Kor Pulmonal

Definisi
            Kor pulmonal / Cor Pulmonale atau disebut juga Pulmonary Heart Disease adalah suatu kondisi gagal jantung sisi kanan (bilik kanan) dimana terjadi perubahan struktur atau fungsi dengan penyebab primer (diakibatkan) kelainan paru yang kronik yang dapat berupa  hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru.
      Kelainan paru kronik seringkali menyebabkan jaringan paru menjadi mengeras karena terbentuk jaringan ikat (fibrosis) yang menyebabkan bilik kanan harus memompa lebih kuat untuk mengalirkan darah ke paru. Dalam jangka waktu lama hal ini menyebabkan bilik kanan menebal dan membengkak yang pada akhirnya menurunkan kemampuan kontraksi atau pompa bilik kanan.
            Hipertensi pulmonal merupakan akibat umum antara disfungsi paru dan jantung pada kor pulmonal. Penyakit ventrikel sisi kanan jantung yang disebabkan kelainan primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung kongenital tidak termasuk kor pulmonal, akan tetapi kor pulmonal dapat berkembang menjadi berbagai macam proses penyakit kardiopulmonal. Walaupun kor pulmonal lebih dikenal dengan perjalanan penyakit yang kronik dan progresif lambat, onset akut atau perburukan kor pulmonal dengan komplikasi yang mengancam nyawa dapat terjadi.
            Kor pulmonal kronik biasanya berakibat pada hipertrofi (pembesaran) ventrikel kanan / right ventricular hypertrophy (RVH), dimana kor pulmonal akut biasanya berakibat pada dilatasi. Hipertrofi merupakan respons adaptif terhadap peningkatan tekanan dalam jangka waktu yang lama. Masing-masing sel otot bertambah besar (dalam ketebalan) dan berubah untuk mendorong daya kontraktil yang meningkat yang dibutuhkan untuk menggerakkan darah terhadap tahanan yang membesar. Dilatasi adalah peregangan (dalam panjang) dari ventrikel sebagai respons terhadap peningkatan tekanan dalam jangka waktu pendek (akut), contohnya disebabkan emboli pulmonal atau embolism atau ARDS (acute respiratory distress syndrome).
            Agar dapat diklasifikasikan sebagai kor pulmonal, penyebab harus berasal dari sistem sirkulasi pulmonal. Dua penyebab utama adalah perubahan vaskuler sebagai akibat dari kerusakan jaringan (misalnya penyakit, cedera hipoksik, agen kimia, dan lain-lain), penyebab kedua adalah vasokonstriksi hipoksik pulmonal. Jika dibiarkan, dapat terjadi kematian. RVH (hipertrofi ventrikel kanan) karena defek sistemik tidak diklasifikasikan sebagai kor pulmonal. 
Hipertrofi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal cor pulmonale
Hipertrofi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal (dikutip dari wikipedia.org)
            Jantung dan paru berhubungan secara rumit. Ketika jantung dipengaruhi oleh suatu penyakit, maka paru akan mengikuti, begitu juga sebaliknya. Kor pulmonal secara harfiah diartikan kondisi dimana paru menyebabkan kegagalan jantung.
            Jantung memiliki dua ruangan pemompa. Ventrikel kiri memompa darah keseluruh tubuh. Ventrikel kanan memompa darah ke paru dimana terjadi oksigenasi dan kembali ke jantung sisi kiri untuk distrubusi selanjutnya. Dalam keadaaan normal, jantung kanan memompa darah menuju paru tanpa adanya tahanan. Paru biasanya memiliki tekanan minimal, dan jantung sisi kanan dengan mudah memompa darah melaluinya. Namun apabila terdapat beberapa penyakit paru tertentu, seperti emfisema dan bronkitis kronik, yang ditemukan pada patologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) / chronic obstructive pulmonary disease (COPD), dan juga hipertensi pulmonal, jumlah pembuluh darah berkurang secara signifikan (dikarenakan kerusakan jaringan / tissue) dan / atau mengalami konstriksi kronik (karena ventilasi buruk pada alveolar pada kasus COPD). Ventrikel kanan tidak lagi dapat mendorong darah masuk kedalam paru secara efektif, dan beban yang terlalu berat (overload) secara kronik pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan.


Untuk lebih dapat memahami penyakit ini, ada baiknya kita recall kembali anatomi dan fisiologi jantung dan paru.

Anatomi Jantung dan Paru
Anatomi Jantung
            Jantung terletak di rongga toraks di antara paru – paru. Lokasi ini dinamakan mediastinum. Jantung memiliki panjang kira-kira 12 cm (5 in.), lebar 9 cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm (2,5 in.), dengan massa rata – rata 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Dua pertiga massa jantung berada di sebelah kiri dari garis tengah tubuh. Pangkal jantung berada di bagian paling atas, di belakang sternum, dan semua pembuluh darah besar masuk dan keluar dari daerah ini. Apeks jantung yang dibentuk oleh ujung ventrikel kiri menunjuk ke arah anterior, inferior, dan kiri, serta berada di atas diafragma.
            
           Membran yang membungkus dan melindungi jantung disebut perikardium. Perikardium menahan posisi jantung agar tetap berada di dalam mediastinum, namum tetap memberikan cukup kebebasan untuk kontraksi jantung yang cepat dan kuat. Perikardium terdiri dari dua bagian, yaitu perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Perikardium fibrosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat, padat, dan tidak elastis. Sedangkan perikardium serosa lebih tipis dan lebih lembut dan membentuk dua lapisan mengelilingi jantung. Lapisan parietal dari perikardium serosa bergabung dengan perikardium fibrosa. Lapisan viseral dari perikardium serosa, disebut juga epikardium, melekat kuat pada permukaan jantung. Di antara perikardium parietal dan viseral terdapat cairan serosa yang diproduksi oleh sel perikardial. Cairan perikardial ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara lapisan – lapisan perikardium serosa saar jantung berdenyut. Rongga yang berisi cairan perikardial disebut sebagai kavitas perikardial.
            Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikardium (lapisan paling luar), miokardium (lapisan bagian tengah), dan endokardium (lapisan paling dalam). Seperti yang telah disebutkan di atas, lapisan epikardium merupakan lapisan viseral perikardium serosa yang disusun oleh mesotelium dan jaringan ikat lunak, sehingga tekstur permukaan luar jantung terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot jantung yang menyusun hampir 95% dinding jantung. Miokardium bertanggung jawab untuk pemompaan jantung. Meskipun menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja involunter seperti otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan terdalam dinding jantung, endokardium, merupakan lapisan tipis endotelium yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan membungkus katup jantung.
            Jantung mempunyai empat ruangan. Dua ruangan penerima di bagian superior adalah atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di bagian inferior adalah ventrikel. Atrium kanan membentuk batas kanan dari jantung dan menerima darah dari vena kava superior di bagian posterior atas, vena kava inferior, dan sinus koroner di bagian lebih bawah.  Atrium kanan ini memiliki ketebalan sekitar 2 – 3 mm (0,08 – 0,12 in.). Dinding posterior dan anteriornya sangat berbeda, dinding posteriornya halus, sedangkan dinding anteriornya kasar karena adanya bubungan otot yang disebut pectinate muscles. Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis yang dinamakan septum interatrial. Darah mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan melewati suatu katup yang dinamakan katup trikuspid atau katup atrioventrikular (AV) kanan.
            Ventrikel kanan membentuk pemukaan anterior jantung dengan ketebalan sekitar 4 – 5 mm (0,16 – 0,2 in.) dan bagian dalamnya dijumpai bubungan - bubungan yang dibentuk oleh peninggian serat otot jantung yang disebut trabeculae carneae. Ventrikel kanan dan ventrikel kiri dipisahkan oleh septum interventrikular. Darah mengalir dari ventrikel kanan melewati katup pulmonal ke arteri besar yang dinamakan trunkus pulmonal. Darah dari trunkus pulmonal kemudian dibawa ke paru – paru. Atrium kiri memiliki ketebalan yang hampir sama dengan atrium kanan dan membentuk hampir keseluruhan pangkal dari jantung. Darah dari atrium kiri mengalir ke ventrikel kiri melewati katup bikuspid (mitral) atau katup AV kiri. Ventrikel kiri merupakan bagian tertebal dari jantung, ketebalan sekitar 10 – 15 mm (0,4 – 0,6 in.) dan membentuk apeks dari jantung. Sama dengan ventrikel kanan, ventrikel kiri mempunyai trabeculae carneae dan chordae tendineae yang menempel pada muskulus papilaris. Darah dari ventrikel kiri ini akan melewati katup aorta ke ascending aorta. Sebagian darah akan mengalir ke arteri koroner dan membawa darah ke dinding jantung.

Anatomi Paru-Paru
            Bagian-bagian utama paru-paru adalah alveoli, trakea, diafragma, bronki, dan bronkioli. Trakea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat lalunya udara. Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea menuju paru-paru. Bronki merupakan batang yang menghubungkan paru-paru kanan dan kiri dengan trachea. Udara dari trakea akan dibawa keparu-paru lewat batang ini. Bronkioli merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-tabung kecil yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru. Bronkioli ini akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru. Alveoli merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paru-paru manusia dewasa. Pada alveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida yang diambil dari dalam darah.

Apeks Pulmo           
Berbentuk bundar menonjol ke arah dasar yang melebar melewati apartura torasis superior 2,5-4 cm di atas ujung iga pertama.

Basis Pulmo 
Pada paru-paru kanan, bagian yang berada di atas permukaan cembung diafragma akan lebih menonjol ke atas daripada paru-paru bagian kiri, maka basis paru kanan lebih kontak dari pada paru-paru kiri.

Insisura Pulmo
            Dengan adanya fisura atau takik yang ada pada umumnya, paru-paru dapat dibagi menjadi beberapa lobus. Letak insisura dan lobus dapat digunakan untuk menentukan suatu diagnosis. Pada paru-paru kiri terdapat insisura yaitu insisura obligus. Insisura ini membagi paru-paru kiri atas menjadi dua lobus yaitu:
  1. Lobus superior adalah bagian paru-paru yang terletak di atas dan sebagian di depan insisura.
  2. Lobus inferior adalah bagian paru-paru yang terletak di belakang dan di bawah insisura. Paru-paru kanan memiliki dua insisura yaitu insisura obligue dan insisura interlobularies sekunder.
  3. Insisura obligue (interlobularies primer): mulai daerah atas dan ke belakang sampai ke hilus setinggi vertebrata torakalis ke-4 terus ke bawah dan ke depan searah dengan iga ke-6 sampai linea aksilaris media ke ruang interkostal ke-6 memotong margo inferior setinggi artikulasi iga ke-6 dan kembali ke hilus.
  4. Insisura interlobularies sekunder: mulai insisura obligue pada aksilaris media berjalan horizontal memotong margo anterior pada artikulasio kosta kondralis keenam terus ke hilus. Insisura obligue memisahkan lobus inferior dari lobus medius dan lobus posterior. Insisura horizontal memisahkan lobus medius dari lobus superior.

Radiks Pulmonalis
Susunan dalam jaringan penyambung media spenalis dikelilingi oleh garis peralihan pleura, susunan alat utama bronkus, arteri pulmonalis, dan vena pulmonalis segmen pulmonari. Dari bronkus lobaris radiks pulmonari bercabang menjadi bronkus segmentorum. Segmen bronkus pulmonari adalah daerah yang diurus oleh cabang-cabang bronkus segmentorum, dan mendapat darah dari arteri yang berjalan bersama bronkus segmentorum yang berdekatan, sedangkan darah vena diatur oleh vena-vena yang terletak intersegmental.

Pleura
            Pleura adalah suatu membran serosa yang halus membentuk suatu kantong tempat paru-paru berada yang berjumlah dua buah yaitu kiri dan kanan, serta saling berhubungan.

Pleura mempunyai dua lapisan yaitu permukaan parietalis dan permukaan viseralis.
  1. Lapisan permukaan disebut pleura parietalis yang langsung berhubungan dengan paru-paru serta memasuki fisura paru-paru dan memisahkan lobu-lobus dari paru-paru.
  2. Lapisan dalam disebut pleura viseralis. Lapisa ini berhubungan dengan fasia endotoraskia dan merupakan permukaan dalam dari dinding toraks. Sesuai dengan letaknya pleura parietalis yang langsung memeliki empat bagian sebagai berikut.
  3. Pleura kostalis: menghadap ke permukaan lengkun kosta dan otot-otot yang terdapt diantaranya. Bagian depan dari pleura kostalis mencapai sternum, sedangkan bagian belakangnya melewati iga-iga di samping vertebrata. Bagian ini merupakan bagian yang paling tebal dan yang paling kuat dalam dinding toraks.
  4. Pleura servikalis: bagian pleura yang melewati apartura torasis superior, memiliki dasar lebar, berbentuk seperti kubah, dan diperkuat oleh membran suprapleura.
  5. Pleura diafragmatika: bagian pleura yang berada di atas diafragma.
  6. Diafragma mediastinalis: bagian pleura yang menutup permukaan lateral mediastinum serta susunan yang terletak di dalamnya.

Sinus Pleura                                                                       
Tidak seluruh kantong yang dibentuk oleh lapisan pleura diisi secara sempurna oleh paru-paru baik kearah bawah maupun ke arah depan. Kavum pleura hanya dibentuk oleh lapisan pleura parietalis, rongga ini disebut sinus pleura (recessus pleura). Pada waktiu inspirasi, bagian paru-paru akan memasuki sinus dan pada waktu ekspirasi akan ditarik kembali dari rongga tersebut. Sinus pleura terdiri atas dua bagian yaitu yaitu sinus kostomediastinalis dan sinus frenikokostalis.
  1. Sinus kostomediastinalis: terbentuk pada pertemuan pleura mediastinalis dengan pleura kostalis. Pada waktu inspirasi sinus ini hampir semua terisi oleh paru-paru.
  2. Sinus frenikokostalis: terbentuk pada pertemuan pleura diafragmatika denga pleura kostalis. Pada inspirasi yang sangat dalam bagian ini belum dapat diisi oleh pengembangan paru-paru.

Ligamentum Pulmonale
            Radiks pulmonalis bagian depan, atas dan belakang ditutupi oleh pertemuan pleura parietalis dan pleura viseralis. Bagian bawah radiks yang berasal dari depan dan belakang bergabung membentuk lipatan yang disebut ligamentum pulmontale. Ligamentum ini terdapat di antara bagian bawah fasies mediastinalis dan perikardium, kemudian berakhir pada tepi yang bulat. 

Pembuluh Limfe
            Di dalam paru-paru terdapat dua pasang pembuluh limfe yang saling berhubungan. Bagian superfisial pembuluh limfe yang terletak dalam pleura ini berkurang relatif besar dan membatasi lobus di permukaan paru. Pembuluh limfe tampak hitam karena penghisapan zat karbon khususnya pada individu yang tinggal di perkotaan.
            Pembuluh limfe yang lebih kecil membentuk jala-jala halus pada tepi lobulus. Pembuluh superfisial ini mengalir sepanjang tepi paru-paru menuju ke hilus. Bagian profunda atau pulmonal berjalan bersama ke bronkus sedangkan arteri pulmonalis dan bronki meluas hanya sampai ke duktus alviolaris bagian tepi. Semua mengalir ke bagian pusat hilus dan bertemu dengan pembuluh limfe eferen superfisial. Nodus limfatikus banyak dijumpai di bagian hilus.


Fisiologi Jantung dan Paru
Fisiologi Jantung
Siklus Jantung
            Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung.
            Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akhirnya, volume ventrikel perlahan–lahan meningkat bahkan sebelum atrium berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup.
            Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat sampai tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik. Pada saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat. Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar. Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.

Curah Jantung dan Kontrolnya
            Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh tiap – tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Selama satu periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir melalui sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut, dapat terjadi variasi minor. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata – rata adalah 70 kali per menit, yang ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata – rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata – rata adalah 4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit.
            Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per menit, sehingga kecepatan denyut rata – rata adalah 70 kali per menit. Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus SA dan nodus atrioventrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah.
            Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yang mengontrol kerja jantung pada situasi – situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus.
            Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup. Terdapat dua jenis kontrol yang mempengaruhi volume sekuncup, yaitu kontrol intrinsik yang berkaitan dengan seberapa banyak aliran balik vena dan kontrol ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada jantung. Kedua faktor ini meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kontraksi otot jantung. Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup membentuk kontrol intrinsik atas volume sekuncup, yang mengacu pada kemampuan inheren jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar pengisian saat diastol, semakin besar volume diastolik akhir dan jantung semakin teregang. Semakin teregang jantung, semakin meningkat panjang serat otot awal sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya yang lebih kuat, sehingga volume sekuncup menjadi lebih besar. Hubungan antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup ini dikenal sebagai hukum Frank-Starling pada jantung.
            Secara sederhana, hukum Frank-Starling menyatakan bahwa jantung dalam keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan kepadanya, peningkatan aliran balik vena menyebabkan peningkatan volume sekuncup. Tingkat pengisian diastolik disebut sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang diberikan ke jantung sebelum kontraksi mulai. Sedangkan tekanan darah di arteri yang harus diatasi ventrikel saat berkontraksi disebut sebagai afterload karena merupakan beban kerja yang ditimpakan ke jantung setelah kontraksi di mulai. Selain kontrol intrinsik, volume sekuncup juga menjadi subjek bagi kontrol ekstrinsik oleh faktor – faktor yang berasal dari luar jantung, diantaranya adalah efek saraf simpatis jantung dan epinefrin.

Tekanan Darah
            Tekanan darah adalah tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena penekanan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dicapai arteri selama sistol, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah terendah yang dicapai arteri selama diastol. Tekanan arteri rata – rata (mean arterial pressure) adalah tekanan rata – rata yang bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama seluruh siklus jantung. Perkiraan tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Tekanan arteri rata – rata = tekanan darah diastolik + 1/3 (tekanan darah sistolik – tekanan darah diastolik)
            Pengaturan tekanan arteri rata – rata bergantung pada dua kontrol utamanya, yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Kontrol curah jantung bergantung pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, sementara resistensi perifer total terutama ditentukan oleh derajat vasokonstriksi arteriol.
            Pengaturan jangka pendek tekanan darah terutama dilakukan oleh reflex baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus – menerus memantau tekanan arteri rata – rata. Kontrol jangka panjang tekanan darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol keseimbangan garam dan air oleh ginjal.

Fisiologi Paru-Paru
            Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.
            Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.
            Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
            Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama.

Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh. Sebagaimana mekanisme tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan humoral. Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru dibagi atas:
1.         Filtrasi udara
       Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
  •     Yang berdiameter 5-7 μ akan tertahan di orofaring.
  •     Yang berdiameter 0,5-5 μ akan masuk sampai ke paru-paru.
  •     Yang berdiameter 0,5 μ dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat pula di keluarkan bersama sekresi.
2.         Mukosilia
       Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan oleh silia keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini tergantung pada kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia yang mungkin terganggu oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun hiperkapnia.
3.         Sekresi Humoral Lokal
       Zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
  • Lisozim, dimana dapat melisis bakteri
  • Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik
  • Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam membunuh virus.
  • Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya infeksi virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru yang berulang.
4.         Fagositosis
       Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan sebagai fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
       Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :
  • Gerakan mukosiliar.
  • Faktor humoral lokal.
  • Reaksi sel.
  • Virulensi dari kuman yang masuk.
  • Reaksi imunologis yang terjadi. Berbagai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti alkohol, stress, udara dingin, kortekosteroid, dan sitostatik.

Epidemiologi
            Walaupun prevalensi COPD (penyakit paru obstruktif kronik) di negara Amerika Serikat adalah sekitar 15 juta, angka tepat prevalensi kor pulmonal sulit ditentukan, karena kor pulmonal tidak terjadi pada setiap kasus COPD, dan pemeriksaan fisik dan tes rutin relatif tidak sensitif untuk mendeteksi hipertensi pulmonal.
            Kor pulmonal diperkirakan mencakup 6-7 % dari seluruh penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan COPD dikarenakan emfisema dan bronkitis kronik sebagai faktor penyebab di lebih dari 50% kasus. Sebagai tambahan, kor pulmonal mencakup 10-30% perawatan yang berhubungan dengan gagal jantung dekompensasi di Amerika Serikat.
            Sebaliknya, kor pulmonal akut, biasanya merupakan akibat sekunder dari emboli pulmonal masif. Tromboemboli pulmonal masif akut adalah penyebab paling umum dari kor pulmonal akut yang mengancam nyawa pada orang dewasa; Diperikirakan terdapat 50000 kematian yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahun dari emboli pulmonal dan setengah dari itu terjadi pada jam pertama karena gagal jantung kanan akut.
            Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antara satu negara dengan negara lain, tergantung dari prevalensi kebiasaan merokok, polusi udara, dan faktor resiko lain untuk berbagai penyakit paru.
            Mayoritas individu yang terdampak kor pulmonal adalah wanita dibawah umur 65 tahun. Bayi yang lahir dengan kelainan jantung kongenital (terutama lubang di jantung seperti ventricular septal defect) akan lebih rentan terkena penyakit arteri pulmonal kelak. Walaupun kor pulmonal merupakan penyakit serius, namun lebih jarang terjadi bila dibandingkan penyakit arteri koroner. 


Etiologi

Apabila dibagi berdasarkan onset perjalanan penyakit maka penyebab kor pulmonal dapat dibagi menjadi :
  1. Akut:
    • Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
    • Emboli Pulmonal
  1. Chronic:
    • Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD)
    • Hipertensi Pulmonal Primer
    • Asma persisten yang tidak terkontrol
    • Hilangnya jaringan paru setelah trauma atau pembedahan
    • Pierre Robin sequence
    • Pneumoconiosis stadium akhir
    • Sarcoidosis
    • Subluksasi Vertebra T1-T4
    • Obstructive sleep apnea yang tidak ditangani
    • Penyakit Interstisial Paru
    • Sickle cell anemia
    • Displasia bronkopulmonal (pada bayi)
    • Kifosis toraksik parah


Secara Umum Penyebab Penyakit ini adalah :
1.      Penyakit paru obstruksi kronik:

2.      Penyakit Paru Restriktif
  • Neuromuscular disease
  • Kyphoscoliasis
  • Thoracoplasty
  • Gejala sisa TB paru
  • Sarkoidosis
  • Pneumoconiosis
  • Drug related Lung disease
  • Alergi alveolus
  • Penyakit Jaringan Ikat Paru
  • Interstitial pulmonary fibrosis

3.      Penyumbatan vaskuler / remodeling vaskuler / obstruksi pembuluh darah: emboli paru, atau penyakit yang menyebabkan kompresi perivaskular atau destruksi jaringan pada fibrosis paru, granulomatosis, kanker paru.

4.      Trombo emboli

5.    Vasokonstriksi pulmonal menyeluruh: dapat disebabkan oleh hipoksia, pirau intrapulmonal kanan ke kiri.

6.      Penyakit /  radang pembuluh darah

7.      Penyakit sickle cell 

8.      Penyakit parenkim dan pengurangan daerah pembuluh darah

9.      Gangguan mekanisme kontrol pernafasan
·         Obesitas, hipoventilasi idiopatik
·         Penyakit serebrovaskular

10.  Obstruksi saluran nafas atas pada anak
·         hipertrofi tonsil dan adenoid

11.  Hipertensi pulmonal primer. Hipertensi pulmonale merupakan komplikasi hemodinamik. Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada kor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu :
·         Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru.
·         Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang progersif selain menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.
·         Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam patogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkulosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.
·         Idiopatik
Kelainan idiopatik ini didapatkan pada pasien hipertensi pulmonal primer yang ditandai dengan adanya lesi pada arteri pulmonal yang kecil tanpa didapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofi tunika media, fibrosis tunika intima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui. Walaupun sering di kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.


Patofisiologi
            Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil.
            Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi pulmonal sekunder. Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) / pulmonary arterial pressure istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg.
            Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari mediator vasokonstriktor seperti, endothelin-1.
            Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertrofi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta  meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer.
Secara garis besar patognesis cor pulmonale dapat digambarkan sebagai berikut (gambar bawah)
  1. Hipoventilasi alveoli
  2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
  3. Terjadinya pintas (shunt) dalam paru
  4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
  5. Kelainan jantung kanan
  6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miokardium
  7. Gagal jantung kanan
Pathophysiology diagram pulmonary heart disease kor pulmonal cor pulmonale patofisiologi
Gambar Patofisiologi Cor pulmonale


            Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonale adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliaran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif. PPOM terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab tersering dari kor pulmonal. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit ”intrinsik” seperti fibrosis paru-paru difus, dan kelainan ”ektrinsik” seperti obesitas yang ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot pernapasan. Akhirnya, penyakit vaskuler paru-paru yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan kor pulmonale cukup jaran terjadi dan biasanya merupakan akibat dari emboli paru-paru berulang.
skema patofisiologi kor pulmonal cor pulmonale pulmonary heart disease
Skema Patofisiologi Kor Pulmonal


            Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonale biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru-paru pada arteria dan arteriola kecil.
            Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-pru adalah :

  1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru.
  2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru.
            Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor pulmonal. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOM bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea, juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru-paru.
            Mekanisme kedua  yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan tekanan arteria paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.
            Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskuler paru-paru tidak hanya tergantung dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi paru-paru normal merupakan sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah; maka curah jantung dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik) tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena besarnya kapasitas anyaman vaskuler paru-paru, dimana perfusi normal hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampunan untuk menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik.
            Kor pulmonal biasanya timbul kronis, namun terdapat 2 keadaan yang dapat menyebabkan kor pulmonal akut, antara lain : emboli paru (lebih sering) dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Patofisiologi yang mendasari emboli paru dalam menimbulkan kor pulmonal adalah adanya peningkatan mendadak resistensi pulmonal. Dalam ARDS terdapat dua faktor yang menyebabkan overload ventrikel kanan, yaitu proses patologi dari sindrom itu sendiri dan adanya mekanisme ventilasi. Pada mekanisme ventilasi, volume udara tidal yang semakin meninggi membutuhkan tekanan transpulmonal yang lebih tinggi.
            Dalam kasus kor pulmonal kronik pada umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Dalam kor pulmonal akut dapat terjadi dilatasi ventrikel kanan. Dalam kasus ARDS, cor pulmonale dapat berpotensi meningkatkan kemungkinan pergeseran shunt kanan ke kiri melalui paten foramen ovale dan mempunyai prognosis yang lebih buruk.
            Pelebaran atau hipertrofi ventrikel kanan pada cor pulmonale kronis adalah efek langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis dan hipertensi arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan. Ketika ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban kerja melalui dilatasi atau hipertrofi, kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi.
            Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang akan menyebabkan cor pulmonale, mekanisme tersebut antara lain :
  1. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia darah, hal ini dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika hipertensi pulmonal tersebut cukup parah akan dapat menyebabkan cor pulmonale
  2. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada darah seperti : polisitemia vera, sickle cell disease, makroglobulinemia
  3. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru
  4. Hipertensi pulmonal idiopatik primer
Mekanisme diatas dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis.
            Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel kiri yang lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa tekanan. Ventrikel kanan memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload dibandingkan dengan afterload. Dengan adanya peningkatan afterload, ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan sistolik untuk menjaga gradient. Pada titik tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih lanjut menyebabkan dilatasi ventrikel kanan yang signifikan.
            Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic ventrikel kiri menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output ventrikel kiri menyebabkan penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan menurunnya aliran darah pada arteri koronaria termasuk arteri koronaria kanan yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan. Hal ini menjadi suatu lingkaran setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikel kanan.
            Curah jantung dari ventrikel kanan seperti halnya di kiri disesuaikan dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang meningkat mendadak (seperti saat menarik nafas). Peningkatan afterload akan menyebabkan perbesaran  yang berlebihan. Hal ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan di pembuluh sendiri maupun akibat kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi karena hiperinflasi paru akibat PPOK / COPD, sebagai akibat kompresi kapiler alveolar dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami kompresi dan berubah bentuk. Afterload meningkat pada ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada vasokonstriksi dengan hipoksia atau asidosis (Sudoyo,W.2006).

Patologi hipertrofi ventrikel kanan
            Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respon adaptif lokal mulai terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respon tersebut mencakup reaksi neurohumoral serta perubahan molekular dan morfologik di dalam jantung. Salah satu respon neurohumoral yang paling dini terhadap penurunan curah jantung adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung (Kumar, 2002).

            Seiring dengan waktu, jantung yang kelebihan beban akan berespon dengan mengalami berbagai remodelling, termasuk hipertrofi dan dilatasi. Karena serat otot jantung pada orang dewasa tidak lagi mampu berproliferasi secara bermakna, adaptasi struktural awal terhadap beban kerja yang terus menerus tinggi adalah hipertrofi setiap serat otot. Secara morfologi terdapat 2 jenis hipertrofi, yakni :
  • Hipertrofi konsentrik. Pola hipertrofi ini terjadi akibat jantung hanya mendapat beban tekanan (misal, hipertensi, stenosis katup). Hipertrofi ditandai dengan peningkatan garis tengah setiap serat otot, menyebabkan ketebalan dinding ventrikel meningkat tanpa peningakatan ukuran rongga jantung.
  • Hipertrofi eksentrik. Pola hipertrofi ini terjadi apabila jantung mendapat beban volume abnormal, bukan beban tekanan (misal, regurgitasi katup atau pirau abnornal). Pada keadaan ini panjang setiap serat bertambah, ditandai dengan peningkatan ukuran jantung serta peningkatan ketebalan dinding.

            Hipertrofi mulanya berfungsi sebagai respon adaptif positif, hampir sama dengan hipertrofi serat otot rangka yang memungkinkan seorang atlet mengakomodasi peningkatan beban kerja. Meski memiliki efek hemodinamik potensial, hipertrofi ini harus dibayar mahal oleh sel. Kebutuhan oksigen miokardium yang mengalami hipertrofi meningkat, karena massa sel miokard dan tegangan di dinding ventrikel meningkat. Hal ini pada akhirnya menyebabkan iskemia miokardium yang akan mengganggu kontraktilitas miosit, bahkan kematian prematur miosit (Kumar, 2002).
            Peningkatan beban kerja jantung memudahkan terjadinya dilatasi jantung, atau pembesaran rongga. Miokardium menjadi lebih tebal, kurang elastis, dan tonus normal miokard menurun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kardiomegali pada CHF. Saat miokard mengalami dilatasi, kemampuan miokard untuk berkontraksi secara adekuat juga menurun, yang kemudian menyebebkan terjadi dekompensasi (Francis, 2003).

Patogenesis gagal jantung
            Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan terganggunya struktur dan atau fungsi jantung, menyebabkan dispnea atau fatik saat istirahat atau beraktivitas. Keadaan ini terjadi karena jantung tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah kondisi yang gangguan curah jantungnya terjadi akibat kekurangan darah arau proses lain yang mengakibatkan gangguan aliran balik darah ke jantung (Nowak, 2004)
            Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir selalu disertai dengan peningkatan kongsti (bendungan) di sirkulasi vena (backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu menyemprotkan dalam jumlah normal darah vena yang disalurkan ke dalamnya sewaktu diastol (Nowak, 2004).
            Penyebab tersering gagal jantung sisi kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal ventrikel kiri, seperti pada pasien dengan penyakit intrinsik parenkim paru dan / pembuluh paru (kor pulmonale) dan pada pasien dengan penyakit katup pulmonal atau trikuspid. Keadaan ini kadang terjadi pada penyakit jantung kongenital.

Faktor-faktor penyebab gagal jantung kongestif (Nowak, 2004) :

  1. Kelemahan miokard
            Kelemahan miokard terutama disebabkan oleh atherosklerosis dan stenosis pada arteri koroner. Ketika stenosis mencapai 50-70%, hanya kebutuhan oksigen miokard pada istirahat yang dapat dipenuhi. Atheroskerosis secara progresif akan menyebabkan hipoksia jaringan dan nekrosis. Miokard yang mengalami nekrosis akan akan digantikan oleh jaringan ikat fibrosa yang lebih kaku, mengakibatkan penurunan compliance ventrikular.
            Proses lain yang menyebabkan kelemahan miokard adalah trombosis di arteri koroner, vasospasme yang berkembang pada penderita infark miokard, miokarditis atau kardiomiopati.

  1. Restriksi sistem pompa
            Bahkan saat mikardium tidak mengalami kerusakan dan secara adekuat disuplai oleh oksigen, jantung masih tidak dapat menjalankan fungsi pompanya secara adekuat karena adanya restriksi pada sistem pompa. Malfungsi katup jantung adalah salah satu penyebabnya. Katup yang inkompeten, tidak dapat menutup dengan kuat, akan menyebabkan aliran balik (backward) dalam sirkulasi jantung atau paru. Jika katup tidak dapat terbuka secara nomal, penurunan aliran darah menuju jantung dapat menyebabkan penurunan cardiac output.
            Keadaan lain yang dapat mengganggu sistem pompa jantung antara lain malformasi kongenital, massa intrakardia (tersering adalah myxoma, tumor endotel pada atrium kiri; 35-50% tumor primer kardia), atau disritmia. Disritmia dapat disebabkan oleh iskemia, infark, imbalans elektrolit, atau keadaan lain yang dapat mengganggu sistem konduksi jantung.

  1. Peningkatan afterload
            Kegagalan mempertahankan cardiac output juga dapat terjadi akibat overload. Saat miokardium secara konstan mengalami beban fisik yang tinggi, volume sekuncup dan kontraktilitas jantung akan menurun secara bermakna. Penurunan ini terjadi terutama saat terjadi peningkatan afterload. Keadaan ini dijumpai pada kor pulmonal atau hipertensi sistemik. Pada kor pulmonal, ventrikel kanan dihadapkan pada penyakit paru tertentu yang menyababkan hipertensi pulmonal. Pada kasus hipertensi sistemik, peningkatan tekanan darah  akan menyebabkan peningkatan resistensi yang harus diatasi oleh ventrikel kiri untuk mempertahankan cardiac output.


Manifestasi Klinis dan Diagnosis

            Manifestasi klinis kor pulmonal umumnya tidak spesifik. Pasien bisa asimptomatik, khususnya pada awal perjalanan penyakit, dan sering kali tanda dan gejala penyakit ditutupi oleh penyakit paru yang mendasari.
Diagnosis kor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria yaitu:

  1. Adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonl.
  2. Bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan.
            Adanya hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan pada radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru yang mendasarinya. Adanya emfisema cenderung mengaburkan gambaran diagnosis kor pulmonale. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa kor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan, siknop pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda-tanda fisik dari hipertensi pulmonal berupa kuat angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua,dan bising akibat insufisiensi katup trikuspidalis dan pulmonalis, irama gallop (S3 dan S4) distensi vena jugularis dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat pada pasien dengan gagal ventrikel kanan.
            Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis, jari tabuh, peningkatan tekanan vena jugularis, heaving ventrikel kanan atau irama derap, pulsasi menonjol di sternum bagian bawah atau epigastrium (parasternal lift), pembesaran hepar dan nyeri tekan, asites, dan edema.

Anamnesis
            Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien yang profesional dan optimal. Pada anamnesis, selain data-data pribadi seperti jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan keluhan utama, perlu ditanyakan riwayat penyakit dulu dan sekarang. Riwayat penyakit dulu meliputi pertanyaan yang menanyakan apakah pasien dulu pernah mengalami penyakit-penyakit tertentu yang memungkinkan adanya hubungan dengan penyakit yang dialami sekarang. Sedangkan riwayat penyakit sekarang biasanya merupakan cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.
            Selain hal-hal tersebut, perlu ditanyakan segala hal yang menyangkut batuk dan sesak napas. Seperti kapan saja batuknya (apakah pada pagi hari, siang hari, atau malam hari), seperti apa batuknya (apakah terus-menerus atau tidak), ada dahak atau tidak. Jika terdapat dahak, ditanyakan berapa banyak dahaknya, warna apa dahaknya, apakah dahaknya berbau atau tidak. Selain batuk, perlu ditanyakan juga apakah ada sesak napas. Jika ada, ditanyakan kapan saja sesak napas tersebut terjadi, sejak kapan, dan apakah sesak napas diikuti rasa nyeri atau tidak.
            Perlu dilakukan ananmesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak napas waktu beraktivitas, napas yang berbunyi, mudah fatig, dan kelemahan. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan, jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan, misalnya edema dan nyeri perut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi bronkus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.
           
Gejala
            Pasien dapat mengeluhkan cepat letih, teakipnea, sesak saat beraktivitas (dyspnea d’effort) dan batuk. Nyeri dada angina juga dapat terjadi dan sering disebabkan akibat iskemia ventrikel kanan (biasanya nyeri dada tidak respon dengan nitrat) atau peregangan arteri pulmonal.
            Hemoptosis dapat terjadi akibat ruptur arteri pulmonal yang mengalami dilatasi atau athrosklerotik. Kondisi lain yang dapat meyebabkan hemoptoe seperti infark paru, tumor, dan bronkiektasis harus dieksklusikan terlebih dahulu. Pada sejumlah kecil kasus pasien mengeluhkan suara serak (hoarseness) akibat kompresi nervus laringeal rekuren kiri akibat dilatasi arteri pulmonal.
            Pada kasus yang lanjut, kongesti hepatik sekunder akibat gagal ventrikel kanan dapat menyebabkan timbulnya anoreksia, rasa tidak enak pada daerah hipokondrium kanan, dan ikterik. Selain itu, pingsan saat beraktivitas, yang juga terjadi pada kasus yang berat, menandakan kegagalan dalam meningkatkan COP selama exercise, menyebabkan hipotensi yang bermakna.
            Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan, vena perifer dan kapiler. Akibat peningkatan gradien hidrostatik, terjadi transudasi cairan dan terakumulasi menjadi edema perifer. Selain itu hipoksemia yang sering terjadi pada pasien PPOK juga dapat menyebabkan penurunan GFR dan retensi garam dan air, sehingga menyebabkan edema perifer.

Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan

            Berdasarkan gejala yang timbul, dapat dibedakan sisi jantung yang mengalami kegagalan (failure), apakah gagal jantung sisi kiri atau sisi kanan. Atrium kiri menerima oksigen dari paru dan meneruskannya ke ventrikel kiri, yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jika ventrikel kiri tidak memompa secara efisien, darah akan kembali masuk ke pembuluh darah paru, dan kadang cairan dapat masuk ke ruang pernafasan, menyebabkan kongesti. Kongesti paru yang terjadi dapat menyebabkan sesak nafas. Gejala lain dari gagal ventrikel kiri adalah lemas (fatik), dispnea (orthopnea, paroksismal nokturnal dispnea), dan produksi sputum (kadang disertai darah) akibat kongesti paru.
            Gagal jantung kanan terjadi saat resistensi aliran darah dari jantung kanan (atrium kanan, ventrikel kanan, paru atau arteri pulmonal) menuju paru atau saat katup trikuspid, yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan tidak berfungsi dengan baik. Hal ini kemudian akan menyebabkan aliran balik dan peningkatan tekanan jantung kanan. Tekanan juga akan meningkat di hati dan vena tungkai, menyebabkan pembesaran hati disertai nyeri, asites dan edema tungkai . Gejala utama dari gagal jantung kanan adalah edema dan nokturia (buang air kecil berlebihan pada malam hari karena terjadi redistribusi cairan saat pasien berbaring).
            Karena CHF (Chronic Heart Failure) menyebabkan tubuh terisi oleh cairan yang berlebihan, ginjal mungkin tidak lagi dapat membuang natrium dan air, manimbulkan gagal ginjal akut (dalam kasus CHF, gagal ginjal dapat besifat sementara dan akan membaik jika diberikan terapi yang tepat). Natrium yang normalnya dielimansi melalui urin akan tetap berada dalam tubuh, sehingga menyebabkan semakin banyak cairan terakumulasi dalam tubuh (Soufer, 2007).
differentiate left right heart failure gagal jantung bedakan kanan kiri pulmonary heart disease kor pulmonal cor pulmonale
Diagram membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan


Pemeriksaan Fisik
Tanda
Pemeriksaan fisik dapat memberikan gambaran penyakit paru yang mendasari atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kanan.
  • Inspeksi : peningkatan diameter dinding dada antero-posterior (barrel chest), retraksi dinding dada, distensi vena leher, sianosis.
  • Palpasi : Hipertrofi Ventrikel Kanan ditandai dengan mengangkat parasternal atau subxiphoid kiri. Hepatojugular refluks dan hati yang teraba adalah tanda-tanda kegagalan RV dengan kongesti vena sistemik. Pada pemeriksaan ekstremitas bawah terdapat edema pitting.
  • Perkusi : hipersonor, asites (shifting dullness)
  • Auskultasi : wheezing dan crackles dapat terdengar karena penyakit paru yang mendasari (misal pada PPOK), turbulensi yang terjadi akibat thromboemboli paru dapat terdengar sebagai bunyi systolic bruits pada paru, murmur ejeksi sistolik di regio arteri pulmonum, murmur sistolik pada kusus regurgitasi trikuspid.


            Diagnosis cor pulmonale dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis cor pulmonale secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.
            Pada cor pulmonale selama jantung masih bisa melakukan kompensasi terhadap hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita cor pulmonale hanya didapatkan keluhan yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya. Keluhan yang biasanya didapatkan adalah batuk produktif, sesak nafas saat aktivitas (dispneu on effort), adanya mengi, cepat letih, dan lemas. Ketika progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak nyaman pada kuadran kanan atas.
            Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi biasanya didapatkan mengi dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung kanan didapatkan tanda-tanda seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat menyebabkan hipotensi dan pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan gagal jantung kanan didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas jantung kanan bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3 disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik pulmonal.

Pemeriksaan Penunjang
            Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti tejadinya cor pulmonale adalah dengan kateterisasi jantung kanan (Swan-Ganz catheterization) untuk mengukur secara pasti hipertensi pulmonal. Kateterisasi jantung kanan ini dimasukkan melalui vena sentral (V. axillaris, v, jugularis, atau v. brachiocephalica) dan diteruskan ke dalam ventrikel kanan melalui katup trikuspid dan diteruskan ke dalam arteri pulmonalis.
            Dalam pemasangannya pasien diharuskan puasa 8 jam sebelumnya. Operator harus memperhatikan gambaran radiologis sebelumnya agar dalam memasang kateter tidak mencederai organ yang dilewati. Adapun penggunaan kateter ini memiliki resiko antara lain, infeksi, emboli, jendalan darah dan dapat menyebabkan aritmia. Penggunaan kateter ini masih sangat terbatas karena sifatnya yang invasif, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya yang diperlukan cukup tinggi.
            Mengingat banyaknya kekurangan dengan menggunakan kateter Swan-Ganz maka untuk menunjang diagnosis cor pulmonale diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang lebih mudah, tidak invasif, dan lebih terjangkau. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

1.        Pemeriksaan laboratorium
            Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari dan untuk menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain, hematokrit untuk mengetahui polisitemia, antinuclear antibody untuk mengetahui penyakit vaskuler kolagen seperti skleroderma, proteins S dan C, antitrombin III, factor V Leyden, antikardiolipin antibodi, dan homocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi, analisis gas darah untuk mengetahui saturasi oksigen, pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic Peptide) untuk mengatahui hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan, serta pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru.

2.        Pemeriksaan radiologi
a.    Foto Toraks
            Pada pasien dengan cor pulmonale hasil foto toraks didapatkan pelebaran arteri pulmonal sentral. Hipertensi pulmonal dicurigai jika ditemukan diameter arteri pulmonal desenden kanan lebih lebar dari 16 mm dan arteri pulmonal kiri lebih lebar dari 18 mm. Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter transversal meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan jantung melebar ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior. Pada foto toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiperinflasi paru yang menekan diafragrna sehingga jantung tampaknya normal. Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Harus diteliti adanya kelainan parenkim paru, pleura atau dinding, dan rongga toraks.
            Pada pasien dengan PPOK didapatkan gambaran sela iga melebar, diafragma mendatar dan gambaran pinggang jantung pendulum. Pada foto lateral didapatkan pengisian ruang retrosternal dan meningkatnya diameter toraks anterroposterior.


Pulmonary Heart disease Kor Pulmonal Cor Pulmonale anteroposterior chest Thorax photo radiology
Gambar  Foto toraks posisi anteroposterior



Pulmonary Heart disease Kor Pulmonal Cor Pulmonale anteroposterior lateral chest Thorax photo radiology
Gambar Foto toraks posisi anteroposterior dan lateral.

b.         Ekokardiografi         
            Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis cor pulmonale  adalah dengan ekokardiografi. Pada ekokardiogafi, dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal gelombang ‘a’ hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi sulit terlihat katup pulmonal karena accoustic window sempit akibat penyakit paru.
            Pemeriksaan dengan gelombang suara menggunakan Doppler ekokardiografi ini memungkinkan penghitungan gradien tekanan yang transtrikuspid dari kecepatan puncak pancaran regurgitan katup trikuspid, yakni dengan menggunakan persamaan Bernouili. Dengan asumsi bahwa tekanan atrium kanan adalah 5 mmHg maka tekanan sistolik ventrikel kanan yang identik dengan tekanan sistolik arteri pulmonal dapat diestimasikan. Caranya, yakni dengan menjumlahkan tekanan atrium kanan dengan gradient tekanan transtrikuspid.
            Pada pasien PPOK (COPD) penggunaan Doppler ekokardiografi ini kurang efektif karena hiperinflasi dan pengisian ruang retrosternal yang menyebabkan transmisi gelombang suara kurang optimal. Computed tomography (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), maupun ekokardiografi dua dimensi dapat digunakan untuk menilai ketebalan dinding ventrikel kanan sehingga dapat mengetahui hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan.

Echocardiogram Pulmonary Heart disease kor pulmonal Cor pulmonale
Gambar  Ekokardiogram (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)


3.             Pemeriksaan EKG
            Pada EKG terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran atrium kanan, P pulmonal, aksis QRS ke kanan, atau right bundle branch block (RBBB), voltase rendah karena hiperinflasi, RS-T sagging II, III, aVF, tetapi kadang-kadang EKG masih normal. Gelombang S yang dalam pada V6. EKG sering menyerupai infark miokard yaitu adanya gelombang Q pada II, III, aVF namun jarang dalam dan lebar seperti pada infark miokard inferior.

Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a.       Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b.      Terdapat pola S1S2S3
c.       Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d.      Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e.       Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f.       Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g.      Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h.      Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya hiperinflasi.
i.        Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark miokard.
j.        Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).


Elektrokardiogram EKG Pulmonary heart disease Kor pulmonal Cor Pulmonale


            Diagnosis kor pulmonal biasanya menunjukkan kombinasi adanya gangguan respirasi yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya gangguan pada ventrikel kanan yang didapat secara klinis, radiologis, elektrocardiogram. Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan analisis gas darah. Ada respons polisitemik terhadap hipoksia kronik. Tes faal paru dapat menentukan penyebab dasar kelainan paru. Pada analisis gas darah bisa ditemukan saturasi O2 menurun PCO2 biasanya normal. Bila kor pulmonal disebabkan penyakit vaskular paru, PCO2 biasanya normal. Bila kor pulmonal akibat hipoventilasi alveolar (misalnya karena penyakit paru obstruktif menahun dengan emfisema), PCOmeningkat. Pada kateterisasi jantung ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan, pembuluh paru. Tekanan atrium kiri dan tekanan baji kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari prakapiler dan bukan berasal dari jantung kiri.
            Dalam praktek sehari-hari sering didapatkan kesulitan dalam membuat diagnosis Kor pulmonal yakni bila keadaan pasien sedang stabil atau belum terjadi gagal jantung kanan. Untuk itu dianjurkan membuatkan EKG dan pemeriksaan radiologis dada secara serial.

Diagnosis Banding
Dalam mendiagnosis kor pulmonal, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan penyakit tromboemboli dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi. Diagnosis banding lain untuk cor pulmonale antara lain :
  • Gagal jantung kongestif
  • Perikarditis konstriktif
  • Kardiomiopati infiltrative
  • Stenosis pulmonal
  • Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
  • Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
  • Defek septum ventrikel
  • Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral. Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena
  • Perikarditis konstriktifa dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan analisa gas darah.



Penatalaksanaan

            Penatalaksanaan kor pulmonal  kronis umumnya difokuskan pada pengobatan penyakit paru yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi dan fungsi ventrikel kanan dengan meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan  dan penurunan vasokonstriksi paru. Pada dasarnya adalah mengobati penyakit dasarnya. Penanganan kor pulmonal ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar (dan vasokontriksi paru-paru yang diakibatkanya) dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya yaitu untuk :
  1. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas
  2. Menurunkan hipertensi pulmonal
  3. Meningkatkan kelangsungan hidup
  4. Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya (Sudoyo,W.2006).
            Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmonal, polisitemia, dan takipnea; memperbaiki keadaan umum, dan mengurangi mortalitas (kersten,1989). Bronkodilator dan antibiotik membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien-pasien PPOK (COPD). Pembatasan cairan yang masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gaagal ventrikel kanan. Diuretik digunakan untuk menurunkan volume pengisian ventrikel kanan pada pasien dengan kor pulmonum kronik. Calsium channel blocker merupakan vasodilator arteri pulmonal yang telah terbukti efikasinya pada penatalaksanaan jangka panjang pasien kor pulmonal sekunder akibat hipertensi arteri pulmonum primer.
            Indikasi utama pemberian antikoagulan oral pada manajemen kor pulmonal adalah pada kondisi kor pulmonal yang disebabkan oleh tromboemboli atau hipertensi pulmonal primer. Metilxantin, seperti halnya teofilin, dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada kor pulmonal sekunder akibat PPOK. Selain memiliki efek bronkodilator, golongan ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium, menyebabkan efek vasodilatasi paru ringan dan meningkatkan kontraktilitas diafragma.Terapi antikoagulansia jangka panjang diperlukan jika terdapat emboli paru-paru berulang. Pengobatan terdiri dari:
  1. Tirah baring, diet rendah garam, dan medikamentosa berupa diuretik, digitalis, terapi oksigen, dan pemberian antikoagulan. Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan, tetapi yang paling penting adalah mengobati penyakit paru yang mendasarinya. Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-kadang perlu ventilator mekanik bila terjadi retensi CO2 yang berbahaya (gagal napas). Pada kasus eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat intensif untuk aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator, kortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif. Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi sekret dan mengurangi ruang mati. Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang memperberat penyakit paru obstruktif kronik
  2. Preventif, yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur, serta senam pernapasan sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka panjang.


Oksigenasi
Pemberian oksigen sangat penting pada pasien kor pulmonal, terutama bila diberikan secara terus menerus. Pasien yang menderita kor pulmonal, tekanan parsial oksigen (PO2) kemungkinan berada di bawah 55 mm Hg dan menurun lebih lanjut dengan latihan dan saat tidur. Terapi oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi paru yang kemudian meningkatkan curah jantung, mengurangi simpatik vasokonstriksi, mengatasi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal.
Meskipun demikian, masih dipertanyakan apakah oksigenasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan kor pulmonae karena gangguan paru selain PPOK . Kemungkinan oksigenasi mungkin dapat mengurangi gejala-gejala dan perbaikan status fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen memainkan peranan penting baik dalam pengaturan langsung dan jangka panjang manajemen, terutama pada pasien yang hipoksia dan menderita PPOK.
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis:
  1. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vascular paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan
  2. Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lain.


Pemakaian oksigen secara berkelanjutan selama 12 jam (National Institute of Health/NIH, Amerika); 15 jam (British Medical Research Council/MRC dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah:
  1. PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 80%
  2. PaO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari
1. Edema disebabkan gagal jantung kanan
2. P pulmonal pada EKG
3. Ertrositosis hematokrit > 56%.

Diuretik
Diuretik digunakan sebagai terapi kor pulmonale, terutama jika volume pengisian ventrikel kanan meningkat secara bermakna dan terjadi edema perifer. Golongan diretik dapat meningkatkan fungsi kedua ventrikel. Meski demikian, diuretik dapat dapat merugikan status hemodinamik jika tidak digunakan secara hati-hati. Penurunan volume cairan dalam jumlah banyak dapat menurunkan cardiac output.
Komplikasi potensial lain dari diuretik adalah terjadinya hipokalemi disertai alkalosis metabolik. Gangguan elektrolit dan asam basa yang terjadi juga dapat menyebabkan aritmia jantung, yang pada akhirnya juga memperburuk cardiac output. Jadi, diuretik dapat digunakan sebagai manajemen kor pulmonale namun harus digunakan secara hati-hati.
Diuretik diberikan bila ditemukan tanda gagal jantung kanan. Pemberian diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Contoh agen diuretik yang digunakan dalam terapi kor pulmonal kronis adalah furosemide. Furosemide adalah loop diuretik kuat yang bekerja pada loop of Henle, menyebabkan blok reversibel dalam reabsorpsi natrium dan kalium klorida
Dosis dewasa:
20-80 mg / per hari/ PO / IV / IM (dosis maksimum 600 mg / hari)


Vasodilator
            Vasodilator telah digunakan sebagai terapi jangka panjang pada kor pulmonale kronikum dengan hasil yang cukup memuaskan. Golongan calcium channel blocker, seperti sustained release nifedipine dan diltiazem, dapat menurunkan tekanan pulmonum, meski obat golongan ini lebih efektif digunakan pada pasien hipertensi pulmonale primer dibanding sekunder. Calsium channel blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonalis yang telah terbukti keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang cor pulmonale kronis yang diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis.
Golongan vasodilator lain, seperti beta agonis, nitrat, dan ACE inhibitor telah dicoba, namun tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien PPOK, sehingga tidak digunakan secara rutin (Sovari, 2011).
            Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE inhibitor, dan prostaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut:
  1. Resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%
  2. Curah jantung meningkatkan atau tidak berubah
  3. Tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah
  4. Tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan.
Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah paru pada Primary Pulmonary Hypertension, sedang ditunggu hasil penelitian untuk kor pulmonal lengkap

Beta-agonis selektif
Beta-agonis selektif memiliki keuntungan tambahan selain sebagai bronkodilator juga memiliki efek kliren mukosiliar. Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan efek mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan memiliki efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara intravena dan iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi pulmonal primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis, dan peningkatan hemodinamika.

Antikoagulan
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal berdasarkan indikasi atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien ataupun adanya hipertensi arteri pulmonal primer.
Di samping terapi diatas pasien korpulmonal pada PPOK harus mendapat terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta (Sudoyo,W.2006).

Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi diindikasikan jika hematokrit > 55%. Sasarannya adalah penurunan Hct di bawah 50% (Sudoyo,W.2006).

Digitalis
Glikosida jantung seperti digitalis dapat digunakan pada gagal ventrikel kanan karena dapat meningkatkan fungsi ventrikel kanan namun harus digunankan secara hati-hati dan dihindari selama episode akut cor pulmonale. Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis menunjukkan peningkatan terjadinya komplikasi aritmia.

Digoxin (Lanoxin)
Memiliki efek inotropik positif pada gagal miokardium. Efek ini dicapai melalui penghambatan Na + / K +-ATPase pompa, mengarah ke
peningkatan konsentrasi natrium intraseluler bersama dengan seiring bertambahnya konsentrasi kalsium intraseluler dengan mekanisme pertukaran kalsium-natrium. Hasilnya adalah augmentasi kontraktilitas miokard.
Dosis Dewasa : 0,125-0,375 mg PO / IV / IM

Teofilin
Selain efek bronchodilatory, teofilin (methilxanthin) telah dilaporkan untuk mengurangi resistensi pembuluh darah paru dan tekanan di arteri paru pada pasien kor pulmonal kronis sekunder karena PPOK. Teofilin memiliki efek inotropik lemah dan dengan demikian dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri.
 Dosis rendah teofilin juga telah disarankan karena memiliki efek anti-inflamasi yang membantu untuk mengontrol penyakit paru-paru yang mendasari seperti PPOK. Sebagai hasilnya, penggunaan teofilin dipertimbangkan sebagai terapi tambahan dalam pengobatan kor pulmonal kronis atau dekompensasi dengan PPOK.

Teofilin (aminofilin, Theo-24, Theolair, Theo-Dur)
Dosis Dewasa
Loading doses:            5,6 mg / kg IV selama 20 menit (berdasarkan aminofilin)
Maintanance doses:     IV infus pada 0,5-0,7 mg / kgBB / jam

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dari kor pulmonal adalah :
  • Gagal jantung kanan
  • Chronic heart failure (CHF)
  • Gagal nafas
  • Acute Kidney Injury
  • Hemoptosis
  • Trombosis vena dalam



Prognosis
            Prognosis pulmonary heart disease / kor pulmonal sangat bervariasi, tergantung penjalanan alami penyakit paru yang mendasari dan ketaatan pasien berobat. Penyakit bronkopulmonal simtomatik angka kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskular paru kronik dengan hipertrofi ventrikel kanan mampunyai prognosis yang buruk. Biasanya pasien hipertensi pulmonal dengan obstruksi vaskular kronik hanya bertahan hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala. Perkembangan kor pulmonal yang disebabkan penyakit primer pada paru dapat menimbulkan prognosis yang lebih buruk. Contohnya, pasien dengan PPOK yang memiliki komplikasi kor pulmonal memiliki angka harapan hidup 5 tahun sebesar 30%. Prognosis pada keadaan akut akibat emboli paru masif atau ARDS belum diketahui bersifat dependen atau independen terhadap kor pulmonal. Namun, sebuah penelitian prospektif oleh Volschan et al mengindikasikan bahwa pada kasus emboli paru, kor pulmonal dapat meningkatkan mortalitas. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
            Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.
            Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat  fibrosis interstisial harapan untuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
            Edukasi pasien mengenai pentingnya kepatuhan terhadap terapi medis yang tepat sangat penting karena pengobatan, baik untuk hipoksia dan penyakit yang mendasari dapat menentukan mortalitas dan morbiditas.

Daftar Pustaka/Referensi
  1. Assayag, P. (1997). Compensated cardiac hypertrophy: arrhythmogenicity and the new myocardial phenotype. I. Fibrosis. Cardiovascular Mysteri Series, 34, 439-444.
  2. Francis, G., & Tang, W. (2003). Patophysiology of Congestive Heart Failure. MedReviews, 4.
  3. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7 ed. Vol. 2).
  4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronis - Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
  5. GOLD. (2006). Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention of COPD.
  6. Kamangar, N. (2010). Chronic Obstructive Pulmonary Disease  Retrieved 11 November, 2015, from http://www.emedicine.medscape.com/article/297604-overview
  7. Khozhnevis, R., & Massumi, A. (1999). Ventricular Arrythmia in Congestive Heart Failure. 26.
  8. SIGN. (2007). Cardiac Arrhytmia in Coronary Heart Disease. NHS.
  9. Weitzenbaum, E. (2003). Chronic Cor Pulmonale. BMJ, 89, 225-230.
  10. Kurt J. Isselbacher,   Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie Prof. dr. Sp.PD, ke : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi 15, volume 3, 2002, hal. 1222-1226.
  11. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta. Media aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
  12. Soeparman dan Warpadji Sarwono : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Cetakan ketiga, FKUI, Jakarta, 1998. Hal. 882-889.
  13. Sudoyo, W.  2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas indonesia.
  14. Dave, R. Cor Pulmonale. http://www.emedicine.com/article_corpulmonale, diakses tanggal 4 November 2015
  15. Sherwood L. Fundamentals of physiology: a human perspective. 3rd ed. Belmont, Calif. : Brooks/Cole ; 2006.
  16. Tortora GJ. Principles of anatomy and physiology.12th ed. Hoboken, NJ : J. Wiley; 2009.
  17. Sovari AA. Cor Pulmonale: Overview of Cor Pulmonale Management. Medscape. 2011.
  18. Weitzenblum E, Chaouat A. Cor Pulmonale. Medscape. 2009;6(3): 177-185.
  19. Han MK et all. Pulmonary disease and the heart. Medscape. 2007;116(25): 2992-3005.
  20. Mekontso DA et all. Prevalence and prognosis of shunting across patent foramen ovale during acute respiratory distress syndrome. Medscape. 2010;38(9): 1786-1792.
  21. Fedullo PF et all. Chronic thromboembolic pulmonary hypertension. Medscape. 2001;345(20): 1465-1472.
  22. Anderson JR, Nawarskas JJ. Pharmacotheurapetic management of pulmonary arterial hypertension. Medscape. 2010;18(3): 148-162.
  23. Hoeper MM. Drug treatment of pulmonary arterial hypertension : current and future agents. Medscape. 2005;65(10): 1337-1354.
  24. Sitbon O et all. Long term response to calcium channel blockers in idhiopathic pulmonary arterial hipetension. Medscape. 2005;111(23): 3105-3111.
  25. Volschan A et all. Predictors of hospital mortality in hemodynamically stable patients with pulmonary embolism. Medscape. 2009;93(2): 135-140.
  26. Davey P. At a Glance Medicine. Edisi I. Erlangga: Jakarta. 2006. h. 4- 10, 138- 168.
  27. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart failure and cor pulmonale.  Dalam:Harrison’s Principles of Internal Medicine.  Edisi 13. United States of America: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.p. 217-244
Kata kunci pencarian: Kor Pulmonal, Pulmonary Heart Disease, Kardiologi, Ilmu Penyakit Dalam, Referat, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Makalah, Skripsi, Tesis, Desertasi, Jurnal, Artikel, Karya Tulis Ilmiah, refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based  Learning, askep (asuhan keperawatan)

0 comments:

Posting Komentar

Posting Terbaru

Silahkan Like di Facebook untuk mengikuti perkembangan artikel baru

Entri Populer

Kehidupan yang bermanfaat adalah kehidupan hebat

Ilmu adalah kunci kemajuan

Back to Top

Terima Kasih Telah Berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.