Leptospirosis

Definisi
       Leptospirosis merupakan suatu zoonosis yang disebabkan suatu mikroorganisme, yaitu Leptospira tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki maupun perempuan semua umur dan dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever, dan lain-lain.
    Penyakit Leptospirosis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh strain Leptospira. Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi air kencing hewan - bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui mata atau selaput lendir. Hewan yang umum menularkan infeksi kepada manusia adalah tikus, musang, possum, rubah, musang kerbau, sapi atau binatang lainnya. Karena sebagian besar di Indonesia Penyakit ini ditularkan melalui kencing Tikus, Leptospirosis popular disebut penyakit kencing tikus.
         Meskipun lebih umum di daerah tropis, daerah perkotaan non-tropis dengan tingkat sanitasi rendah juga menemui lebih banyak kasus, terutama selama bulan-bulan musim panas dan musim gugur. Sebagian besar daerah perkotaan yang terkena merupakan kota-kota besar di negara berkembang.


Etiologi
            Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia dapat terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka/erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah tercemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira.
      Menurut beberapa penelitian, yang tersering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoirnya anjing, dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. Leptospira yang masuk melalui kulit maupun selaput lendir yang luka/erosi akan menyebar ke organ-organ dan jaringan tubuh melalui darah. Sistem imun tubuh akan berespons sehingga jumlah leptospira akan berkurang, kecuali pada ginjal, yaitu tubulus di mana akan terbentuk koloni-koloni pada dinding lumen yang mengeluarkan endotoksin dan kemudian dapat masuk ke dalam kemih.        Menurut WHO (World Health Organization), sekitar 10 juta orang diperkirakan terserang Leptospirosis setiap tahun. Tingkat kematian penyakit ini sulit untuk dihitung, karena Leptospirosis cenderung terjadi di beberapa bagian dunia dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang sangat mendasar yang tidak secara rutin melaporkan banyak penyebab kematian.

Perubahan iklim, termasuk meningkatnya kejadian banjir di seluruh dunia, membuat kemungkinan kejadian Leptospirosis global akan meningkat. WHO percaya angka kematian Leptospirosis mungkin antara 5% sampai 25% dari pasien yang terinfeksi. Ini tidak berarti bahwa orang yang terinfeksi dengan akses ke pelayanan kesehatan yang tepat memiliki risiko kematian yang sama.


Patogenesis
       Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering melalui tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia.
        Saat masuk ke ginjal, kuman akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada gangguan hati, akan tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, yang terjadi karena disfungsi sel-sel hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal dan menyebabkan edema (bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis lokal.
Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Gangguan paru adalah mekanisme sekunder dari kerusakan pada alveolar and vaskular interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang.
         Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tetapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang dapat mengakibatkan secondary end-organ injury.
          Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal.

      Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat terjadi pada seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan). Penularan juga dapat terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, pecikan darah manusia penderita leptospira meski kejadian ini jarang ditemukan.


Manifestasi Klinis
          Manifestasi klinis beragam, mulai dari gejala ringan seperti demam yang tak terlalu tinggi sampai berat seperti sindrom Weil. Masa tunas berkisar antara 2-26 hari (kebanyakan 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari). Pada leptospirosis akan ditemukan perjalanan klinis bifasik, yaitu leptospiremia di mana leptospira ditemukan dalam darah, fase imun, dan fase penyembuhan. Pada fase leptospiremia timbul gejala demam yang mendadak, disertai gejala sakit kepala terutama di bagian frontal, oksipital, atau bitemporal. Pada otot akan timbul keluhan mialgia dan nyeri tekan terutama pada otot gastroknemius, paha, dan pinggang yang diikuti dengan hiperestesia kulit. Pada fase yang berlangsung selama 4-9 hari ini juga dapat ditemui gejala menggigil dan demam tinggi, mual, muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptisis, penurunan kesadaran, dan injeksi konjungtiva. Injeksi faringeal, kulit dengan ruam berbentuk makular/makulopapular/urtikaria yang tersebar pada badan, splenomegali, dan hepatomegali. Fase berikutnya adalah fase imun yang berkaitan dengan munculnya antibodi IgM sementara konsentrasi C3 tetap normal. Manifestasi klinis fase ini lebih bervariasi dibandingkan pada fase leptospiremia. Setelah gejala asimtomatik selama 1-3 hari, gejala klinis pada fase leptospiremia yang sudah menghilang akan muncul kembali, dan kadang disertai meningismus. Pada fase ini, demam jarang melebihi 39oC dan berlangsung selama 1-3 hari. Gejala lain yang muncul pada fase imun ini adalah iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis, serta neuropati perifer. Pada fase 3, yaitu fase penyembuhan yang biasanya terjadi pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 dan dapat ditemukan demam atau nyeri otot yang kemudian berangsur-angsur hilang.

           Pada leptospirosis terdapat beberapa gambaran klinis yang khas, seperti sindrom Weil, meningitis aseptik, pretibial fever, dan miokarditis. Pada sindrom Weil yang disebabkan L. icterohaemorrhagiae maupun serogrup lain yang terdapat pada 1-6% kasus leptospirosis, ditemukan ikterus yang terkadang disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, dan demam dengan tipe febris kontinua. Gejala khas sindrom Weil muncul pada hari 3-6 dan didahului dengan gejala awal yang tidak berbeda dengan leptospirosis biasa. Penurunan demam bisa terjadi pada hari ke-7 tapi pada kekambuhan terdapat demam sampai beberapa minggu. Hati membesar dan nyeri tekan dengan serum glutamik oksaloasetat transaminase (SGOT) meninggi, namun tidak melebihi 5 x normal dan bilirubin meninggi sampai 40 mg% karena hambatan pada ekskresi bilirubin.

             Manifestasi gangguan ginjal ditandai dengan adanya proteinuria dan azotemia dan bila berat dapat terjadi nekrosis tubular akut dan oliguria. Peninggian blood urea nitrogen (BUN) yang hebat dapat terjadi pada hari ke-5 sampai ke-7. Pada sindrom Weil bisa juga terjadi perdarahan karena proses vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia, misalnya epistaksis, hemoptisis, hematemesis, melena, perdarahan adrenal serta pneumonitis hemoragik di paru. meningitis aseptik terjadi pada 5-13% pasien leptospirosis. Pada fase imun dari penyakit yang tersering disebabkan karena L. canicola ini, terjadi pleiositosis yang hebat dan cepat dengan jumlah leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3 kadang sampai 1.000 dengan sel terbanyak adalah sel leukosit neutrofil atau sel mononuklear. Glukosa dalam cairan serebrospinal bisa normal atau menurun.
           Peninggian protein yang bisa mencapai 100 mg% dapat dipakai untuk membedakan meningitis aseptik yang disebabkan leptospira dengan virus. L. automnalis, karena tersering menyebabkan pretibial fever yang onsetnya tiba-tiba dengan gambaran khas adanya ruam berdiameter 3-5 cm yang menonjol dan eritematosa dengan distribusi yang simetris di daerah pretibial. Pada 95% pasien ditemukan splenomegali. L. pomona yang biasanya menyebabkan ruam pada badan kadang menyebabkan pretibial fever. Miokarditis yang disertai aritmia jantung berupa fibrilasi atrial, flutter atrial, takikardi ventrikular, dan ventricular premature beat dapat disebabkan infeksi L. pomona dan L. grippotyphosa.


Komplikasi
        Pada leptospirosis, komplikasi yang sering terjadi ialah iridoksiklitis, gagal ginjal, miokarditis, meningitis aseptik, dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian.


Diagnosis
       Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok orang dengan risiko tinggi seperti berpergian di hutan belantara, rawa, sungai, atau petani dan gejala klinis berupa demam yang muncul tiba-tiba, nyeri kepala, terutama di bagian frontal, mata merah/fotofobia, keluhan gastointestinal, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, bradikardi, nyeri tekan otot, ruam pada kulit, hepatomegali, dan lain-lain. Pada laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan sedimen sel torak. Bila terdapat hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase meningkat. BUN, ureum, dan kreatinin bisa meningkat bila terdapat komplikasi pada ginjal.

Anamnesis: demam disertai menggigil ,sakit kepala, anoreksia, mialgia yang hebat pada betis, paha dan pinggang disertai nyeri tekan, mual, muntah, diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan kesadaran.
Pemeriksaan fisik: febris, ikterus, nyeri tekan pada otot, ruam kulit, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, edema, bradikardirelatif, konjungtiva suffusion, gangguan perdarahan berupa petekie, purpura, epistaksis dan perdarahan gusi, kaku kuduk sebagai tanda meningitis.
Pemeriksaan laboratorium:
1. Darah rutin:
  • Jumlah leukosit antara 3000-26000/mikroliter, dengan pergeseran ke kiri (shuft to the left)
  • Trombositopenia ringan terjadi pada 50% pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal.
2. Urin rutin:
  • Sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular), jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat.
  • Proteinuria ringan
Diagnosis ditegakkan pada pasien dengan demam tiba-tiba, menggigil, terdapat tanda konjungtiva suffusion, sakit kepala, myalgia, ikterus dan nyeri tekan pada otot. Semakin meyakinkan jika ada riwayat bekerja atau terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi kencing tikus. 

Diagnosis Banding
  Influenza yang sporadik, meningitis aseptik viral, riketsiosis, semua penyakit dengan ikterus (hepatitis, demam kuning, dll.), glandular fever, bruselosis, pneumonia atipik, demam berdarah dengue, penyakit susunan saraf yang akut, dan fever of unknown origin (FUO).


Penatalaksanaan
        Obat antibiotik yang biasa diberikan adalah penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan siprofloksasin. Obat pilihan pertama adalah penisilin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah pemberian penisilin G terlihat reaksi Jarisch-Hexheimmer yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira. Obat-obat ini efektif pada pemberian hari 1-3 namun kurang bermanfaat bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal, dan meningitis. Tindakan suportif diberikan sesuai keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
Langkah penatalaksanaan:
  • Pengobatan supportive: observasi ketat mendeteksi dan mengatasi dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
  • Antibiotik harus dimulai secepatnya.
  • Pada kasus ringan: antibiotika oral seperti doksisiklin, ampislin, amoksisilin, atau erytromicin.
  • Pada kasus leptospirosis berat diberikan dosis tinggi penicillin injeksi.
Contoh resep terapi leptospirosis, doksisiklin kapsul 100 mg 20 butir, paracetamol tablet 500 mg 10 butir 3 kali sehari bila perlu saat demam
Contoh resep terapi leptospirosis
Kriteria rujukan pada fasilitas kesehatan primer (faskes primer) / PPK 1 (pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama): Terdapat komplikasi seperti meningitis, distress respirasi, gagal ginjal karena renal interstitial tubular necrosis, gagal hati, gagal jantung.


Prognosis
        Tergantung keadaan umum pasien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat seperti gagal ginjal, atau perdarahan dan terlambatnya pasien mendapat pengobatan.


Pencegahan Leptospirosis
      Para ahli mengatakan bahwa untuk pencegahan Leptospirosis, mereka yang rutin melakukan aktivitas di air tawar harus memastikan bahwa setiap luka dikulit harus ditutupi dengan berpakaian tahan air (juga untuk melindungi terhadap infeksi lain, seperti hepatitis A atau giardiasis). Setelah berenang di daerah air tawar, harus mandi secara menyeluruh.

Pencegahan di tempat kerja 
          Bagi mereka yang selalu melakukan kontak dengan hewan, atau air atau tanah yang berpotensi terkontaminasi harus memastikan mereka memakai pakaian pelindung yang sesuai dengan aturan, seperti mengenakan sarung tangan, masker, sepatu boot dan/atau kacamata pelindung.

Perjalanan ke negara-negara lain 
          Di daerah di mana Leptospirosis adalah umum, jangan berenang di air tawar, dan hanya melakukan kontak dengan air tawar jika mengenakan pakaian yang cukup melindungi. Minumlah air kemasan bersegel, atau air tawar yang direbus. Pastikan setiap lesi kulit terbungkus dalam pakaian tahan air. Jika terluka, segera perban dan bersihkan.
             Anggota tim penyelamat atau personel militer di zona bencana disarankan minum antibiotik sebagai tindakan pencegahan (profilaksis).




Kata Kunci Pencarian : Leptospirosis, Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Jurnal, Tesis, Makalah, Referat, Artikel, Desertasi, Parasit, Parasitologi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Ilmu Penyakit Dalam, Infeksi Tropik, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.