from National Health and Nutrition Examination Surveys I and III (1971-1974 and 1988-1994). J Clin Endocrinol Metab. 1998 Oct. 83(10):3401-8.
  • Huysmans D, Hermus A, Edelbroek M, et al. Radioiodine for nontoxic multinodular goiter. Thyroid. 1997 Apr. 7(2):235-9.
  • Huysmans DA, Hermus AR, Corstens FH, et al. Large, compressive goiters treated with radioiodine. Ann Intern Med. 1994 Nov 15. 121(10):757-62.
  • Huysmans DA, Nieuwlaat WA, Erdtsieck RJ, et al. Administration of a single low dose of recombinant human thyrotropin significantly enhances thyroid radioiodide uptake in nontoxic nodular goiter. J Clin Endocrinol Metab. 2000 Oct. 85(10):3592-6.
  • Netterville JL, Coleman SC, Smith JC, et al. Management of substernal goiter. Laryngoscope. 1998 Nov. 108(11 Pt 1):1611-7.
  • Perrild H, Hansen JM, Hegedus L. Triiodothyronine and thyroxine treatment of diffuse non-toxic goitre evaluated by ultrasonic scanning. Acta Endocrinol (Copenh). 1982 Jul. 100(3):382-7.
  • Rios A, Rodriguez JM, Canteras M, et al. Surgical management of multinodular goiter with compression symptoms. Arch Surg. 2005 Jan. 140(1):49-53.
  • Ross DS. Thyroid hormone suppressive therapy of sporadic nontoxic goiter. Thyroid. 1992 Fall. 2(3):263-9.


Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Endokrinologi, Metabolik Endokrin, Gondok, Kelebihan Kekurangan yodium, Tesis, Desertasi, Disertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx

1 komentar:

  1. Tidak sulit dimengerti bagi awam yang hanya ingin tahu apa dan bagaimana SNNT .Thx

    BalasHapus

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.